Bagi seseorang yang ditinggal mati oleh anak atau kerabat dekatnya, ia harus menjadikan itu sebagai contoh bahwa anaknya itu berangkat lebih dulu menuju ke negeri yang juga akan ditujunya. Dengan demikian, ia tidak perlu merasa sedih dan menyesal, karena tak lama lagi ia pasti akan menyusul. Jadi ini Cuma soal siapa lebih dulu dan siapa yang belakangan. Begitulah kematian. Yang satu berangkat lebih dulu kemudian disusul oleh lainnya. Demikian seterusnya. Jika seseorang meyakini seperti itu, ia tidak akan terlalu bersedih dan mengeluh. Apalagi ada hadits yang menerangkan tentang pahala bagi orang yang tertimpa musibah ditinggal mati anaknya. Ini bisa menjadi pelipur lara bagi orangtua si anak.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Aalihi Wa Shahbihi Wa Salambersabda:”Bagiku kehilangan seorang bayi karena keguguran itu lebih aku sukai daripada meninggalkan seratus orang anak yang Allah.” (HR. Ibnu Majah)
Beliau menyebutkan kalimat bayi yang mati karena keguguran tersebut hanya sebagai contoh minimal dibandingkan yang maksimal. Kalau tidak demikian, maka pahala yang didapat adalah sesuai dengan kedudukan si anak dalam “hati orang tuanya.
Zaid bin Aslam berkata, “Daud a.s. ditinggal mati oleh seorang puteranya. Ia sangat bersedih. Ketika ditanya makna puteranya itu baginya, ia menjawab, ‘Sama seperti emas sepenuh bumi.’ Lalu dikatakan kepadanya. ‘Di akhirat nanti kamu akan memperoleh imbalan seperti itu.’”
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Aalihi Wa Shahbihi Wa Salam Bersabda:
لا يموت للأحد من المسلمين ثلاثة من الولد فيحتبسهم الا كانوا له جنة من النار فقالت امرأة عند رسول الله صلى الله عليه وسلم او اثنان ؟ قال : او اثنان
“Seorang muslim yang kehilangan liga orang anak, tetapi ia bersabar demi mengharap keridhaan Allah, niscaya baginya mereka itu akan menjadi perisai dari api neraka.” Seorang wanita yang ada di dekat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Aalihi Wa Shahbihi Wa Salam bertanya? “Bagaimana kalau dua anak?” Beliau menjawab, “Atau dua orang anak.” (HR. Bukhari)
Orang tua yang ditinggal mati oleh anaknya hendaklah ia berdoa dengan tulus ikhlas demi anaknya, karena doa tersebut sangat mungkin dikabulkan oleh-Nya.
Pada suatu hari Muhammad bin Sulaiman berdiri di atas kubur anaknya, dan berkata, “Ya Allah, pagi ini aku mengharapkan rahmat-Mu untuknya, dan aku takut azab-Mu menimpanya. Tolong wujudkan harapanku dan lenyapkan ketakutanku.”
Abu Sinan berdiri di atas kubur anaknya dan berdoa, “Ya Allah, aku telah memaafkan tanggungan-tanggungan kewajibannya terhadapku. Maka tolong maafkanlah tanggungan-tanggungan kewajibannya kepada-Mu, karena sesungguhnya Mahadcrmawan lagi Mahapcmurah.”
Suatu ketika seorang A’rab (badui) berdiri di atas kubur anaknya dan berkata, “Ya Allah, aku telah memaafkan kekurangannya dalam hubungan anak dan orang tua. Maka tolong maafkan semua kesalahannya dalam hubungannya dengan-Mu.”
Ketika Dzar bin Umar bin Dzar meninggal dunia dan jenazahnya sudah diletakkan di liang lahat, ayahnya (Umar bin Dzar) berdiri dan berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai Dzar! Kami telah disibukkan oleh kesedihan atas kematiapmu, daripada kesedihan memikirkan kematianku sendiri.” Lalu ia (Umar) berdoa, “Ya Allah! Engkau telah memberi nikmat tak terhingga kepada Dzar, dan Engkau lah yang telah menentukan ajal kematian serta rezekinya, tanpa sedikit pun menzaliminya. Ya Allah! Engkau suruh ia taat kepada-Mu dan mematuhiku. Ya Allah! Pahala yang Engkau janjikan untukku karena musibah yang menimpaku ini telah aku berikan kepadanya. Maka, siksa saja aku, dan jangan siksa ia!”
Orang-orang yang mendengar ucapan itu menangis. Dan ketika hendak meninggalkan tempat itu ia berkata.
“Sepeninggalmu ini, wahai Dzar, kami tidak akan merasa kesepian. Sebab, selama kami bersama Allah, maka kami tidak membutuhkan siapapun. Kami akan pergi meninggalkanmu, karena sekalipun kami tetap tinggal bersamamu, kami sudah lidak ada gunanya lagi bagi dirimu.”
Pada suatu hari di Bashrah ada seorang laki-laki sedang memandangi seorang wanita. Ia berkata, “Belum pernah aku sebahagia ini, dan ini jelas akan mengurangi kesedihan.”
Si wanita membalas, “Wahai hamba Allah! Aku justeru merasa sedih selama aku bersama seseorang.”
Ia bertanya, “Kenapa?”
Si wanita menjawab, “Suamiku menyembelih seekor domba pada hari korban. Pada saat itu dua orang anakku yang masih kecil sedang bermain. Sang kakak bertanya kepada adiknya, ‘Maukah kamu aku perlihatkan bagaimana ayah menyembelih domba?’ Si adik menjawab, ‘Mau!’ Seketika sang kakak menangkap adiknya lalu langsung menyembelihnya. Kami tidak tahu bagaimana awalnya, karena tiba-tiba kami mendapati anak bungsu kami itu menggelapar-nggelepar bersimbah darah. Ketika orang-orang yang melihatnya berteriak menjerit, anak sulung kami itu lari dan bersembunyi di gunung. Di sana ia diterkam seekor serigala dan dimakannya. Ayahnya berusaha mencarinya cukup lama, sehingga ia pun mati karena kehausan oleh teriknya sengatan matahari. Begitulah takdir yang berlaku padaku, seperti yang kamu lihat.”
Musibah-musibah seperti ini harus diingat dari kematian anak-anak, agar dengan begitu bisa menjadi pelipur di balik lara. Dalam setiap musibah yang terjadi, kita harus membayangkan pasti ada musibah lain yang lebih besar lagi. Dan yang bisa mencegahnya hanyalah Allah Ta’ala.
Sumber : Dibalik Tabir Kematian – Al Imam Al Ghazali