Pada sebuah nisan, tertulis bait-bait syair sebagai berikut:
“Kubur-kubur yang diam membisu berbisik kepadamu. Sementara para penghu-ninya berbaring diam di bawah ta-nah.
Wahai penghimpun harta dunia yang takkan pernah puas, untuk siapa kamu kumpulkan harta dunia? Sedang kamu sendiri pasti mati?”
Di sebuah nisan yang lain juga tertulis syair sebagai berikut.
“Abu Ghanim,
betapa luas tempatmu berlindung,
dan betapa kokoh dinding-dinding kuburmu.
Tapi, apalah gunanya itu,
bagi orang yang terkubur?
Saat jasadnya berangsur-angsur hancur lebur.
Saat melewati sebuah tempat pemakaman, Ibnu as-Sammak melihat sebuah nisan bertuliskan beberapa bait syair:
“Kaum kerabatku mondar mandir di depan kuburku, seolah mereka tak pernah mengenalku. Padahal mereka adalah ahli waris. Yang akan membagi-bagi harta pusaka peninggalanku, tiada peduli dengan tanggungan utang-utangku. Setelah mengambil bagiannya, mereka bisa hidup tenang. Ya Allah, begitu cepat mereka melupakan aku.”
Dan pada sebuah nisan kuburan juga ditemukan tulisan:
“Wahai manusia, aku punya selaksa asa yang indah, namun usiaku terlalu singkat untuk bisa mewujudkannya. Hai orang yang masih hidup dan masih sempat beramal, hendaklah kamu bertakwa kepada Tuhanmu. Bukan hanya aku yang dibawa ke tempat yang kamu lihat ini, tetapi semua pasti akan menuju ke sini.
Syair-syair tersebut ditulis di atas kuburan, karena penghuni-penghuninya gagal mengambil pelajaran sebelum kematian mereka. Saat melihat kuburan orang lain, seorang yang cerdas pasti sadar kalau pada gilirannya ia pasti akan berada di tengah-tengah mereka, sehingga ia lalu mempersiapkan diri untuk menyusul mereka. Ia yakin, satu hari usia yang telah mereka sia-siakan adalah lebih berharga daripada dunia seisinya. Tetapi, kesadaran itu sudah terlambat. Dan keinginan mereka untuk tidak menyia-nyiakan waktu sehari pun dalam hidup ini, diharapkan menjadi pelajaran bagi yang masih hidup. Bagi yang punya banyak kekurangan, segeralah memperbaiki, sehingga ia akan selamat dari siksaan.
Sayangnya mereka baru menyadari betapa berharganya nilai umur itu justeru setelah mereka mati, sehingga mereka ingin sekali bisa hidup kembali walau hanya sebentar. Sementara sekarang engkau masih mempunyai kesempatan memiliki waktu yang hanya sesaat itu, atau bahkan lebih. Jadi, celakalah bila Anda sampai melewatkannya begitu saja tanpa makna. Maka, bersiaplah menyesali kelalaianmu itu ketika keputusan sudah tidak lagi berada di tanganmu, karena engkau gagal memanfaatkan momentum untuk meraih keberuntungan.
Pada suatu hari, seorang salihin menuturkan, “Dalam mimpi aku bertemu seorang saudaraku sesama muslim. Aku berkata, ‘Wahai fulan! Syukur alhamdulillah kamu masih hidup.’ Tapi ia berkata, ‘Andai saja aku bisa mengucapkan kalimat itu, tentu itu lebih aku sukai daripada dunia seisinya.’ La berkata kembali, ‘Apa kamu tidak tahu kalau orang-orang mereka sudah menguburku? Teman kita si fulan masih bisa shalat dua rakaat. Seandainya aku masih bisa melakukannya, itu lebih aku sukai daripada dunia seisinya.’”
Sumber : Dibalik Tabir Kematian – Al Imam Al Ghazali