Al-Hasan berkata, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Aalihi Wa Shahbihi Wa Salam bertanya pada para sahabatnya, “Apakah kalian semua ingin masuk surga?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda:”Kalau begitu, jangan banyak angan-angan. Letakkan ajal kalian di depan mata. Dan merasa malulah kepada Allah dengan sungguh-sungguh.” (HR. Ibnu Abi Dun-ya)
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Aalihi Wa Shahbihi Wa Salam biasa berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dunia yang dapat menghalangi kebajikan akhirat. Aku berlindung kepada-Mu dari hidup yang dapat menghalangi dari sebaik-baik kematian, dan aku berlindung kepada-Mu dari angan-angan yang dapat menghalangi sebaik-baik amal.” (HR. Ibnu Abi Dun-ya)
Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Mutharrif bin Abdullah mengatakan, “Seandainya tahu kapan ajal kematianku, aku khawatir akalku akan hilang. Tetapi Allah Ta’ala telah menganugerahi hamba-hamba-Nya dengan lalai pada kematian. Bila tak ada anugerah ini, tentu mereka tidak akan merasakan kesenangan hidup, dan tidak ada pasar yang dibangun di tengah-tengah mereka.”
Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Lalai dan angan-angan adalah dua nikmat besar yang dianugerahkan kepada manusia. Jika tidak ada keduanya, niscaya orang-orang muslim tidak akan ada di jalan-jalan.”
Sedangkan Sufyan ats-Tsauri mengatakan, “Aku mendengar bahwa seseorang itu diciptakan dalam keadaan dungu. Seandainya tidak begitu, tentu ia tidak bisa merasakan kesenangan hidup.”
Sa’id bin Abdurrahman berkata, “Dunia ini menjadi ramai justeru oleh akal para penghuninya yang kurang.”
Salman al Farisi menuturkan, “Ada tiga orang yang aku merasa heran sehingga membuatku tertawa, yakni orang yang mengangan-angankan dunia padahal ia sedang diburu oleh kematian, orang yang lalai tetapi ia tidak mau menerima nasihat, dan orang yang selalu tertawa padahal ia tidak tahu apakah Tuhan semesta alam murka atau ridha kepadanya. Dan ada tiga hal yang aku merasa sedih sehingga membuatku menangis, yakni perpisahan dengan orang-orang tercinta (Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Aalihi Wa Shahbihi Wa Salam dan golongannya), huru-hara kiamat, dan ketika aku berdiri di hadapan Aliah tanpa tahu apakah aku akan diperintahkan masuk ke surga atau ke neraka.”
Seseorang meriwayatkan, “Setelah kematian Zurarah bin Abu Aufa’, aku bermimpi melihatnya. Aku bertanya, ‘Amal apakah yang paling berharga di sisimu?’ Ia menjawab, ‘Tawakal dan tidak banyak angan-angan.'”
Sufyan ats-Tsauri mengatakan, “Zuhud terhadap dunia ialah dengan tidak banyak angan-angan, bukan dengan makan-makanan yang kasar atau memakai pakaian jelek.”
Pada suatu hari Al-Mufadhal bin Fudhalah berdoa memohon kepada Allah agar ia tidak memiliki angan-angan sama sekali. Dan doanya dikabulkan sampai ia tak punya lagi selera makan dan minum. Lalu ia berdoa lagi supaya angan-angannya dikembalikan. Setelah doanya dikabulkan, ia bisa kembali makan dan minum dengan enak.”
Al-Hasan pernah ditanya, “Wahai Abu Said, kenapa engkau tidak menyuci bajumu?” Ia menjawab, “Ada urusan yang lebih mendesak dari pada hal itu. Yaitu, kematian yang diikatkan pada ubun-ubun kalian, dan dunia yang dilipat di belakang kalian.”Seseorang mengatakan, “Aku laksana orang yang menjulurkan lehernya ke arah pedang terhunus yang tinggal menunggu kapan akan dihantamkan.”
Daud ath-Tha’i berkata, “Seandainya aku berangan-angan bisa hidup satu bulan lagi, itu berarti aku telah melakukan sesuatu yang kejam. Bagaimana aku bisa berangan-angan seperti itu, sementara aku melihat malapetaka-malapetaka yang mengejutkan bisa menimpa manusia kapan saja, baik siang maupun malam.”
Diceritakan bahwa pada suatu hari Syaqiq al-Balkhi mengunjungi salah seorang gurunya yang bernama Abu Hasyim ar-Rummani dengan mengenakan sebuah asesoris pada pakaiannya. Sang guru bertanya, “Apa yang kamu kenakan itu?” Syaqiq menjawab, “Sedikit hiasan pemberian salah seorang temanku sebagai kenang-kenangan. Ia ingin aku memakainya dalam santap malam nanti.” Sang guru berkata, “Wahai Syaqiq, apakah kamu berpikir bahwa kamu akan bisa bertahan hidup sampai malam nanti? Sudah, aku tidak akan berbicara lagi denganmu.” Selesai berkata seperti itu, ia langsung menutup pintu lalu masuk.
Sumber : Dibalik Tabir Kematian – Al Imam Al Ghazali