Ketahuilah, sekalipun misalnya tidak ada derita atau (siksa yang harus dihadapi oleh seorang hamba yang matang kecuali sakaratul maut saja, maka itu sudah cukup untuk membuat hidupnya susah, merusak kegembiraannya, dan mengusir sikap lalainya. Oleh karena itu, ia mestinya selalu memikirkan hal ini, dan makin serius menyiapkan diri intuk menghadapinya. Terlebih lagi, ia setiap saat berada dalam ancaman sakaratul maut tersebut. Seperti kata orang bijak, “Engkau tidak pernah tahu, kapan malapetaka yang sekarang dihadapi orang lain itu akan datang kepadamu.”
Iuqman al-Hakim berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku, terhadap suatu bahaya yang kamu tidak ketahui kapan akan menimpamu, maka kamu harus selalu siap siaga menghadapinya sebelum ia datang secara mengejutkan.”
Pada saat seseorang menikmati kesenangan di suatu tempat yang sangat nyaman, sering justru ia merasa cemas dengan kemungkinan datangnya serangan mendadak dari orang lain yang akan membuyarkan suasana gembira itu. Kecemasan itulah yang kemudian mendorongnya untuk selalu waspada. Namun ironisnya, hal yang sama tidak ia lakukan dalam menghadapi kemungkinan datangnya malaikat maut yang akan mencabut nyawanya saat ia sedang lalai. Ini tentu sikap bodoh dan terpedaya.
Ketahuilah, dahsyatnya rasa sakit sakaratul maut itu hanya bisa dirasakan hakikatnya oleh orang yang pernah mengalaminya. Namun bagi yang belum pernah mengalami, bisa mengetahuinya dengan cara menganalogikannya dengan rasa sakit lain yang pernah ia rasakan, atau dengan melihat kepedihan orang lain yang sedang mengalami sakaratul maut.
Dalam analogi kehidupan sehari-hari kita saksikan bahwa setiap anggota tubuh yang tidak bernyawa tidak akan merasakan sakit. Dan bila memiliki nyawa, maka yang akan merasakan sakitnya ialah ‘nyawa’ atau jiwanya. Misalkan ada anggota tubuh yang terluka atau terbakar, pengaruhnya akan menjalar kepada nyawa. Dan sesuai dengan kadar rasa sakit yang menjalar ke nyawa, sebesar itu pula rasa sakit yang dialami oleh seseorang. Derita rasa sakit itu lalu menjalar ke daging, darah, dan anggota-anggota tubuh yang lain.
Tidak ada penyakit yang langsung mengena ke nyawa, kecuali penyakit tertentu. Jika ada salah satu penyakit langsung mengarah ke nyawa dan tidak tersebar ke bagian-bagian tubuh yang lain, maka betapa pedih dan kerasnya rasa sakit tersebut.
Sakaratul maut adalah ungkapan tentang rasa sakit yang menyerang dasar nyawa (jiwa) dan menjalar ke seluruh bagian nyawa itu, sehingga tidak ada satu pun dari bagian-bagiannya yang terbebas dari rasa pedih tersebut.Rasa sakit karena tertusuk duri misalnya, hanya menjalar ke bagian jiwa yang terletak pada anggota tubuh yang terkena tusukan itu. Sementara pengaruh luka bakar begitu luas, karena bagian-bagian api menyebar ke seluruh tubuh sehingga semua bagian tubuh yang di dalam atau di luar ikut pula merasakannya. Efek bakar itu dirasakan oleh bagian-bagian ruhaniyah yang ada di semua bagian daging yang terbakar. Adapun luka tersayat pisau hanya akan menimpa bagian tubuh yang terkena. Itulah sebabnya rasa sakit yang diakibatkan oleh luka tersayat pisau lebih ringan daripada luka bakar.
Tetapi rasa sakit yang dialami selama sakaratul maut langsung menghunjam nyawa dan seluruh bagiannya yang meliputi seluruh anggota badan. Maka, orang yang bersangkutan merasa dirinya ditarik dan dicabut dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dan juga dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga ujung kaki. Jangan Anda tanyakan kepedihannya! Sehingga sering dikatakan bahwa sakaratul maut itu lebih menyakitkan daripada tebasan pedang, digergaji, atau digunting. Sebab, sakit yang dirasakan oleh tubuh akibat tebasan pedang itu terjadi karena hal itu berhubungan dengan jiwa. Bayangkan, bagaimana kalau hal itu langsung dirasakan oleh jiwa (nyawa)! Kalau seseorang yang dipukul masih bisa berteriak kesakitan, hal itu karena masih adanya sisa kekuatan dalam hati dan lidahnya. Sedangkan suara jeritan orang yang sedang mengalami sakaratul maut tidak bisa terdengar. Ini karena rasa sakit yang amat sangat, dan rasa sakit ini telah memuncak dan menembus ke dasar hati. Akibatnya, kekuatan tenaga menjadi hilang, semua anggota tubuh melemah, dan sudah tidak ada daya sama sekali untuk berteriak meminta tolong.
Sumber : Dibalik Tabir Kematian – Al Imam Al Ghazali