Marilah kita kembali kepada ceritaku mengenai kerabatku yang menginginkan kitab iksir yang kurahasiakan. Mereka mendatangi asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Hibthiy dan berkata kepadanya, “Wahai tuan, kami menginginkan agar engkau memerintahkan kepada si fulan (Yusuf bin ‘Abid) agar ia kembali mencari ilmu iksir yang manfaatnya akan kembali kepadanya dan kepada selainnya. Jika ia mendapatkan sesuatu yang dapat memenuhi hajatnya lalu ia pulang ke negeri para datuknya, maka Allah akan menjadikannya bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Sebab ayahnya adalah seseorang yang kami muliakan.” Maka asy-Syaikh berkata kepadanya, “Bagaimana kondisinya dulu saat ia masih kecil?” Maka mereka pun menceritakan kehidupanku hingga kepergianku untuk menuntut ilmu. Lalu cerita berpindah dari kondisi mencari ilmu menjadi kondisi seperti sekarang yang kualami ini. Maka asy-Syaikh berkata kepada mereka, “Aku tidak akan berseberangan dengan seseorang yang kondisinya seperti kalian ceritakan. Sebab sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepadanya menuju kepada hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya.” Mendengar jawaban asy-Syaikh maka mereka semua membiarkan aku dalam kondisiku sekarang ini. Seakan-akan asy-Syaikh Muhammad mengisyaratkan bahwa semua itu seperti apa yang disebut oleh ahli sejarah dan riwayat, bahwa dikatakan kepada al-Hasan bin Ali (cucu Nabi Saw), bahwa Abu Dzar bekata, “Kefakiran lebih aku sukai daripada kaya, dan sakit lebih aku sukai daripada sehat.” Maka beliau berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Sedangkan aku berpendapat bahwa barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka dia tidak akan menginginkan suatu kondisi kecuali yang dipilihkan Allah baginya.” Aku mondar-mandir menuju ke daerah gunung Ghamarah al-Hibthi ini karena di sana terdapat para wali Allah yang masih hidup dan yang telah wafat. Diantaranya adalah asy-Syaikh Abdussalam bin Masyisy. al-Haj asy-Syathibiy, asy-Syatkh Abdulwants. asy-Syaikh al-Khazzawiy, juga para wali yang lainnya yang telah wafat. Tidak ada satu pun di antara para wah yang telah di alam barzakh yang aku kunjungi di daerah ini kecuali aku mendapatkan isyarat dari mereka.
Aku pernah tertidur di makam seorang wali di daerah ini setelah mengakhatamkan al Quran dan memohon kepada Allah agar menampakkan kepadaku wali yang aku tidur di makamnya itu. Tempat itu sepi tak ada manusia. Lalu aku bermimpi mendapati seseorang yang sedang meniup mizmar (seruling orang badui), sedangkan aku ada di sebelah kanannya. Aku dan dia menuju ke arah timur. Aku membawa rebana. Muncul pula seseorang yang berhadapan denganku menuju ke arah barat. Dia juga membawa rebana seperti yang kubawa. Setiap orang dari kita memukul rebana masing masing dengan bersungguh-sungguh, sesuai dengan puncak kemampuan dan keinginan masing-masing. Peniup mizmar itu juga bersungguh-sungguh hingga ia mengalami wajd” dan jatuh dalam posisi bagian badan sebelah kirinya di bawah, sedangkan mizmar-nya terjatuh di sebelah kanannya. Sedangkan aku dan orang yang membawa rebana masih tetap memukul rebana hingga hilang kesadaranku.
Lalu dan makam itu aku pergi ke desa asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Hibthiy, dan kuceritakan mimpiku yang terjadi di siang hari itu. Maka ia mengatakan kepadaku bahwa mimpi itu adalah lambang kedudukan yang tidak akan dicapai di zaman ini, namun aku akan mencapai derajat itu insya Allah. Beliau, asy Syaikh Muhammad bin Abdullah, adalah ulama yang tertinggi kedudukannya di masa itu di Maroko.
Kemudian beliau menceritakan tentang Daud as, dan sabda Nabi Saw kepada Abu Musa al-Asy’ariy ra, “Aku telah diberi mizmar yang berasal dari mizmar keluarga Daud.”
Lalu di antara para wali yang masih hidup yang kukunjungi di daerah itu juga adalah asy- Syaikh Muhammad bin Ali bin ar-Raisun. Beliau tinggal di pedalaman yang bernama Arib di belakang lembah yang bernama lembah Dzara yang berjarak sepuluh marhalah (± 415 km). Ketika aku menceritakan kepadanya bahwa aku memasuki kota Fasdan Maknas, serta kuceritakan pengalamanku, beliau berkata, “Kau pasti akan bertemu dengannya (pembimbing spiritual), walaupun umurmu saat pertemuan itu tinggal satu hari. Kau pasti akan berjabat tangan dengannya.”
Di daerah ini juga terdapat asy-Syaikh Muhammad Abu Syita. Saat aku bertemu dengannya terjadilah munazaloh” antara aku dengannya ketika mengenakan khirqahK.
Aku juga pernah mengambil manfaat dari asy-Syaikh Abdullah bin Hasun as-Salasiliy, asy-Syaikh Umar al-Bathwiy. asy-Syaikh Musa bin Ali ar-Riyahiy, asy-Syaikh Manshur bin Abdunnaim, dan seorang waliyyah lagi yaitu salihah Aisyah al-Hibthiyyah.
Semua yang aku sebut di atas tinggal di gunung Ghamara dan di pesisir pantainya. Begitu juga di kota-kota yang termasuk bagian dari daerah ini, terdapat pula banyak para wali yang aku lupa namanya satu persatu.
Akhirnya tibalah bagiku waktu untuk menyebarkan ilmu dan hadits di koiaku, yaitu kota Fas. Maka aku pulang ke kota itu. Sebelum pulang, aku menyerahkan kunci-kunci ruangan yang aku gunakan selama belajar. Pada waktu itu aku memegang kunci ruang al-Quran, dan kunci ruang makan. Sedangkan kunci yang aku bawa adalah kunci dari sekolah Mishbah karena terletak di desa yang dekat dengan Masjid Jami’ al-Qarwiyyin yang menyelenggarakan majelis ilmu.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim