Selama beberapa hari Hajar tidak merasa sedih dan tidak merasa ketakutan karena terhibur oleh anaknya yang montok dan mungil. Ia baru mulai, cemas, gelisah, dan takut setelah bekal makanan dan air minum yang sedikit itu sudah mulai habis. Ia lebih takut dan khawatir lagi setelah melihat bayinya kehausan dan meronta-ronta. Ia kebingungan di mana akan mendapat air. Sambil membawa bayinya yang terus-menerus menangis ia berjalan tergopoh-gopoh hingga tiba di sebuah tempat terkenal dengan nama “Shafa,” sebuah bukit yang terdekat. Dari sana ia melihat ke kanan dan ke kiri, ke depan, dan ke belakang, tetapi tidak menemukan selain padang pasir membentang sejauh mata memandang. Kemudian dengan berjalan setengah lari tanpa tujuan akhirnya sampailah di bukit yang lain, terkenal dengan nama “Marwah.” Dari tempat itu ia tidak menemukan sesuatu di sekitarnya, tidak ada kehidupan dan tidak ada bekas apa pun yang menunjukkan adanya jejak makhluk hidup. Segala-galanya serba sunyi, tiada suara selain hembusan angin yang kadang kencang dan kadang mereda.
Hajar demikian bingung dan takut melihat anaknya yang semakin meronta kehausan. Ia berjalan tergopoh-gopoh mondar-mandir dan naik-turun dari Shafa ke Marwah hingga habislah tenaganya dan duduk di atas sebuah batu menyerahkan nasib bersama anaknya kepada takdir Ilahi. Belum lama ia duduk bayi yang diembannya tampak semakin pucat, namun masih terus meronta dan menangis dengan sisa tenaga yang ada. Ketika melihat anaknya mulai melemah dan jerit tangisnya pun tidak seberapa keras, Hajar bertambah ketakutan membayangkan bayinya tak lama lagi akan mati kehausan. Payudaranya yang sudah mengempis tidak berisi lagi dicobanya berulang-ulang untuk menyusui anaknya, tetapi setiap kali putingnya dimasukkan ke dalam mulut, bayi itu makin keras menangis karena tidak setetes air susu pun yang dapat disedot. Tiada harapan lagi untuk dapat menolong bayi yang malang itu. Dengan menahan perasaan dan mengerahkan segala kekuatan yang ada Hajar menjauhkan diri dari anaknya yang dianggap tak akan dapat bertahan hidup lebih lama lagi. Ia menjauh dan sambil menutup muka dengan tangannya ia meratap, “Tidak … aku tidak mau melihat kematian anakku!”
Akan tetapi Allah SWT menghendaki lain. Di saat Hajar sedang merasakan kehancuran hati seperti itu datanglah pertolongan Allah SWT untuk menyelamatkan putra Nabi Ibrahim Alaihissalam. Secara tiba-tiba Hajar melihat seekor burung elang melayang-layang di udara, kemudian turun dan hinggap di sebuah tempat yang tidak seberapa jauh letaknya. Burung itu mematuk-matukkan paruhnya demikian kuat pada tanah yang dilihatnya terdapat sumber air, hingga dari tempat itu air memancar keluar, sumber air itulah yang di kemudian hari menjadi sumur Zamzam.[1] Hajar terhentak menyaksikan kejadian itu, dan tanpa membuang-buang waktu ia segera lari mendekatinya. Kekuatan hidup yang pada mulanya nyaris hilang dari badannya terasa pulih kembali setelah melihat air. Ia minum sepuas-puasnya bersama anak kesayangan yang masih dalam buaian….
Beberapa lama sejak terjadinya peristiwa tersebut mulailah tampak akan adanya kehidupan di lembah tandus yang kering kerontang itu. Sekelompok orang Bani Jurhum (berasal dari Yaman) yang hendak menuju negeri Syam, ketika tiba di dataran rendah Bakkah (Makkah) melihat beberapa ekor burung beterbangan di udara. Mereka yakin bahwa di kawasan itu pasti terdapat mata air. Untuk membuktikannya mereka menyuruh seorang mengikuti arah burung-burung itu turun. Akhirnya tibalah orang itu di tempat Hajar bersama bayinya. Ia segera kembali kepada rombongan, melaporkan ada seorang wanita bersama bayinya di dekat sumber air. Mereka berdatangan mendekati Hajar dan menawarkan jasa-jasa baik kepadanya, “Jika ibu menghendaki, kami semua akan tinggal di tempat ini agar ibu merasa tenang dan tenteram, sedangkan sumber air itu tetap milik ibu!” Hajar menyetujui dan mengizinkan mereka tinggal di sekitar tempatnya sebagai tetangga-tetangga yang baik.
***
Di dekat bangunan purba (rumah kuno Al-Baitul-‘Atiq) Isma’il Alaihissalam. dibesarkan oleh bundanya, Siti Hajar. Setelah mencapai usia remaja datanglah ayahnya, Nabi Ibrahim Alaihissalam. Kepadanya beliau memberitahukan mimpinya:
قال يبني إني ارى في االمنام أني أذبحك فانظر ماذا ترى قال يا ابت افعل ما تؤمر ستجدني إن شاء الله من الصابرين
“(Ibrahim) berkata, ‘Anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?’ Ia (Isma’il Alaihissalam.) menjawab, ‘Ayah, lakukan apa yang diperintahkan Allah kepada ayah. Insyti Allah ayah akan mendapatiku tabah dan sabar.'”
Ketika Nabi Ibrahim Alaihissalam. sudah siap dan telah meletakkan pisau tajam di atas leher putranya, tiba-tiba ia melihat bahwa yang hendak disembelih itu adalah seekor kambing. Kemudian Allah SWT memerintahkan supaya beliau menyembelih kambing itu sebagai pengganti putranya yang tabah dan sabar. Peristiwa tersebut diabadikan dalam Al-Quranul Karim Surah Ash-Shaflat ayat 102-107. Beberapa hari kemudian Nabi Ibrahim Alaihissalam. bersama putranya menerima perintah Allah SWT supaya meninggikan (memugar) fondasi Al-Baitul-‘Atiq dan menyucikan bangunan itu bagi para hamba Allah yang ber-thdwaf mengitarinya dan bersembah sujud kepada-Nya. Ketika itu ayah bersama putranya berdoa :
ربنا تقبل منا إنك انت السميع العليم , ربنا واجعلنا مسلمين لك ومن ذريتنا أمة مسلمة لك وارنا مناسكنا وتب علينا إنك انت التواب الرحيم . ربنا وابعث فيهم رسولا منهم يتلوا عليهم آيتك ويعلمهم الكتب والحكمة ويزكيهم إنك انت العزيز الحكيم . البقرة : 127- 129
… Ya Allah, Tuhan kami, terimalah dari kami (amal perbuatan yang kami lakukan atas perintah-Mu). Sesungguhnyalah Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang-orangyang tunduk danpatuh kepada-Mu. Berilah kamipetunjuk mengenai cara-cara menunaikan ibadah haji dan terimalah tobat kami. Sungguhlah bahwa Engkau Maha Penerima Tobat dan Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan (menyampaikan), dan yang akan mengajarkan kepada mereka Kitab Suci (Alauran) dan hikmah, dan yang akan menyucikan mereka. Sesungguhnyalah Engkau Mahakuasa lagi Maha Bijaksana.(QSAl-Baqarah: 127-129)
Kemudian Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim Alaihissalam. supaya menyerukan umat manusia menunaikan ibadah haji. Selain itu Allah SWT juga mengabulkan permohonan beliau dalam doanya, dengan mengangkat seorang keturunan Isma’il bin Ibrahim sebagai Nabi dan Rasul, yaitu Muhammad saw. Jelas dan tidak diragukan sama sekali bahwa beliau saw. keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim yang lahir dari kandungan Siti Hajar, ibu bangsa Arab ‘Adnaniyyun. Dengan demikian maka Siti Hajar adalah seorang wanita yang sifat keibuannya terlukis dengan tinta emas sepanjang zaman, yakni sejak kurang-lebih 5000 tahun silam hingga hari kiamat kelak. Jalannya yang tergopoh-gopoh pulang-balik berulang-ulang antara Shafa dan Marwah diabadikan oleh agama Islam sebagai salah satu syi’ar ibadah haji. Bukankah itu merupakan syi’ar yang melambangkan Hari Raya Ibu setiap tahun dan jatuh bersamaan dengan hari raya terbesar dalam Islam, yaitu ‘Idul Adha?
Bunda Nabi Musa Alaihissalam.
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quranul Karim:
واوحينا إلى أم موسى ان أرضعيه فإذا خفت عليه فألقيه في اليم ولا تخا في ولا تخزني إنا رادوه إليك وجاعلوه من المرسلين . القصص : 7
Dan telah Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan jika engkau mengkhawatirkannya (mengkhawatirkan keselamatannya) hanyutkan ia di bengawan (NU). Tidak usah engkau khawatir dan bersedih hati, karena Kamilah yang akan mengembalikan kepadamu dan akan menjadikannya sebagai Rasul.” (QS Al-Qashash: 7)
Alqur’an sama sekali tidak menyebut sesuatu mengenai ayah Nabi Musa Alaihissalam. Yang disebut secara khusus hanya bundanya, dan Allah SWT memberi kepercayaan kepadanya untuk melindungi keselamatan anaknya di kala masih kecil serta menyusuinya. Kepercayaan besar itu diberikan kepada ibu Musa ketika Fir’aun tak dapat lagi menahan amarahnya melihat tingkah laku dan kejahatan orang-orang Yahudi (Bani Isra’il). Sebagai pembalasan terhadap mereka Fir’aun memerintahkan supaya mereka dinista, dihina dan dikenakan berbagai macam penyiksaan.
Selain itu—menurut sementara riwayat—juga karena Fir’aun melihat dalam mimpinya suatu yang sangat menakutkan. Para ahli nujum dan jururamal yang ditanya mengenai arti mimpinya itu menjawab, bahwa di kalangan orang-orang Yahudi akan lahir seorang anak lelaki. Apabila sudah besar ia akan merampas kerajaan dan mengalahkan kekuasaan Fir’aun. Ia akan mengusir penduduk asli Mesir, mengganti agama mereka dan lain-lain yang serba menakutkan Fir’aun.[2]
Fir’aun mempercayai benar penakwilan mimpinya yang demikian itu. Seketika itu juga ia menjadi kalap lalu memerintahkan pembunuhan semua anak lelaki yang lahir di kalangan orang-orang Yahudi. Semua penduduk diperintah supaya melaporkan kelahiran anak lelaki dari kalangan kaum Yahudi, dan ia pun memerintahkan semua tentara dan prajuritnya supaya membunuh setiap bayi lelaki yang dilahirkan oleh orang tua Yahudi.
Dalam saat-saat gerakan pembunuhan itulah ibu Musa melahirkan anak lelaki secara sembunyi-sembunyi. Ketika itu alat-alat kekuasaan Fir’aun sudah menyembelih berpuluh ribu anak lelaki Yahudi.[3] Setelah Musa Alaihissalam. lahir, ibunya selalu gemetar ketakutan. Konon ada beberapa orang yang mengetahui kelahiran Musa Alaihissalam., tetapi karena hati mereka tidak tega melihat bayi yang baru lahir itu disembelih, maka akan berpura-pura tidak tahu, malah berjanji kepada ibu Musa bahwa mereka tidak akan memberitahukan kejadian itu kepada siapa pun. Akan tetapi tidak lama kemudian, berita kelahiran Musa Alaihissalam. tercium oleh mata-mata Fir’aun yang jaringannya tersebar luas di semua pelosok negeri. Rumah ibu Musa di grebeg dan bayi yang baru beberapa hari lahir itu nyaris diketahui oleh mata-mata Fir’aun. Untunglah sebelum mereka sempat masuk ke dalam rumah, kakak perempuan Musa Alaihissalam. sempat memberitahu ibunya, bahwa gerombolan mata-mata Fir’aun siap hendak melakukan penggeledahan.
Dalam keadaan takut dan bingung ibu Musa cepat-cepat membungkus bayinya dengan secarik kain, lalu dimasukkan ke dalam sebuah wadah terbuka kemudian disembunyikan dalam tungku. Beruntunglah, karena bayi itu tidak menangis. Ketika para penggeledah masuk ke dalam rumah, ibu Musa dengan segenap kemampuannya berusaha menenangkan diri hingga tampak seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Kakak perempuan Musa Alaihissalam. pun bekerja membenahi perkakas rumah dan tidak tampak resah atau gelisah. Akhirnya alat-alat kekuasaan Fir’aun pergi meninggalkan tempat karena tidak menemukan bayi yang dicari-cari untuk disembelih. Setelah itu barulah terdengar suara bayi menangis di dalam tungku. Segera saja ibu Musa menghampirinya lalu diambillah bayi itu dalam keadaan selamat berkat perlindungan Ilahi.
Namun ibu Musa sadar bahwa bayinya tidak mungkin dapat disembunyikan terus-menerus. Ia mencari akal bagaimana menyelamatkan anaknya. Dalam keadaan seperti itulah ia beroleh ilham dari Allah SWT:
ان اقذ فيه في التابوت فاقذفيه في اليم فليلقه اليم بالساحل يأخذه عدو لي وعدو له وألقيت عليك محبة مني ولتصنع على عيني . طه : 29
Taruhlah dia (Musa) dalam peti, kemudian hanyutkanlah dia di bengawan. Air bengawan itu pasti akan membawanya ke tepi dan dia akan diambil oleh musuh-Ku dan musuhnya (yakni keluarga istana Firaun,[4]dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku, dan supaya kamu diasuh di bawahpengawasan-Ku.) (QS Tha Ha: 39)
Ilham yang diterimanya dari alam gaib itu dilaksanakan oleh ibu Musa. Ia mengambil sebuah peti, di dalamnya diberi alas kapas. Setelah Musa Alaihissalam. disusui kenyang ia dibaringkan dalam peti, kemudian peti itu ditutup demikian rupa lalu diapungkan di air bengawan (Nil). Bagaimanakah perasaan ibu Musa ketika menyerahkan nasib anaknya itu kepada arus gelombang bengawan? Ats-Tsa’labiy mengatakan, “Setelah ia membuang bayinya di air bengawan Nil dan setelah peti wadah bayi itu lenyap dari penglihatannya, setan datang membisikinya sehingga ia berkata seorang diri, ‘Anakku, apa sebenarnya yang telah kuper-buat? Seumpama engkau mati disembelih kemudian aku membenahi jenazahmu dan mengafanimu, sesungguhnya itu lebih baik bagiku daripada tanganku membuangmu di bengawan dan memasukkanmu ke dalam mulut ikan buas.'”[5]
Kalimat yang menunjukkan kebimbangan hati ibu Musa tersebut besar sekali kemungkinannya berasal dari kisah-kisah Isra’iliyyat yang banyak disebarluaskan oleh orang-orang Yahudi pemeluk agama Islam masa dahulu. Kami katakan demikian karena dalam Al-Quranul-Karim sama sekali tidak ada isyarat yang menunjukkan adanya kebimbangan dalam hati ibu Musa. Bahkan nash Alquran menegaskan bahwa pembuangan Musa Alaihissalam. oleh ibunya di bengawan (Nil) adalah berdasarkan ilham dari Allah SWT. Meski demikian, kita dapat membayangkan, saat itu ibu Musa tetap di tepi bengawan dan hampir tak dapat pergi meninggalkan tempat. Pandangannya masih tertuju ke arah riak gelombang air yang menghanyutkan bayinya, sedangkan hati, pikiran dan perasaannya masih terus terpancang pada anaknya yang sudah jauh terhempas gelombang. Demikianlah keadaannya hingga saat kakak perempuan Musa datang mencari-cari ibunya, kemudian mengajaknya pulang ke rumah. Keadaan ibu Musa ketika itu dilukiskan dalam Alquran sebagai berikut.
