Syaikh Abu Abdullah4 berkata, “Aku keluar meninggalkan Thanjah, tanah kelahiranku, pada hari Kamis, tanggal 2 Rajab tahun 725 H, dengan maksud menunaikan ibadah haji di tanah suci dan berziarah ke makam Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Aku melakukan perjalanan ini sendiri, tanpa teman yang mengiringi. Hal ini didorong oleh tekad yang sangat kuat dan kerinduan sangat mendalam pada ma’had yang mulia (Makkah dan Madinah. Penj). Aku bertekad meninggalkan orang-orang yang kucintai, laki-laki maupun perempuan. Kutinggalkan negeriku, laksana burung meninggalkan sarangnya. Waktu itu, kedua orangtuaku masih hidup, dan aku berusia 22 tahun. Meninggalkan mereka berdua adalah suatu beban berat yang melelahkan.”
Ibnu Juzai berkata, “Di kota Granada, Ibnu Bathuthah mengabarkan padaku bahwa is dilahirkan di kota Thanjah pada hari Senin, tanggal 17 Rajab 703 H/ 1303 M.”
Aku melakukan perjalanan ini di era kekuasaan Amirul Mukminin, Nashiruddin, sang mujahid, yang kedermawanannya popular dari mulut ke mulut, yang efek kedermawanannya itu termasyhur secara kasat mata. Hari-hari menjadi indah karena sikap dermawannya. Rakyat merasa nyaman di bawah naungan kelembutan dan keadilannya. Imam suci yang bernama Abu Said, putra pemimpin kaum beriman, sang penolong agama, yang kebenaran tekadnya menghancurkan kemusyrikan, yang pedang tajamnya memadamkan api kekafiran, dan detasemennya menghancurkan pasukan salib, yang kepergiannya dimuliakan dengan semangat kemurnian jihad, Imam Suci Abu Yusuf bin Abdul Haq. Semoga Allah senantiasa memperbarui ridha-Nya bagi mereka dan menyirami kuburan mereka dengan embun yang banyak sepanjang masa. Semoga Allah menganugerahkan kepada mereka balasan yang utama atas jasa mereka kepada Islam dan kaum Muslimin. Semoga Allah menjadikan keturunan Sang Raja lestari sampai akhir masa.
Aku sampai di kota Tilmisan (Tlemecen) yang kala itu dikuasai oleh Abu Tasyfin Abdurrahman bin Musa bin Utsman bin Yaghmur Asn bin Ziyan. Di sana, aku berjumpa dengan dua utusan Sultan Abu Yahya, sang penguasa Afrika. Kedua orang itu menjabat sebagai qadhi (hakim) nikah di kota Tunis. Mereka adalah Abu Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar Ali bin Ibrahim An-Nafzawi dan Syaikh Abu Abdullah Muhammad bin Al-Husain bin Abdullah Al-Qurasyi Az-Zubaidi. Beliau adalah salah satu orang utama di kota itu. Beliau meninggal tahun 40-an.
Pada hari kedatanganku di kota Tlemecen, kedua utusan tersebut telah keluar meninggalkan kota. Sebagian kawanku menyarankan agar aku menyertai perjalanan kedua utusan ini. Aku pun memohon petunjuk Allah Aja Iva Jalla untuk memutuskan apakah aku menerima saran mereka atau tidak. Aku menetap di kota Tlemecen selama tiga hari untuk memenuhi kebutuhanku. Setelah itu, aku meninggalkan kota ini dan berjalan mengikuti jejak kedua utusan tersebut.
Pada pertengahan musim panas, aku tiba di kota Milyanah.5 Di sana, aku temukan kedua utusan tersebut. Kami bertahan di tempat ini selama sepuluh hari, karena sakit yang diderita kedua utusan yang mahir dalam masalah fikih ini. Lalu, kami melanjutkan perjalanan sementara dalam waktu yang sama salah satu dari kedua utusan tersebut masih sakit keras. Pada jarak beberapa mil dari Milyanah, kami berhenti dan beristirahat tiga hari di sana dengan bekal air. Di hari keempat, tepatnya di waktu dhuha, salah satu utusan, sang qadhi, meninggal dunia. Putra beliau yang bernama Abu Thayyib dan temannya, Abu Abdullah Az-Zubaidi, datang ke Milyanah dan memakamkan sang qadhi di tempat itu.
Sumber : RIHLAH IBNU BATHUTHAH Penulis: Muhammad bin Abdullah bin Bathuthah