Berkata Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad dalam kitab Nasoih Ad Diniyyah prihal Puasa di bulan ramadhan tentang Shalat Taraweh:
Sembahyang Tarawih
Sembahyang tarawih yang dikerjakan pada setiap malam Ramadhan adalah sunnat yang harus dipatuh. Para salaf rahmatullahi’ alaihim membaca Al-Quran dari awal hingga akhir di dalam sembahyang tarawih. Setiap malam dibacanya sekadar yang termampu sampai mereka khatamkan AI-Quran itu pada malam-malam yang tertentu di akhir bulan Ramadhan. Siapa yang boleh mengikut tauladan ini, buatlah dan jangan dicuaikan, karena segala kebajikan yang dibuat dalam bulan ini adalah besar pahalanya.
Firman Allah Ta’ala:(البقرة : 110)
وما تقدموا لانفسكم من خير تجدوه عند الله
“Dan setiap perbuatan baik yang kamu sediakan untuk diri kamu terlebih dahulu, akan kamu dapati ia di sisi Allah.” (AI-Baqarah: 110)
Barang siapa yang tiada berpeluang untuk mengikut jejak langkah para salaf dan amalannya, maka hendaklah berhati-hati, jangan sampai terlalu meringan-ringankan sembahyang tarawih itu, sebagaimana yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang-orang jahil, sehingga ada setengah mereka mencuaikan sesuatu rukun yang wajib di dalam sembahyang’ itu, seperti meninggalkan tuma’ninah pada ruku’ dan sujud oleh kerana terlalu cepat, ataupun tidak memerhatikan bacaan AI-Fatihah menurut petunjuk yang harus dilakukan, kerana inginkan segera selesai. Maka jadilah ia di sisi Allah sebagai seorang yang bukan bersembahyang sehingga mendapat pahalanya, bukan pula yang meninggalkan sembahyang sampai boleh mengaku cuai dan alpa dan terselamat dari kemegahan diri. Hal-hal seumpama ini boleh terjadi disebabkan tipu daya syaitan terhadap orang-orang yang beriman. Syaitan memasang perangkap terhadap orang-orang yang beramal itu, sehingga amalannya batal dan tertolak, padahal ia mengerjakan amalan itu. Awasilah dirimu dari hal-hal seumpama ini, dan berjaga-jagalah dari tipu daya syaitan, wahai sekalian kaum Muslimin!
Sembahyang tarawih yang sempurna, sama seperti sembahyang-sembahyang fardhu lainnya, di mana harus ditunaikan dengan baik berdirinya, bacaannya, ruku’ dan sujudnya, khusyu’ dan khudhu’nya, dan juga terhadap semua rukun-rukun yang lain serta tertib-tertibnya. Jangan sekali-kali membiarkan syaitan itu merajalela atas dirimu, kerana syaitan tidak ada kuasa sama sekali atas orang-orang yang benar-benar beriman, dan orang-orang yang bertawakkal sepenuhnya kepada Tuhan. Hendaklah golongkan dirimu ke dalam kumpulan jamaah ini. Syaitan hanya boleh mempengaruhi dan berkuasa ke atas orang-orang yang mematuhinya, dan kepada Allah Ta’ala mereka menyekutukan, maka janganlah masukkan dirimu ke dalam kumpulan ini.
###
Dalam kitab Uqudul Lu’lu’ wal Marjan Halaman 43-45 tersebut sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يرغب في قيام رمضان من غير أن يأمرهم بعزيمة ثم قال من قام رمضان إيمانا و احتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه. متفق عليه
Dari Abi Hurairah r.a. berkata: “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa menghimbau dalam Shalat di malam Ramadhan, himbauan yang tidak bersifat mewajibkan. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bangun (beribadah di malam) Ramadhan dengan iman dan ikhlas maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. HR Bukhori dan Muslim.”
عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه و سلم خرج ليلة فصلى في المسجد و صلى رجالٌ بصلاتِهِ فأصبح الناسُ فَتَحَدَّثُوا فاجتمع أكثرُ منهم فصلوا معه فأصبح الناس فتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أهلُ المسجد من الليلة الثالثة فخرج رسول الله صلى الله عليه و سلم فصلى فصلوا بصلاته فلما كانت الليلة الرابعة عَجَزَ المسجدُ عن أهله حتى خرج لصلاة الصبح فلمَّا قضى الفجرَ أَقْبَلَ على الناس فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قال أما بعد فإنَّه لم يَخْفَ عَلَيَّ مكانُكُم و لكنِّي خَشِيْتُ أن تُفْتَرَضَ عليكم فَتَعْجَزُوا عنها.
Dari Aisyah r.a.. berkata : ”Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada suatu malam (di bulan Ramadhan) lalu beliau shalat dan ikut shalat bersama beliau beberapa orang. Maka pada pagi harinya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Maka berkumpullah (pada malam berikutnya) sekelompok orang yang lebih banyak dari sebelumnya untuk shalat bersama beliau. Maka pada pagi harinya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Maka berkumpullah pada malam ketiga sekelompok orang yang lebih banyak dari sebelumnya untuk solat bersama beliau. Pada malam keempat berkumpul lebih banyak orang hingga masjid tidak dapat menampung mereka. Sehingga Nabi Shallallahu alaihi wa sallam keluar hanya untuk shalat subuh. Usai melaksanakan shalat subuh beliau menghadap kepada orang-orang tersebut dan bersabda: sesungguhnya tidak luput dariku perkumpulan kalian, akan tetapi aku khawatir (shalat taraweh tersebut) diwajibkan kepada kalian dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya. HR Bukhori dan Muslim.
###
Dalam tulisan beberapa kiayi tersebut sebagai berikut:
Dalil Tarawih 20 Rakaat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.
Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.
- Hadis mauquf
وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ…
Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja”.
Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika aku kumpulkan mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Abdurrahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar (dan aku menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).
Di dalam hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata : “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”
Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496 dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.
Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal al-ra`yi).(11)
- Ijma` para shahabat Nabi.
Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka`ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau hendak membatasi besarnya mahar?
Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi`in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak ada yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.
Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”
Di samping kedua dalil yang sangat kuat di atas, ada beberapa dalil lain yang sering digunakan oleh para pendukung Tarawih dua puluh rakaat. Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu mencantumkan semua dalil-dalil tersebut. Karena di samping dha`if, kedua dalil di atas sudah lebih dari cukup.