Kedua, kebodohan
Setiap manusia cenderung memandang hebat masa mudanya, sehingga banyak yang menganggap dirinya mustahil mati dalam usia yang masih belia.
Orang yang perlu dikasihani ini tidak berpikir bahwa seandainya orang-orang yang sudah tua di negerinya dihitung, jumlah mereka tidak lebih dari sepersepuluh jumlah penduduk yang ada. Hal ini dikarenakan angka kematian di usia muda jauh lebih tinggi. Kematian satu orang tua berbanding seribu kematian anak kecil dan anak muda.
Tidak sedikit pula yang berpikiran, mustahil kematian akan terjadi dalam keadaan ia sedang sehat wal afiat. Kematian tak mungkin terjadi secara mendadak. Orang seperti itu tak sadar bahwa semua itu sebenarnya bukan sesuatu yang mustahil. Sebab, kalau hal itu mustahil, maka sakit mendadak juga mustahil. Padahal kenyataannya setiap penyakit itu muncul secara mendadak. Dan jika ia sedang sakit, bukan mustahil pula bakal membawanya pada kematian.
Seandainya orang yang lalai ini sedikit mau berpikir dan sadar bahwa kematian itu tidak bisa ditebak kapan datangnya,tentu ia akan segera insaf dan bersiap menghadapinya. Kematian itu bisa terjadi pada usia muda atau tua, baik di musim dingin atau di musim panas, di musim gugur atau di musim semi, dan pada siang hari atau malam hari.
Akan tetapi, kebodohan dan rasa cinta dunia telah membuatnya banyak berangan-angan, hingga ia lalai memikirkan bahwa sebenarnya kematian telah dekat. Ia tahu bahwa kematian pasti akan tiba, tapi ia tak mau memperhitungkan bahwa kematian itu akan datang setiap saat, kapan saja. Ia rajin mengantarkan jenazah, tetapi tak pernah menyadari bahwa suatu saat jenazahnya lah yang akan diantarkan. Orang seperti ini sudah berkali-kali dan sudah terbiasa menyaksikan kematian orang lain, namun ia sendiri tidak menyadari akan kematian dirinya sendiri. Tentu saja karena ia belum pernah mengalami kematian. Coba kalau ia pernah mengalaminya, pasti itu akan merupakan pengalaman yang tidak akan pernah berulang. Baginya, kematian akan menjadi pengalaman yang pertama sekaligus yang terakhir. Jadi, seharusnya ia membandingkan dirinya dengan orang lain, dan sadar bahwa jenazahnya akan diusung oleh orang lain, kemudian dimasukkan ke liang lahat. Bahkan boleh jadi batu-batu bata penutup kuburnya telah dibuat untuknya tanpa ia ketahui. Maka, tindakan menunda-nunda adalah murni sebuah kebodohan.
Jika Anda sudah mengetahui bahwa penyebabnya adalah kebodohan dan cinta kepada dunia, maka terapi atau cara mengatasinya ialah dengan menolak penyebab tersebut.
Kebodohan bisa diatasi dengan berpikir jernih dari hati yang khusyu, dan dengan mendengar hikmah yang mampu menembus ke relung hati yang suci.
Sementara untuk mengatasi kecintaan kepada dunia adalah dengan mengeluarkan dunia itu dari hati. Ini memang sangat berat, karena sudah menjadi penyakit kronis yang susah diobati oleh orang-orang terdahulu maupun oleh orang-orang berlakangan. Tidak ada obatnya sama sekali selain iman atau mempercayai hari kiamat, berikut siksa yang besar dan balasan pahala yang melimpah ruah. Semakin kuat keyakinan seseorang terhadap hal itu, maka semakin cepat kecintaan kepada dunia lenyap dari hati.
Kecintaan terhadap sesuatu yang sangat penting akan menghapus kecintaan terhadap hal yang remeh dari dalam hati. Oleh karena itu, ketika seseorang menyadari bahwa sesungguhnya dunia ini terlalu remeh bila dibandingkan dengan akhirat, maka ia akan segera menjauhi setiap kecenderungan kepada hal-hal yang bersifat duniawi, sekalipun misalnya ia diberi kekuasaan yang membentang dari timur sampai ke barat. Betapa tidak? Baginya, yang bisa ia miliki dari dunia itu sangat sedikit, lagi penuh noda dan kotoran. Bagaimana mungkin ia akan gembira terhadap dunia, atau bagainana dunia bisa bercokol dalam hati kalau ia tetap percaya akan adanya kehidupan akhirat? Kita selalu memohon kepada Allah semoga Dia berkenan membuat kita mampu melihat dunia sebagaimana yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya yang saleh di masa lalu.
Obat paling ampuh untuk membual hati mau merenungkan kematian ialah dengan mengambil pelajaran dari kematian orang-orang dekat. Bagaimana mereka dijemput oleh kematian pada sajt yang tidak pernah mereka duga. Orang yang selalu dalam keadaan siap dijemput kematian, ia benar-benar telah memperoleh keuntungan yang sangat besar. Sebaliknya, orang yang tertipu oleh angan-angan yang banyak, ia benar-benar telah merugi.
Oleh karena itu, setiap saat hendaklah seseorang selalu memperhatikan anggota atau organ-organ tubuhnya, dan merenungkan bagaimana semua itu pasti akan dimakan oleh cacing-cacing, dan bagaimana tulang-tulangnya akan hancur lebur. Hendaklah pula ia merenungkan bagaimana cacing-cacing itu akan mulai menggerogoti biji matanya yang sebelah kanan atau yang sebelah kiri. Sebab, tak ada bagian dari jasadnya yang akan luput dari santapan cacing-cacing. Pada saat itu, tidak ada lagi yang dimilikinya selain ilmu dan amal saleh yang pernah dilakukannya secara ikhlas demi memperoleh keridhaan Allah.
Demikian pula ia harus merenungkan tentang azab kubur, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, peristiwa pengumpulan di Padang Mahsyar, peristiwa kebangkitan kembali, huru-hara kiamat, dan perhitungan amal, seperti yang akan kami kemukakan nanti. Dengan merenungan semua itu bisa memperbaharui ingatan kepada kematian di dalam hati, dan mendorong kita agar selalu dalam keadaan siap menghadapinya.
Sumber : Dibalik Tabir Kematian – Al Imam Al Ghazali