واصبح فؤاد ام موسى فارغا إن كادت لتبدي به لولا ان ربطنا على قلبها لتكون من المؤمنين . القصص : 10
Hati ibu Musa menjadi kosong (hancur luluh hingga tak tahu apa yang akan dilakukan). Ia nyaris membuka rahasianya sendiri seandainya hatinya tidak Kami perteguh agar ia tetap beriman.[6]
Menurut berbagai sumber riwayat, pada akhirnya peti yang berisi bayi (Musa Alaihissalam.) itu terbawa arus hingga terlempar ke tepi bengawan yang oleh istana dijadikan taman sari tempat dayang-dayang pelayan Fir’aun mandi sambil bersenang-senang menikmati pemandangan indah. Ketika melihat peti terapung-apung mereka segera mengambilnya, lalu seketika itu juga mereka menyerahkannya kepada permaisuri Asiyah. Mereka menduga peti itu berisi benda-benda berharga seperti emas-perak dan intan-berlian. Akan tetapi setelah peti dibuka ternyata di dalamnya terbaring seorang bayi lelaki berwajah tampan menarik, memandang kepada Asiyah sambil tersenyum manis.
Pada saat itu juga Asiyah terbuka hatinya untuk dapat menerima kehadiran seorang bayi lelaki yang olehnya dianggap sebagai belahan hatinya sendiri. Ia sungguh-sungguh menyukainya dan mencurahkan kasih sayangnya. Ia sendiri tidak mempunyai anak, oleh karena itu ia memandang bayi itu sebagai karunia dari langit. Itulah yang menjadi
pikiran Asiyah sehingga ketika beberapa orang algojo Fir’aun datang menghadap dan minta supaya bayi itu diserahkan kepada mereka untuk disembelih, ia menjawab dengan gusar, “Pergilah kalian dari sini! Bayi ini di tanganku, bukan di tangan orang-orang Yahudi!”
Ketika Asiyah melihat mereka ragu-ragu meninggalkan tempat dan kelihatan kurang mengindahkan perintahnya, ia berkata lagi, “Biarlah, aku sendiri yang akan menghadapi persoalan bayi ini! Ia akan kubawa kepada Fir’aun dan akan kuhadiahkan kepadanya! Jika baginda mau menerimanya, berarti kalian telah berbuat baik, karena kalian telah membiarkan bayi ini selamat. Akan tetapi jika baginda memerintahkan kalian menyembelihnya, aku tidak akan menyalahkan kalian!”
Pada saat yang dipandangnya baik, Asiyah menghadap Fir’aun. Dengan lemah lembut dan bujuk rayu Asiyah berupaya melunakkan hati Fir’aun, kemudian ia berkata, “Sungguh, bayi ini dapat menjadi kesayanganku dan kesayangan baginda. Janganlah bayi ini baginda bunuh, semoga kelak akan menguntungkan kita, atau boleh juga dia kita angkat menjadi anak.” Demikianlah kata Asiyah kepada Fir’aun sebagaimana yang diungkapkan dalam Alquran (QS Al-Qashash: 9). Fir’aun menyahut, “Ya… kesayangan bagimu, tetapi aku tidak membutuhkan dia.
Setelah diam sejenak Fir’aun melanjutkan, “Tidak, dia harus disembelih, aku khawatir kalau anak itu berasal dari keluarga Yahudi… di kemudian hari dialah yang akan menjadi sebab kehancuran kami dan kerajaan ini akan berada di dalam genggamannya!” Akan tetapi jawaban Fir’aun tidak membuat Asiyah berhenti membujuk …. Dan akhirnya Fir’aun dapat memenuhi keinginan Asiyah. Betapa girang Asiyah mendapat persetujuan Fir’aun untuk mengasuh anak pungut yang diperolehnya dari langit!
—-
[1] Sumber riwayat lain mengatakan, bahwa mata air yang memancar dari tanah itu akibat jejakan-jejakan kaki putra Nabi Ibrahim a.s. pada saat ia meronta kehausan.
[2] Silakan baca Qishashul-Anbiya, karangan Ats-Tsa’labiy di bawah judul “Al-‘Ara’is,” hlm. 173 dan 174, Cetakan As-Sa’idiyyah.
[3]Ibid.
[4]Yang dimaksud ialah agar setiap orang yang melihat Musa a.s. merasa kasihan kepadanya.
[5]Dari (Hshashul-Anbiya: 174 (terjemahan bebas).
Yakni, ia nyaris berteriak minta tolong kepada orang lain untuk menyelamatkan anaknya yang hanyut di bengawan Nil.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini