Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, isteri Umar bin Abdul Aziz bertutur tentang suaminya. “Saat dalam keadaan kritis, aku mendengar Umar berdoa, ‘Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kematianku membebani mereka barang sehari pun.’ Dan pada hari kematiannya, aku meninggalkannya dan duduk di ruangan lain yang hanya terpisah oleh sebuah pintu. Dari dalam kamarnya yang berkubah tiba-tiba aku mendengar ia membaca ayat:
تلك الدار الاخرة نجعلها للذين لايريدون علوا في الارض ولا فساد والعاقبة للمتقين
‘Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.’ Al-Qashshash: 83)
Kemudian keadaan menjadi hening. Aku tidak mendengar lagi suara gerakan maupun kata-kata apapun yang diucapkannya. Aku lalu berkata kepada salah seorang pelayannya, ‘Coba kamu lihat, apa beliau sedang tertidur?’ Begitu si pelayan memeriksa kamar, ia langsung menjerit sehingga membuat aku tersentak. Ternyata ia sudah hampir wafat. Pada saat itulah seorang temannya berkata, ‘Berwasiatlah, wahai Amirul Mukminin!’ Ia menjawab, ‘Aku peringatkan kalian akan kematian, karena mau tidak mau kalian pasti akan mengalaminya.'”
Sebuah riwayat menyebutkan, pada saat kondisi khalifah Umar bin Abdul Aziz sudah semakin kritis, dipanggillahseorang tabib. Setelah memeriksa sang khalifah, ia berkata, “Aku yakin orang ini telah diracuni. Tetapi aku tidak bisa menyelamatkannya dari kematian.”
Tiba-tiba sang khalifah mengangkat wajahnya dan berkata, “Bukankah kamu juga tidak sanggup melindungi orang yang tidak terkena racun sekalipun dari kematian?”
Si tabib bertanya, “Apakah engkau merasakannya, wahai Amirul Mukminin?”
Khalifah menjawab, “Ya, aku mengetahuinya segera setelah racun itu masuk ke dalam perutku.”
“Kalau begitu engkau harus diobati, wahai Amirul Mukminin. Karena aku khawatir nyawa engkau tak tertolong lagi,” kata sang tabib.
Khalifah menjawab, “Tuhanku itu sangat baik. Demi Allah, seandainya aku tahu bahwa obat penyembuhku ada pada daun telingaku, aku tidak akan mengangkat tanganku untuk mengambilnya. Ya Allah, izinkan Umar untuk lebih memilih bertemu dengan-Mu.” Beberapa hari kemudian khalifah Umar bin-Abdul Aziz pun meninggal dunia.
Diriwayatkan bahwa menjelang kematiannya, khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis. Seseorang bertanya, “Kenapa engkau menangis, wahai Amirul Mukminin? Bergembiralah, karena engkau telah banyak berjasa menghidupkan kembali sunnah-sunnah Nabi dan menegakkan keadilan.”
Sang khalifah menangis lagi seraya berkata, “Bukanlah nanti aku akan dihadapkan kepada Allah dan dimintai pertanggungjawaban atas kekuasaan yang aku pegangterhadap hamba-hamba-Nya? Demi Allah, sekalipun misalnya sudah berlaku adil terhadap manusia, aku masih tetap khawatir bahwa aku tidak akan mampu mengemukakan hujjah di hadapan Allah kecuali sudah diberitahu olch-Nya. Lalu bagaimana jika aku telah melakukan banyak kesalahan?”
Air matanya berlinang, dan tidak lama kemudian ia pun meninggal dunia. Semoga Allah selalu merahmatinya.
Menjelang kematiannya, khalifah Harun al-Rasyid (Bani Abbasiyyah) tampak sedang memilih kain kafannya sendiri. Dan setelah mengamat-amatinya ia lalu membaca ayat: “Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku daripadaku.”
Sumber : Dibalik Tabir Kematian – Al Imam Al Ghazali