KAPAN AWAL PUASA RAMADHAN???
Fenomena yang sudah tidak asing, dan mungkin biasa dikatakan “membosankan”, yang khusus terjadi di Indonesia, yang oleh sebagian dianggap inilah “keragaman”, biasa terjadi didalam penetapan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawwal. Untuk sedikit memberi wacana, dalam hal ini, kami sajikan pada edisi kali ini tentang bagaimana pendapat para pakar ilmu fiqh, yang lebih dikenal dengan sebutan Fuqoha menanggapi permasalahan ini.
Setidaknya ada lima contoh kasus, dimana jika terdapat salah satunya, maka datanglah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan bagi setiap muslim. Ke lima poin tersebut adalah sebagai berikut:
• Sempurnanya bulan Sya’ban 30 hari
Sebagaimana diketahui bahwa perhitungan bulan dalam Syariat Islam antara 29 dan 30 hari, sehingga ketika telah sempurna bulan Sya’ban 30 hari, dapat dipastikan bahwa keesokan harinya adalah awal masuknya bulan Ramadhan.
• Terlihatnya hilal
Sesuai dengan sabda Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits, seperti Shohihul Bukhori dan Muslim yang artinya : “Berpuasalah kalian setelah terlihatnya hilal, dan berbukalah (berlebaran) setelah terlihatnya hilal. Kalaulah hilal tidak terlihat, maka kalian sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”
Adapun yang dimaksud dengan hilal adalah bulan pada tanggal 1, 2 dan 3 setiap bulannya, setelah itu berubah istilahnya dengan “qomar” (bulan).
Dengan demikian, siapapun yang melihat hilal bulan Ramadhan, walaupun orang tersebut fasiq, maka wajib bagi orang tersebut untuk berpuasa pada keesokan harinya.
• Ketetapan Pemerintah
Bagi mereka yang tidak melihat hilal, maka syariat memberikan jalan bagi mereka dengan adanya ketetapan dari pemerintah akan datangnya bulan Ramadhan. Ketetapan yang diambil tentunya setelah adanya berita dari seseorang yang terpercaya (‘adl Asy-syahadah), yang memiliki kriteria sebagai berikut: tidak pernah berbuat dosa besar, tidak mengerjakan dosa-dosa kecil terus menerus, taatnya lebih besar dari maksiatnya, laki-laki, merdeka, dapat menjaga emosi, kelakuannya baik, terjaga (tidak dalam keadaan tidur ketika melihat hilal), dapat berbicara, penglihatannya normal (tanpa alat bantu), dapat mendengar.
Jelaslah bagi kita, kalaulah ada seseorang yang termasuk kriteria “adl Asy-Syahadah”, dan telah melihat hilal Ramadan, dan melaporkannya kepada pihak yang berwenang, selanjutnya disetujui oleh pihak tersebut (pemerintah), dan ditetapkan bahwa hasil penglihatan orang tersebut merupakan tanda masuknya Ramadhan, saat inilah rakyat yang tidak melihat hilal dapat berpuasa Ramadhan dengan dasar keputusan tersebut.
Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam sunan Abi Daud dan disahkan oleh Al Imam Ibn Hibban, bahwa Sayyiduna Abdullah bin Umar ibn Khottob berkata: “Aku pernah memberikan kabar kepada Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa aku telah melihat hilal (Ramadhan), maka Rasulullah pun berpuasa dan memerintahkan kepada seluruh sahabatnya untuk berpuasa.”
Diriwayatkan pula oleh Al Imam At Turmudzi dan yang lainnya : “Seorang a’rabi datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersaksi bahwa dia telah melihat hilal Ramadhan, maka Nabi pun memerintahkan semua sahabat untuk berpuasa.”
• Sampainya berita tentang masuknya bulan Ramadhan
Apabila sampai kepada seseorang yang tidak mengetahui tentang masuknya bulan Ramadhan, baik disebabkan tidak melihat hilal, dan tidak mengetahui telah keluarnya ketetapan dari pemerintah, kabar tentang datangnya bulan Ramadhan, maka perlu diperhatikan bagi yang menerima berita dua hal:
1. Jika pembawa kabar adalah orang terpercaya, tidak terbiasa dengan sifat dusta. Dengan datangnya kabar ini, wajiblah ia berpuasa.
2. Jika pembawa kabar adalah orang tidak terpercaya, terbiasa dengan sifat dusta. Dengan datangnya kabar ini, apabila ia meyakini kebenaran berita sang pendusta ini, wajiblah ia berpuasa.
• Perkiraan
Ini diperuntukkan bagi orang-orang yang samar baginya waktu masuknya bulan Ramadhan, seperti seseorang yang dipenjara di negeri kuffar dan tidak mengetahui waktu dan kapan tepatnya awal masuk bulan Ramadhan, maka ia diperbolehkan untuk mengambil ijtihad (menentukan dengan perkiraannya).
Namun orang ini harus mengingat, apabila puasanya dengan ijtihad yang ia lakukan ternyata tepat dengan bulan Ramadhan, maka puasanya tepat waktu (adaan), dan jika sebaliknya, puasa yang dikerjakan ternyata setelah bulan Ramadhan, maka dihitung sebagai pengganti puasa di bulan Ramadhan tersebut (qadha).
LANTAS…….. ILMU HISAB?
Al Imam Ibn Hajar mengatakan, “Tidaklah ada kewajiban atas mereka berpuasa atas dasar hitungan yang mereka kerjakan, namun boleh-boleh saja mereka puasa TETAPI puasanya tidak dihitung sebagai ibadah Ramadhan.”
Al Imam Muhammad Al Khotib Asy Syirbini, mengatakan dalam kitabnya, Al Iqna’, bahwa: “Tidaklah diperbolehkan bagi seseorang untuk mengikuti seorang ahli hisab dan ahli perbintangan. Namun bagi sang ahli akan ilmu hisab ini boleh berpuasa untuk dirinya pribadi, dari hasil perhitungannya tersebut.”
Kegunaan ilmu hisab dalam penentuan awal masuknya dan keluarnya bulan, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Jika seluruh ahli hisab dalam satu wilayah tertentu secara bulat menyatakan bahwa hilal tidak dapat terlihat, lalu ternyata ada seseorang mengatakan ia telah melihat hilal, maka persaksian orang tersebut di tolak dengan bersandarkan pendapat ahli hisab.
2. Kesepakatan dari hasil perhitungan ahli hisab merupakan tolak ukur dari kebenaran atau tidaknya kesaksian seseorang yang menyatakan telah melihat hilal.
3. Memudahkan dalam proses rukyatul hilal. Sebagaimana diketahui, bahwa dengan hisab, dapatlah diketahui posisi hilal dengan cermat dan mudah, lengkap dengan ketinggian dan lama terbitnya pada hari tersebut.
LALU???
Dapat kita tarik benang merah akan permasalahan ini, diantaranya sebagai berikut:
a. Ilmu hisab sangatlah berguna untuk mempermudah proses rukyatul hilal, yang notabene adalah penentu dari masuk atau keluarnya bulan dalam perhitungan Syariat Islam, dan merupakan alat bukti atas benar tidaknya persaksian petugas-petugas rukyatul hilal.
b. Ilmu hisab tidak dapat digunakan sebagai penentu masuk dan keluarnya suatu bulan.
c. Adanya keterkaitan yang indah antara Ilmu Hisab dengan rukyatul hilal.
RENUNGAN
Setelah kita mengetahui, tentang ketentuan yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa berpuasa hanya dapat ditentukan dengan terlihatnya bulan, apakah masih ada dari sebagian yang merasa “LEBIH PINTAR”, hingga bersikeras dengan hasil hitungannya dan mengambil hukum awal puasa dengan hitungan tersebut????
Mari bersama kita renungkan beberapa sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
“Berpuasalah kalian setelah terlihatnya hilal, dan berbukalah (berlebaran) setelah terlihatnya hilal. Kalaulah hilal tidak terlihat, maka kalian sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Riwayat Bukhori dan Muslim.
Panutan kita Rasulullah Shallalllahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhori dalam Shohihnya, melalui sahabat Ammar bin Yasir, bahwa Rosulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Barang siapa berpuasa pada hari yang meragukan (30 sya’ban), maka telah menistakan Abal Qosim (Nabi Muhammad).”
Kalaulah berpuasa pada hari yang diragukan (yaum asy-syak), sudahlah demikian menistakan Rasulullah, lantas bagaimana orang-orang yang bersikeras berpuasa, sedangkan hilal tidak terlihat????
ILUSTRASI
Ketika kita menghadiri suatu lokakarya, atau seminar tentang suatu bidang ilmu, katakanlah seminar tersebut berjudul “Pembuatan Gedung Bertingkat Tahan Gempa”, kira-kira, siapa yang akan menjadi keynote speaker dalam acara tersebut? Pastilah para ahli dalam bidang konstruksi dan gempa. Begitulah seterusnya dalam setiap disiplin ilmu.
NAMUN….. sangatlah menjadi keprihatinan kita semua, ketika ada permasalahan dalam agama, MENGAPA semua merasa pantas untuk sumbang saran. Mengapa tidak kita serahkan pada AHLINYA????
di tambahin dgn artikel Qoshidah Wan biar tambah Syahdu