Aisyah meneruskan riwayatnya, “Dan datanglah Jibril a.s. Setelah mengucapkan salam, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, inilah yang terakhir kali aku turun ke dunia. Wahyu telah terputus. Dunia telah dilipat. Dan aku tidak punya urusan di bumi selain dengan engkau. Aku tidak punya tujuan apa pun untuk hadir kembali di bumi, selain hadir di dekatmu. Setelah itu aku akan tetap berada di tempatku. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran, tidak ada seorang pun di dalam rumah ini yang bisa mengubah satu kata pun dari yang telah aku sampaikan. Dia ia (Muhammad) tidak akan pernah diutus lagi kepada umatnya, betapapun penting berita yang harus ia sampaikan, dan meski sangat besar perasaan dan kasih sayang kita.'”
Aisyah meneruskan, “Aku lalu berdiri mengahampiri beliau, lalu aku letakkan kepala beliau di dadaku sambil memegang dada beliau. Beliau jatuh pingsan tak sadarkan diri. Kening beliau mengucurkan keringat sangat deras, yang belum pernah aku saksikan terjadi pada siapapun. Aku seka keringatnya. Dan, belum pernah aku mencium ada keringat yang harum kecuali keringat beliau. Ketika beliau sudah siuman, aku berkata, ‘Betapa derasnya keringat di kening Anda.’ Beliau bersabda:’Wahai Aisyah, nyawa seorang mukmin itu keluar bersama keringatnya. Dan nyawa orang kafir itu keluar melalui kedua rahangnya seperti nyawa seekor keledai.’ Mendengar itu kami semua merasa takut. Kami mengundang seluruh anggota keluarga.
Orang pertama yang datang kepada kami tetapi tidak sempat mendapati beliau ialah saudaraku (Abdurrahman). Ia datang setelah disuruh ayahku. Rasulullah wafat sebelum orang-orang datang. Allah menahan mereka dari beliau karena beliau tengah di urus oleh malaikat Jibril dan Mikail. Dan sebelum pingsan, beliau selalu mengatakan, ‘Tapi teman Yang tertinggi.’ Seolah-olah pilihan telah dijatuhkan kepada-Nya.
Dan ketika masih kuat, beliau berbisik, ‘Shalat… shalat… Kalian semua akan bersatu jika kalian selalu shalat berjamaah. Shalat.. shalat…’ Beliau terus berpesan soal shalat ini sampai menghembuskan nafas yang terakhir. Sekali lagi beliau terus berpesan, ‘Shalat. . shalat…'” (HR. ath-Thabrani)
Aisyah berkata, “Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Aalihi Wa Shahbihi Wa Salam wafat menjelang tengah hari pada hari Senin.” (HR. Inu Abdil-Barr)
Fatimah r.a. berkata, “Kenapa duka cita selalu terjadi pada hari Senin? Demi Allah, umat ini selalu ditimpa bencana besar pada hari Senin.”
Kalimat yang sama juga pemah diucapkan oleh Ummu Kultsum r.a., anak Fatimah dan Ali, saat ayahnya (Ali bin Abi Thalib) dibunuh di Kufah. “Bencana apa yang menimpaku pada hari Senin? Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Aalihi Wa Shahbihi Wa Salam wafat pada hari Senin. Umar terbunuh pada hari Senin, dan pada hari Senin pula ayahku terbunuh. Aduhai, bencana apa yang menimpaku pada hari Senin?’
Aisyah r.a. berkata, “Ketika Rasulullah wafat, banyak orang merasa bagai disambar petir. Sebagian mereka meratap dengan suara keras ketika para malaikat menutupi jasad beliau dengan salah satu pakaiannya. Tanggapan orang-orang atas berita kematian beliau bermacam-macam. Ada yang tidak percaya kalau beliau telah wafat, ada yang terdiam membisu dan lama tidak sanggup berkata-kata. Ada yang mengeluarkan ucapan-ucapan yang tidak jelas seperti orang mengigau, ada yang masih tetap punya akal sehat. Ada pula yang hanya bisa duduk termangu-mangu. Umar ibnul-Khaththab termasuk di antara mereka yang tidak percaya berita wafatnya beliau. Ali termasuk yang hanya bisa duduk termangu. Dan Usman termasuk di antara yang tidak kuasa berkata-kata.
Mendengar berita duka ini, Umar keluar menemui orang banyak dan berkata, “Rasulullah tidak wafat. Allah pasti akan mengembalikan beliau hidup kembali. Semoga tangan dan kaki orang orang munafik yang menginginkan kematian beliau terpotong. Sesungguhnya Allah telah berjanji bertemu dengan beliau seperti pertemuan-Nya dengan Musa. Beliau pasti akan kembali lagi kepada kalian.”
Disebutkan dalam suatu riwayat, Umar saat itu berkata, “Wahai manusia, jaga mulut kalian dari membicarakan tentang Rasulullah, karena sesungguhnya beliau tidak akan wafat. Demi Allah, kalau aku sampai aku mendengar siapa pun berani mengatakan beliau lelah wafat, akan aku tusuk ia dengan pedangku ini.”
Sementara Ali hanya bisa duduk termangu. Ia duduk terdiam saja di dalam rumah. Dan Usman tidak mau berbicara dengan siapapun. Orang menuntunnya ke sana kemari. Waktu itu tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang setegar Abu Bakar dan Al-Abbas (paman Rasulullah). Itu karena Allah Azza wa Jalla telah menguatkan mereka dengan taufiq dan kebenaran. Al-Abbas lalu berkata kepada orang ramai, “Demi Allah yang tidak ada tuhan sama sekali kecuali Dia. Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Aalihi Wa Shahbihi Wa Salam telah wafat. Semasa hidup beliau pernah bersabda di tengah-tengah kalian; ‘Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). Kemudian sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantahan di hadapan Tuhanmu.’ (az-Zumar: 30-31)”
Abu Bakar mendengar kabar wafatnya Rasulullah saw, saat ia sedang berada di tengah-tengah keluarga besar Bani Al-Harits bin al-Khazraj. Ia lalu bergegas ke rumah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Aalihi Wa Shahbihi Wa Salam, dan langsung mendekat ke jenazah beliau. Setelah menatap, memeluk, dan mencium jasad beliau, ia berkata, “Ya Rasulullah, sungguh, Allah tidak pernah ingin membuat engkau merasakan kematian dua kali. Sungguh, demi Allah, Rasulullah telah wafat.”
Ia kemudian keluar menemui orang banyak dan berkata, “Saudara sekalian, barangsiapa menyembah Muhammad, sekarang beliau telah wafat. Dan barangsiapa menyembah Tuhannya Muhammad, ketahuilah Dia selalu hidup dan tidak akan pernah mati. Allah Ta’ala telah berfirman:’Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?’ (Ali Imran: 144)”
Seakan-akan orang ramai itu belum pernah mendengar ayat tersebut sebelumnya. (HR. Bukhari)
Sumber : Dibalik Tabir Kematian – Al Imam Al Ghazali