Peristiwa diatas memberikan gambaran kepada kita, bahwa di masa itu raja berikut kekuasaannya tidak bernilai apa-apa dibanding dengan kedudukan ilmu. Namun kalau sekarang apa tolak ukur ini masih ada? Manakah yang lebih mendapat perhatian ilmu ataukah kekuasaan? Meskipun masyarakat kenal dengan perbedaan keduanya, tetapi mereka tidak mau ambil pusing, karena mereka lebih mementingkan materi daripada yang lainnya.
Mereka tinggalkan ilmu begitu saja di rumah-rumah mereka. Memang ada banyak ilmu yang bisa dipelajari oleh seseorang di rumah tanpa guru, tapi kalau ilmu wajib tidak bisa dipelajari kecuali dengan guru.
Sekarang sumber utama dari ilmu yaitu membaca al-Quran terlalu diremehkan. Banyak orang yang tidak punya waktu lagi untuk membaca al-Qur’an, padahal ia bisa membaca al-Qur’an, misalnya satu juz ada yang membacanya hanya dalam sepuluh menit atau tujuh menit, kalau setengah juz hanya dalam tiga menit.
Mungkinkah seorang pelit pada diri sendiri? Padahal hal ini untuk memperoleh cahaya Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dalam membaca al-Qur’an, meskipun satu juz ataupun hanya setengah juz? Dalam hal ini Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bersabda:
قراءة القران رحمة، ونزول القران رحمة، و من حفظ القران، فقد أدرجت النّبوّة بين جنبيه غير أنّه لم يوحى إليه
Artinya: “Membaca al-Qur’an merupakan rahmat, turunnya al-Qur’an merupakan rahmat. Barangsiapa yang hafal al-Qur’an seakan-akan kenabian diberikan di pundaknya hanya saja ia tidak diberikan wahyu kepadanya.”
Bukan itu saja, kalau ia renungkan lagi kitab ini yang membawanya adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan berasal dari Allah swt secara langsung. Ini merupakan suatu hal agung yang dinisbatkan kepada yang agung. Apalagi kalau ia renungkan bahwa huruf-hurufnya semuanya telah dibaca oleh Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Apa setidaknya ia ingin merasakan kenikmatan yang telah dirasakan nikmatnya oleh Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam?
Jujur saja, sekarang kalau dibawakan kepada kita dokumen kuno, pasti kita hargai, bahkan kita katakan: ‘Ini koleksi penting yang tidak boleh disia-siakan, patut dipelihara dan diperhatikan. ‘Apalagi al-Qur’an, ini adalah Kitabullah yang merupakan induk seluruh ilmu pengetahuan.
Selain itu mengenai shalat berjama’ah. Kita selalu meremehkan hal tersebut. Coba renungkanlah sabda Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang menyatakan, bahwa shalat berjama’ah melebihi shalat fardhu sebanyak dua puluh tujuh derajat.
Mengenai hal ini, al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra menyatakan: ‘Apa engkau tahu siapa orang yang bodoh itu? Mereka adalah orang yang apabila dikatakan kepadanya: ‘Ambillah ini dua puluh tujuh bagian untukmu.” Tapi ia menjawab: ‘Tidak, cukup bagiku satu saja.’ Inilah orang yang bodoh.
Lagi pula hal ini merupakan jaminan pasti dari Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang jujur lagi terpercaya, apakah orang enggan mengambilnya? al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra sudah menjelaskan: ‘Sesungguhnya orang yang enggan mengambil pahala menunjukkan kebodohan otaknya.’
Memang benar antara shalat sendirian dan berjama’ah tidak ada bedanya, semuanya menjalankan rukun dan membaca surat, bahkan kebanyakan mereka yang menjalankan shalat semacam ini sekedar belajar cara shalat saja, tanpa mengetahui mana fardhu dan mana yang sunnah.
Meskipun demikian, relakah kita menyia-nyiakan pahala dua puluh tujuh derajat yang bisa kita peroleh dengan satu kali shalat.
Hikmah dari shalat fardhu ini semata-mata Allah swt tidak mewajibkan-Nya untuk dirinya, namun ia mewajibkannya sebagai cara agar hamba mendekat kepada Tuhannya. Karena saat seorang hamba mulai masuk shalat dan bertakbir, ia telah terlepas dari urusan duniawi dan saat itulah ia mendapat perhatian dari Tuhannya.
SUMBER : BERADA DI TAMAN SURGA BERSAMA CUCU NABI