Isra’ ialah berjalan malam hari dari Mekkah ke Baitul Maqdis (Palestina) dan Mi’raj ialah naik ke langit, sampai ke langit yang ketujuh dan bahkan sampai ke tempat yang lebih tinggi, yaitu Sidratil Muntaha dan Mustawa.
Hal ini dilakukan oleh Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan ditemani oleh Malaikat Jibril setahun sebelum beliau Hijrah dari Mekkah ke Madinah, yaitu malam Senin 27 Rajab, bersetuju dengan tahun 621 M.
Isra’ dan Mi’raj ini dilakukan oleh Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan tubuh dan ruh beliau, di waktu sadar, bukan dalam mimpi di waktu tidur atau oleh ruh saja tanpa tubuh.
Inilah i’itkjad Ummat Islam, Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, dan begitulah i’itiqad atau kepercayaan jumhur Ummat Islam di atas dunia dari dulu sampai sekarang.
Orang yang tidak mempercayai ini dianggap kaum mu’tazilah yang sesat yang harus diinsyafkan.
Dalil-dalil dari kepercayaan ini adalah:
Dalil kesatu
Firman Allah Subhanahu wata’ala dalam kitab suci Alqur’an :
سبحن الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصا الذي بركنا حوله لنريه من ايتنا إنه هو السميع البصير . ( الإسراء 1
Artinya:
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam) pada suatu malam dari Mesjid al-Haram (Mesjid Mekkah) sampai ke Mesjid al-Aqsha (Mesjid Palestina) yang Kami berkati sekelilingnya, untuk Kami perlihatkan kepadanya ayat-ayat Kami, sesungguhnya Allah mendengar lagi melihat”. (Al-Isra: 1).
Dalam ayat ini dinyatakan beberapa hal, yaitu:
- Ayat ini dimulai dengan kalimat “Subhana”, artinya Maha Suci Allah. Ini dianggap perlu supaya jangan ada anggapan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam anak-Nya karena beliau dipanggil ke langit. Maka dikatakan lebih dahulu “amat suci Allah dari mempunyai anak”.
Dan pula jangan ada anggapan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam akan dicelakakan, karena beliau dibawa berjalan jauh-jauh. Maka dikatakan lebih dahulu “amat suci Allah dari akan mencelakakan hamba-Nya”.
- Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dipanggil.
Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melakukan isra’ dan mi’raj bukan hanya ke-mauan beliau, tetapi dipanggil oleh Allah. Dalam ayat ini dikatakan asraa’ yaitu memperjalankan atau memerintahkan hamba-Nya berjalan malam hari.
Dalam hadits-hadits dinyatakan bahwa perjalanan itu dibimbing oleh Malaikat Jibrail, dus artinya Nabi Muhammad dipanggil, dijemput dan dibimbing.
Oleh karena itu sekalian perjalanan dalam isra’ dan mi’raj tidak sulit untuk dilakukan, ibarat seseorang yang dipanggil dan dijemput menghadap raja, tidak seorang jugapun yang dapat menghalanginya. Kalau begitu, maka isra’ dan mi’raj ini, bukan tidak masuk akal tetapi masuk akal benar-benar, karena kekuasaan Allah itu melebihi dan meliputi segala-galanya, sampai menguasai yang di balik akal manusia.
- Yang dipanggil hamba-Nya.
Yang dipanggil dan dijemput itu “abduhu”, artinya hamba-Nya. Ini menyatakan terus terang bahwa yang melakukan isra’ dan mi’raj itu adalah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan ruh dan tubuhnya, bukan ruh saja dan bukan tubuh saja.
Perhatikanlah baik-baik! Kalau seseorang mengatakan: “Si Abdullah datang dan sekarang berada di muka pintu” tentu tidak seorangpun yang mengartikan bahwa jasad (tubuh) si Abdullah datang tanpa ruh atau ruh si Abdullah datang tanpa tubuh. Abdullah artinya ialah ruh dan tubuh. Begitu dalam bahasa Indonesia dan begitu pula dalam bahasa Arab. Orang yang mengatakan bahwa yang isra’ dan mi’raj itu adalah ruh saja tersalah dalam mengartikan perkataan “abdihi”, kalau tidak akan dikatakan telah menantang ayat ini.
Perhatikan baik-baik. Ayat ini tidak mengatakan : “Asraa bijasadihi’ (membawa berjalan tubuh) atau “asraa biruhihi” (membawa berjalan ruhnya) tetapi “asraa biabdihi” (menyuruh berjalan hamba-Nya).
Sumber : 40 Masalah Agama Karya KH. Siradjuddin Abbas