Ibrahim az-Zayyat memperhatikan beberapa orang yang sedang berdoa memohon rahmat Allah untuk si mayit (jenazah). Ibrahim lalu berkata, “Kalian lebih baik mendoakan diri kalian sendiri. Sesungguhnya mayit yang kalian doakan itu telah terbebas diri tiga huru-hara: dari wajah malaikat maut yang telah dilihatnya, dari pedihnya kematian yang sudah ia rasakan, dan dari takut terhadap kematian yang sekarang ia telah terbebas darinya.”
Abu Amr bin al-Alla’ berkata, “Aku duduk di dekat Jarir yang sedang mendiktekan sebuah syair ke sekretarisnya.Ia kemudian berhenti mendadak begitu melihat usungan jenazah. “Demi Allah, peristiwa ini telah membuat rambutku beruban,” katanya.
Kemudian ia bersyair:
“Tiba-tiba ketakutan mencekam hati,
saat usungan jenazah muncul.
Tetapi kita kembali lalai, saat usungan jenazah itu berlalu.
Laksana takutnya sekawanan domba,
oleh kedatangan seekor serigala.
Dan ketika serigala itu pergi,
mereka kembali merumput dengan riang.”
Di antara adab mengantarkan jenazah ialah merenung, ingat diri, dan berjalan di depannya dengan sikap merendahkan diri kepada Allah. Ia juga harus berbaik sangka terhadap orang yang meninggal dunia walaupun di masa hidupnya orang itu suka berbuat maksiat (fasik), serta tidak terlalu memuji-mujinya meski secara lahiriah orang itu termasuk orang yang baik. Sebab, akhir kehidupan manusia itu misterius.
Umar bin Dzarr meriwayatkan, pada suatu hari seorang tetangganya meninggal dunia. Semasa hidupnya ia adalah orang yang suka menuruti nafsu, sehingga banyak orang yang enggan melayatnya. Umar bin Dzarr tetap melayatnya, bahkan ikut menyembahyangkan jenazahnya. Ketika jenazah sudah diturunkan ke liang lahat, Umar berdiri di dekatnya dan berdoa, “Semoga. Allah merahmatimu, wahai fulan, karena sepanjang hidup kamu tetap menyimpan kesaksian tauhid, dan pada wajahmu ada bekas sujud. Meski mereka menilaimuorang fasik dan berdosa, tcfapi siapa di antara kita yang tidak pernah berdosa dan berbuat durhaka dalam catatan amalnya?”
Ada seorang yang sangat miskin meninggal dunia di sebuah desa di wilayah Bashrah, Iraq. Isterinya tidak mendapati seorang pun yang mau membawa jenazah suaminya ke kuburan, karena semasa hidup suaminya sering berbuat jahat. Wanita malang ini lalu memanggil beberapa orang untuk menyembahyangkan jenazah suaminya. Tetapi mereka juga enggan melakukannya. Akhirnya ia membawa sendiri mayat, suaminya ke padang pasir untuk dikuburkan di sana. Di atas sebuah bukit tidak jauh dari tempat tersebut, tinggallah seorang ‘alim besar yang tekenal zuhud. Wanita malang tadi melihat sang ‘alim seakan-akan sedang menunggu jenazah suaminya, dan kemudian turun dari tempatnya untuk menyembahyangkan jenazah yang telah dikuburkan tersebut. Tak pelak, kabar bahwa sang ‘alim zuhud telah menyembahyangkan jenazah orang jahat itu dengan cepat tersiar ke seluruh pelosok kota. Warga kota pun keluar untuk ikut menyembahyangkannya, meskipun mereka heran atas apa yang dilakukan si ulama tersebut. Setelah didesak alasannya, si ‘alim akhirnya menjelaskan, “Dalam mimpi aku disuruh untuk pergi ke sebuah tempat yang di sana aku akan melihat jenazah seorang laki-laki yang hanya ditunggui oleh isterinya saja, dan aku disuruh untuk menyembahyangkannya karena dosanya telah diampuni oleh Allah.”
Jawaban si ‘alim justeru makin membuat warga heran. Lalu si ‘alim isteri orang yang meninggal tersebut dan ditanya tentang perilaku mendiang suaminya.
Wanita itu menjawab dengan jujur, “Seperti yang sudah kalian ketahui, sepanjang hari meneliang suamiku menghabiskan banyak waktunya di warung minuman untuk bermabuk-mabukan.”
Si ‘alim bertanya lagi, “Coba ingat baik-baik, apakah kamu mengetahui amal kebaikan yang biasa dilakukan mendiang suamimu?”
Wanita itu menjawab, “Ya, ada! Ada tiga hal yang saya ketahui. Pertama, setelah mabuk semalaman biasanya ia sadar menjelang waktu shubuh. Ia lalu bergegas mengganti pakaiannya lalu berwudhu dan ikut shalat berjamaah. Namun ia kembali lagi ke warung minuman dan bergelimang dalam dosa. Kedua, setiap hari rumahnya selalu didatangi oleh satu atau dua anak yatim. Kebaikannya terhadap mereka melebihi kebaikannya terhadap anak-anaknya sendiri. Ia sangat sayang kepada anak-anak yatim tersebut. Ketiga, di kegelapan malam, saat sedang mabuk, ia biasanya sadar lalu menangis seraya berkata, “Ya Allah! Di sudut neraka manakah Engkau akan mencampakkan manusia kotor seperti aku ini?” Si ‘alim lalu melanjutkan pengembaraannya, karena persoalan yang selama ini menghantui pikirannya kini telah menjadi jelas.
Diriwayatkan tentang Shilat bin Asyyim, setelah seorang saudaranya dimakamkan, ia berdiri di samping pusara dan berkata, “Jika kamu selamat darinya, berarti kamu selamat dari persoalan yang paling pelik. Dan jika tidak, maka aku sama sekali tidak sanggup menyelamatkanmu.”
Sumber : Dibalik Tabir Kematian – Al Imam Al Ghazali