Kebanyakan orang yang membantah Isra’ dan Mi’raj dengan tubuh dan ruh ini hanyalah memajukan akal, sekari lagi akal. Tidak ada yang memajukan Hadits dan Quran.
Mereka tidak mendapat sebutir Hadits pun dari Nabi, yang mengatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan mimpi.
Di dalam membicarakan hukum-hukum agama, apalagi yang bertalian dengan i’itiqad dan kepercayaan, harus dimajukan dalil-dalil dari Al Qur’an dan Hadits Nabi yang sahih. Bukan main akal dan bukan main pencak lidah.
Mereka hanya mengatakan: ‘Tidak masuk akal”. Marilah kita lihat satu persatu.
Kesatu
Dalam buku ” Islam dan persoalan ruh” pada pag 62, tersebut begini: ” Kisah Isra’ dan Mi’ raj yang demikian yang dilakukan dengan jasad dan ruh pada waktu jaga, tidak seluruhnya dan tidak mudah diikuti oleh akal dan tidak memperlihatkan hakikat dan tujuan yang sebenarnya. Oleh karena itu Ibnu ‘Arabi memberi penafsiran yang dalam dengan karangannya yang berjudul “Al Isra’ ila maqamil usra”, yang artinya: “Perjalanan kepada tingkat pembukaan rahasia”.
Kita Jawab :
Itu hanya mengemukakan akal. Tidak mudah diikuti akal, katanya. Dan pula memajukan seorang yang bernama IBNU “ARABI, seorang Syi’ah yang terkenal berani berkhayal menafsirkan Al Qur’an menurut khayalnya dan perasaan saja, tidak menurut Hadits-hadits yang diberikan oleh Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam
Akal?
Akal itu berbeda-beda di antara manusia yang banyak ini.
Akal orang-orang primitif, orang-orang kubu dan orang-orang yang masih liar, berbeda dibanding dengan akal orang-orang yang telah maju dan yang telah berpendidikan.
Akal orang atheis dan orang-orang vrijdenker, orang yang tidak beragama berlainan dengan akal orang-orang yang mempercayai adanya Allah.
Akal orang-orang zaman batu jauh berbeda dibanding dengan akal orang zaman atom sekarang.
Kalau dulu, tarolah seribu tahun yang lalu, dikatakan kepada seseorang bahwa besi bisa terbang dan melayang-layang ke udara mereka akan spontan menjawab: Ah, tidak masuk akal!
Kalau dulu dikatakan bahwa manusia bisa naik ke bulan, mereka akan spontan menjawab bahwa itu mustahil, tidak masuk akal, akan tetapi kalau dikatakan sekarang, di zaman roket, di zaman atom, orang akan menjawab: Itu boleh jadi, bisa saja.
Orang-orang kafir Quresy juga menjawab begitu, tidak masuk akal katanya. Mana bisa jadi seorang manusia naik ke langit, mustahil, mustahil. Jawab ini bisa timbul karena akalnya pendek.
Oleh karena itu pertimbangan “akal yang polos” tidak dapat dipakai menjadi pokok untuk menetapkan pendirian dalam kepercayaan agama, seperti isra’ dan mi’raj yang bertalian dengan rasul-rasul ini.
Yang dipakai dalam menetapkan hukum-hukum agama hanyalah “keimanan” kepada Allah dan Rasul.
Kalau Nabi mengatakan begitu maka kita akan menjawab: Ya, kami terima, amanna wa shadaqna (kami percaya dan kami membenarkan).
Allah berfirman:
… وما آتكم الرسول فخذوه وما نهىكم عنه فانتهوا … ( الحشر 7
Artinya:
“Dan apa yang dikatakan Rasul maka hendaklah terima dan apa yang dilarangnya maka hendaknya hentikan”. (Al Hasyr : 7)
Cobalah renungkan sekali lagi!
Kalau akal dipakai untuk menetapkan hukum agama, kiranya berzina bagi orang yang tak mampu kawin, akan dibolehkan.
Kalau syari’at diaduk dengan akal, kita tidak akan percaya bahwa tongkat Nabi Musa bisa menjadi ular besar.
Akal tidak akan menerima seseorang yang tertidur selama 300 tahun, tidak apa-apa, tidak rusak, sebagai keadaannya ahli kahfi yang tersebut kisahnya dalam Al-Quran.
Kalau akal jadi sandaran, maka kita tidak akan percaya bahwa Nabi Adam dan Siti Hawa turun ke dunia dari syorga tanpa kendaraan. Kesimpulannya dapat kami katakan, bahwa kalau mau bicara tentang syari’at dan i’itiqad dalam Islam haruslah mengemukakan dalil dari Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang sahih-sahih.
Lalu buku ” Islam dan persoalan ruh”, menerangkan lebih jauh begini: “Dalam karangan itu dijelaskan oleh Ibnu’ Arabi, bahwa Isra’ itu ialah melahirkan segala yang ajaib kepada hijab penutup mata biasa, sedang isra’ diartikannya perjalanan dari alam kuani kepada titik akhir azali. Kedua-duanya dinamakan dalam istilah safarul kulub perjalanan hati atau akal, dari Mekkah ke Baital Makdis”.
Tahukah pembaca siapa Ibnu ‘Arabi yang sangat lancang memutar arti ayat-ayat suci semau-maunya saja, menurut khayal dan fantasinya saja tanpa memperdulikan hadits-hadits Nabi? Ibnu ‘Arabi berasal dari Spanyol, dari kota Sevilla, lahir pada tanggal 17 Ramadhan tahun 560 H. di mana ketika itu negeri Spanyol masih dikuasai oleh Ummat Islam. Nama lengkapnya Muhyiddin, Abu Bakar Muhammad bin ‘Ali bin ‘Arabi al Hatimi at Thai. Dia belajar Agama Islam dengan Ulama-ulama di Spanyol, di antaranya dengan Syeikh Muhammad bin Abdullah, Ibnu Zarquh dan Ibnul Jaddi. Sesudah ia berusia 30 tahun ia pindah ke Timur, ke Bagdad dan Mosul dan akhirnya ia meninggal di Damsyik tahun 638 H. dalam usia 78 tahun. Ia adalah salah seorang gembong kaum Syi’ah, penganut faham ” wahdatul wujud” yaitu faham bahwa yang ada hanya satu, Allah dan ‘alam satu, Khalik dan Makhluk satu. I’itiqadnya ini diambilnya dari pengajian Al Hallaj di Bagdad (meninggal 309 H.) yang dihukum mati oleh penguasa ketika itu karena dianggap zendik.
Ibnu ‘Arabi pergi ke Mekkah, ia mencintai seorang wanita namanya “Nazham”. Ia mengarang sebuah buku namanya “Tarjumanul Asywaq”‘ yang memuja dan memuji wanita itu seumpama memuja dan memuji Allah. Agamanya, katanya agama cinta, agama “hub”. Ia mencintai segala-galanya, ia mencintai padang rumput tempat gembala, ia mencintai rumah berhala dan gereja-gereja, ia mencintai Ka’bah tempat thawaf Ummat Islam, ia mencintai papan-papan Taurat, ia mencintai Quran, ia mencintai semuanya, pendeknya semua dicintainya, karena semua itu manifestasi dari Allah, Allah dan Alam satu katanya. Ia mengarang kitab Thasauf namanya “Futuhatul Makiyah”. Dalam kitab itu semuanya dita’wilkannya, semua dibatinkannya, semuanya disirkannya, semuanya dirahasiakannya. Sembahyang yang benar, katanya, adalah sembahyang batin, haji yang benar adalah haji batin, puasa yang benar adalah puasa batin pendeknya beliau masuk kaum bathiniyah. Ia tidak begitu tertarik dengan syari’at lahir dan bahkan kelihatannya acap kali melanggar syari’at Islam yang lahir. Di Damsyik ia terkenal seorang yang aneh.Itulah Ibnu ‘Arabi yang mengatakan bahwa Isra’dan Mi’raj itu bukan mi’raj tubuh tetapi mi’raj ruh, safarul qaibi, hanya hati yang berjalan. Kalau Ibnu ‘Arabi yang diikuti akan hapuslah sekalian syari’at yang lahir, akan hapus sembahyang dan puasa, akan hapus zakat dan naik haji, dan bahkan lebih jauh dari itu, Nabi Muhammad-pun tak berguna lagi, karena Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam diutus ke dunia oleh Allah untuk mengajarkan syari’at dan ibadat yang lahir-lahir itu. Saya harap pembaca buku ini jangan keliru dengan seorang Ulama Islam yang besar yang juga bernama Ibnul ‘Arabi, pakai “L”. Ibnul ‘Arabi adalah seorang Ulama Besar, pensyarah kitab Sahib Tirmidzi dan kitab Ahkamul Quran, tempat lahirnya juga kota Sevilia Spanyol, tetapi namanya Abu Bakar Muhammad bin Abdillah Ibnul’ Arabi al Maliki, seorang Ulama Ahlusunnah, penganut Madzhab Maliki (lahir tahun 468 H., dan meninggal tahun 543 H. lebih tua dari Ibnu ‘Arabi selama 92 tahun). Ibnul ‘Arabi adalah Ahlussunnah sedang Ibnu ‘Arabi tanpa “L” adalah Syi’ahBathiniyah.
Oleh karena itu hati-hatilah dengan apa yang berbau IBNU ‘ARABI!
Sumber : 40 Masalah Agama Karya KH. Siradjuddin Abbas