Lalu aku pergi bersama rombongan dalam kondisi yang sempurna dan hati yang dipenuhi nikmat, hingga sampai di tempat yang berpenghuni. Sebelum tempat yang berpenghuni itu terdapat sebuah makam yang terdapat kubahnya terbuat dari besi. Penduduk di tempat itu mengatakan bahwa itu adalah makam seorang Nabi yang terdahulu. Mereka mengatakan bahwa kemungkinan itu adalah kubur Nabi Khalid bin Sinan yang diutus kepada kaumnya setelah Isa bin Maryam. Terjadilah pembahasan antara aku dengan para ulama di tempat itu hingga aku berkata, “Aku mendengar dari ulama Fas yang aku menimba ilmu dari mereka, bahwa makam para Nabi tak ada yang pasti kecuali makam Nabi kita Saw. Begitu pula makam Nabi Ibrahim dan para nabi yang lainnya di Bait al-Maqdis. Dikatakan bahwa di tempat itu orang mengambil berkah, namun tak ada petunjuk yang pasti tentang makam Ibrahim dan yang lainnya.”
Lalu aku pergi menuju Qabis dan sekitarnya di Maroko. Lalu aku masuk ke sebuah desa yang bernama Jarbah. Di sana ada kelompok yang menyimpang yang di Maroko dikenal dengan nama al-Ghazaiyyah. Mereka mencaci Sayyidina Ali, Sayyidah Nafisah binti al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan cucu Nabi Saw, dan ahl bait yang lain. Semoga Allah menghinakan orang yang berbuat seperti ini, sedangkan dia mengaku dirinya Islam. Padahal Allah telah menyucikan ahl bait dan menyebutkannya di dalam al-Quran:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait [5] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs, al-Ahzab [33]: 33)
Lalu aku keluar dari al-Jarbah menuju keTarabis. Aku bertemu dengan seorang saleh. Orang-orang mengatakan bahwa ia termasuk keturunan Ibn at-Tilmasaniy*1. Saat itu di akhir bulan Ramadhan. Aku berpuasa bersama sekelompok orang yang mengenalkan aku dengan orang saleh itu. Pagi harinya aku mendatanginya untuk berpamitan. Pada saat itu aku tak memiliki baju kecuali telah robek-robek karena jauhnya perjalanan yang kutempuh. Maka ia datang membawakan untukku selimut dari bulu domba dan pakian yang mahal seraya berkata kepadaku, “Pilihlah salah satu dari baju-baju ini.” Aku berkata, “Ada apa dengan semua ini wahai Tuan?” la berkata, “Semalam aku bermimpi ditegur oleh Nabi Saw. karenamu. la menegurku,’Kau kedatangan tamu seorang keturunanku yang berbaju usang, sedangkan engkau memiliki keleluasaan dari dunia ini. Mengapa kau tak menutupi auratnya?” Aku berkata, “Apakah begitu ucapan Nabi?” la berkata, “Begitulah Nabi menegurku.” Maka menangislah aku karena gembira dan karena merasa diriku yang hina ini tidak pantas disebut oleh Nabi saw. Maka aku pun memilih selimut dari bulu domba, sebab itu adalah pakaian para sufi dan harganya paling murah. Ini termasuk karamah asy-Syaikh at-Tilmasaniy dan kemuliaan bagiku karena Nabi menyebutku sebagai keturunannya. Aku bersyukur atas semua itu. Begitu pula aku bersyukur atas apa yang disebut oleh asy-Syaikh al-Himyaniy secara kasyaf bahwa aku seorang syarif sebelum aku tiba di tempatnya.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim