Lima belas tahun sudah sejak pernikahan Khadijah r.a. dengan Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallamSelama itu kehidupan dua orang suami-istri sangat harmonis, tidak pernah terjadi soal-soal yang mengganggu pikiran dan perasaan kedua belah pihak. Hubungan yang dijalin dengan cinta dan kasih sayang itu bukan hanya menjadi teladan bagi semua rumah tangga di Makkah, melainkan juga dibicarakan oleh sejarah sepanjang zaman. Nikmat kebahagiaan yang dikaruniakan Allah SWT itu dimahkotai dengan kelahiran dua orang putra dan empat orang putri, mereka adalah: Al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fathimah Az-Zahra rasdiyallahu anhum? Suratan takdir yang telah dikehendaki Allah SWT tak terelakkan …. Betapa pedih dua orang suami-istri yang bahagia itu karena dua orang putranya wafat dalam usia kanak-kanak.
Khadijah Bersama Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam di Malam Lailatulqadar
Di tengah kehidupan rumah tangga yang bahagia itu terjadi peristiwa mahapenting, bukan hanya bagi kehidupan rumah tangga itu sendiri, bukan hanya bagi qabilah Quraisy dan masyarakat Arab saja, melainkan juga bagi seluruh umat manusia …. Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menerima wahyu Ilahi di malam lailatul-qadr…. Allah SWT memilih beliau sebagai penutup para Nabi dan Rasul serta sebagai pengemban tugas risalah menegakkan kebenaran agama Allah di muka bumi. Tiada malam semulia malam itu, tetapi sekaligus juga merupakan malam yang mencanangkan kepada Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam., bahwa beliau akan menghadapi kehidupan baru yang sangat berat. Detik-detik di malam yang sunyi senyap itu menandakan permulaan datangnya zaman yang penuh dengan penindasan, pengejaran, dan penganiayaan, yang semuanya itu akan dihadapi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan kegigihan berjihad, dan berakhir dengan kemenangan gemilang.
Sebenarnya peristiwa besar itu bukan suatu kejutan bagi masyarakat Arab, karena di semua pelosok Jazirah Arabia ketika itu sudah lama tersebar kepercayaan, bahwa tidak lama lagi akan muncul seorang Nabi baru. Betapa banyak pendeta, orang-orang arif, dan para ahli nujum yang membicarakan masalah itu.[1]
Makkah sebagai kota tua sudah sejak berabad-abad silam selalu ramai dikunjungi oleh berbagai kabilah Arab di Semenanjung Arabia setiap tahun, untuk menunaikan upacara peribadatan mereka di sekitar Ka’bah. Ditambah lagi dengan adanya pasar ‘Ukadz di kota itu yang menjadi pusat lalu lintas perdagangan dari negeri-negeri tetangga seperti Per-sia, Syam, Yaman dan lain-lain. Posisi strategis kota Makkah yang banyak menerima kaum pendatang dari luar itu, dengan sendirinya menjadi penyadap kabar berita yang dibawa oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, tentang akan datangnya seorang Nabi baru. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahui dengan pasti bagaimana dan kapan kedatangan Nabi itu akan terjadi. Yang mengejutkan mereka bukan kedatangan seorang Nabi, melainkan mengapa kenabian itu jatuh pada seorang yang bernama “Muhammad” (Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam)!
Setelah Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam nikah dengan Khadijah r.a., beliau memang merasakan ketenangan dan ketenteraman hidup dalam arti yang sedalam-dalamnya. Beliau tidak lagi menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari, karena istri beliau mampu menanggulanginya sendiri sebagai seorang saudagar yang terkenal kaya di Makkah. Beliau menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk bermenung dan berolah pikir memperhatikan berbagai gejala alam dan segi-segi kehidupan manusia yang menunjukkan kebesaran dan kekuasaan Rabbul-‘alamin. Sejak masih usia kanak-kanak kebiasaan demikian itu tampak pada diri beliau, khususnya di kala beliau bekerja sebagai penggembala kambing. Beliau banyak memikirkan, soal Ka’bah, sejarahnya, kehidupan datuknya Nabi Ibrahim a.s. dan putranya, Nabi Isma’il a.s., cikal bakal masyarakat Arab. Beranjak dari situ pandangan dan pikiran beliau mengarah kepada patung-patung berhala yang ditancapkan kaum musyrikin di dalam dan di sekitar Ka’bah. Beliau tak habis pikir, mengapa dan untuk apa orang-orang Quraisy dan orang-orang Arab lainnya memuja-muja dan menyembah-nyembah patung-patung berhala yang mereka buat sendiri dari batu? Apakah mereka tidak menyadari bahwa batu-batu yang mereka sembah dan mereka puja-puja tidak dapat mendatangkan manfaat maupun madharrat. Untuk apa pula mereka menyembelih korban di depan berhala-berhala itu sebagai persembahan dan sesajen, padahal mereka tahu benar berhala-berhala itu buta, tuli, dan gagu? Mengapa mereka menanggap patung-patung yang mereka buat dengan tangan sendiri sebagai tuhan-tuhan yang menghidupkan dan mematikan mereka? Bertitik tolak dari pemikiran yang sederhana itu beliau memperluas lagi cakrawala pandangannya kepada alam sekitar dan rahasia-rahasianya. Beliau yakin bahwa di balik keheningan malam, gurun sahara yang luas membentang, di belakang remang-remang cahaya dan gemerlapan bintang-bintang di langit… di belakang itu semua pasti ada kekuatan tersembunyi Yang Mahabesar yang menciptakan alam semesta dan mengaturnya dengan peraturan tetap yang telah menjadi kehendak-Nya. Matahari tidak akan bertabrakan dengan bulan, dan siang pun tidak akan berbareng dengan malam. Masing-masing planet beredar pada orbitnya sendiri-sendiri.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini