Diantara adab yang harus diperhatikan oleh orang yang berzakat adalah, ia harus mengeluarkan zakat dengan senang dan gembira. Sedangkan merasa bangga dalam memberikan zakat dan juga mengharapkan pujian atasnya dapat menghilangkan pahalanya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt;
يأيّها الّين ءامنوا لا تبطلوا صدقاتكم بالمنّ والأذي
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah engkau menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Qs al-Baqarah ayat: 264).
Kita tidak boleh merasa terpaksa untuk mengeluarkan zakat. Sifat semacam ini perlu ia hindari. Karena hal ini termasuk sirat orang-orang munafik. Dalam hal ini, Allah swt berfirman:
ولا يأتون الصّلاة إلّا وهم كسالي ولا ينفقون إلاّ وهم كارهون
Artinya: “Dan mereka tidak mengerjakan, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafahkan (harta) mereka, melainkan denp rasa enggan.” (Qs. at-Taubah ayat: 54).
Maksud berinfak disini mengeluarkan zakat.
Allah swt menjelaskan, terkadang orang munafik menjalankan shalat tetapi diiringi kemalasan dan terkadang ia berzakat tetapi diiringi rasa tidak senang. Maka barangsiapa yang meniru mereka berarti ia termasuk golongan mereka.
Termasuk adabnya hendaknya ia mengeluarkan zakat dari harta yang terbaik hal ini lebih utama, meskipun yang wajib ia mengeluarkan dari jenis yang menengah. Akan tetapi apabila ia mengeluarkan jenis yang paling buruk, maka hukumnya tidak boleh, kecuali apabila seluruh hartanya buruk.
Dalam hal ini, Allah swt berfirman:
ولا تيمّموا الخبيث منه تنفقون ولستم بأخذيه
Artinya: “Dan janganlah engkau memilih yang buruk-buruk lalu engkau nafkahkan daripadanya.”(QS. al-Baqarah ayat: 267).
Termasuk kewajiban pengeluar zakat ialah tidak membagikan menurut hawa nafsunya tetapi yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Diantara contoh membagikan zakat menurut hawa nafsu adalah, ia mengkhususkan pemberian zakatnya baik seluruhnya atau sebgaian saja untuk kalangan penerima zakat yang ia mendapat dari mereka manfaat duniawi, seperti pelayanan mereka dan lain sebagainya.
Jadi ia memberinya lantaran orang itu melayaninya atau sering mendatanginya atau menghormatinya, pemberian ini adalah pemberian yang sangat buruk, bisa jadi zakatnya tidak diterima meskipun orang yang ia beri termasuk orang yang berhak. Akan tetapi apabila ia memberinya lantaran orang itu adalah orang berhak menerimanya dan ia tidak menengok apakah kelak orang itu akan berjasa untuknya dan mengenalnya ataukah tidak.
Maka hal ini tidak menjadi masalah meski sebenarnya si pemberi mendapat balasan jasa dan si penerima memang berhak menerima zakat, kami peringatkan hal ini karena biasanya orang-orang kaya selalu memandang enteng hal ini dan terkadang mereka tidak bisa membedakan antara dua hal ini.
Contoh masalah lainnya adalah, orang kaya memberi zakat kepada seorang fakir tetapi ia menampakkan dihadapan si fakir seakan-akan ini adalah hadiah untuknya, begitu juga ia memberikan zakatnya kepada kerabatnya yang sangat membutuhkan, sedangkan mereka adalah orang yang berada di bawah tanggungan natkahnya.
Diantaranya seperti kedua orang tua dan anak-anak, adapun kerabat lainnya yang fakir dan tidak wajib ia nafkahi, maka ia boleh memberi mereka zakat, pemberian ini kepada mereka lebih baik daripada diberikan kepada orang lain karena kedudukan keluarga dan jiwa mereka selalu berharap mendapat zakat darinya.
Sumber: Nasihat dan wasiat Imam Haddad Jilid 1