Beberapa bulan menjelang usia empat puluh tahun—usia kedewasaan berpikir—beliau membiasakan diri ber-khalwat di dalam gua Hira, di pinggiran Makkah. Di tengah kehidupan masyarakat beliau berolah pikir dan di dalam gua Hira beliau berolah rohani. Makin lama ber-khalwat beliau merasa seakan-akan dirinya makin dekat kepada kebenaran Yang Mahabesar dan merasa terungkap suatu rahasia terbesar di dalam kesadarannya. Ketika itu Khadijah r.a. menjelang usia senja. Ia berhasrat ingin mengetahui tujuan yang hendak dicapai oleh suaminya dalam khalwat, meninggalkan rumah pergi ke gua Hira. Berhari-hari beliau tinggal di sana dan baru pulang bila bekal yang dibawanya telah habis. Sebagai istri dan sesuai dengan fitrah kewanitaannya Khadijah r.a. memang wajar ingin mengetahui hal itu untuk menghilangkan keresahan pikirannya, supaya tenang-tenang saja tetap meneruskan khalwatnya.
‘A’isyah r.a. menceritakan apa yang didengarnya dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sendiri seperti berikut.
“Sebelum kedatangan wahyu, yang pertama sering dialami Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam ialah mimpi-mimpi yang benar (ar-ru’ya ash-shadiqah). Apa yang sering terlihat dalam mimpi selalu terbukti kebenarannya secara nyata, seterang cahaya pagi. Setelah itu beliau terdorong untuk ber-khalwat (menyepi atau menjauhkan diri dari segala kesibukan) di gua Hira. Di sana beliau beribadah selama beberapa malam, kemudian pulang ke tengah keluarganya untuk mengambil bekal guna melanjutkan khalwat berikutnya. Demikianlah yang beliau lakukan hingga saat kedatangan Al-Haq (Kebenaran Mudak), yakni kedatangan malaikat Jibril a.s. untuk menyampaikan wahyu pertama: Iqra bismi Rabbikalladzi khalaq …. (Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan ….).”‘1 (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
Beberapa sumber riwayat lain menuturkan, bahwa mimpi-mimpi seperti itu terjadi selama enam bulan sebelum turun wahyu pertama. Menurut para pakar ilmu jiwa dari kaum Muslimin, mimpi-mimpi tersebut dimaksud untuk meyakinkan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mengenai adanya “informasi” yang benar yang dapat diperoleh manusia melalui cara yang tidak biasa. Atau dengan perkataan lain: Apa yang disebut divine revelation memang ada, dan mimpi merupakan salah satu cara Tuhan memberikan informasi kepada manusia. Hal itu dapat diketahui dengan jelas dari mimpi Nabi Ibrahim a.s., saat beliau menerima perintah menyembelih putranya, Isma’il a.s.; dan dari mimpi Nabi Yusuf a.s. saat beliau melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan bersujud menghormatinya.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menuturkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam pernah menyatakan:
الرؤيا الصادقة جزء من ست واربعين جزءا من النبوة
“Mimpi yang benar merupakan seperempat puluh enam bagian dari (wahyu) kenabian.”
Secara “kebetulan” masa enam bulan sebelum turun wahyu pertama sama dengan seperempat puluh enam masa kenabian Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang selama dua puluh tiga tahun.
Mimpi yang benar dipercayai oleh kaum agamawan, bahkan kenyataan membuktikan bahwa itu merupakan salah satu jalan bagi manusia untuk memperoleh “informasi” tentang hal-ihwal yang berada di luar jangkauannya.
Beberapa waktu menjelang turun wahyu pertama, Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallamsering kali mendengar suara berkata, “Hai Muhammad, sesungguhnya engkau adalah utusan Allah Yang Mahabenar!” Kemudian pada saat beliau menoleh dan mencari sumber suara tersebut, beliau mendapat semua penjuru penuh bermandikan cahaya gemerlapan. Hal itu sangat mencemaskan beliau sehingga dengan tergesa-gesa beliau pulang ke rumah menemui istri tercinta, Siti Khadijah r.a.
Istri beliau menyarankan agar beliau pergi menemui Waraqah bin Naufal, orang tua yang mempunyai pengetahuan luas tentang agama-agama terdahulu. Dalam pertemuan itu terjadilah dialog:
Waraqah : “Dari mana engkau mendengar suara tersebut?”
Nabi : “Dari atas.”
Waraqah : “Percayalah bahwa suara itu bukan bisikan setan, karena setan tidak mampu datang dari arah atas, tidak pula dari arah bawah. Suara itu suara malaikat!”
Riwayat tersebut dikemukakan oleh Al-Biqa’iy dalam bukunya BadzluAn-NushahfiAt-Tarifbi Shuhbati Waraqah, dan sejalan dengan firman Allah SWT dalam Surah Al-A’raf ayat 17 yang menegaskan sumpah iblis kepada Allah:
ثم لآتينهم من بين ايديهم ومن خلفهم وعن ايمانهم وعن شمائلهم . الأعراف : 17
…. Kemudian saya akan mendatangi mereka (manusia) dari depan dan dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka.
Dalam sumpahnya itu iblis tidak menyebut “dari atas dan dari bawah.” Sebagian ulama menafsirkan, iblis tidak menyebut “arah atas” karena “atas” adalah arah ketinggian dan keagungan Allah SWT serta rahmat-Nya. Sedangkan arah “bawah” mereka tafsirkan sebagai lambang kerendahan martabat manusia di hadapan Allah Maha Pencipta dan ketaatan manusia dalam menghambakan diri kepada-Nya. Orang tidak akan terpengaruh dan terkecoh rayuan setan selama ia menengadah ke atas (langit) mengakui kebesaran dan keagungan Allah SWT, atau selama ia sujud di tanah mengakui kelemahan diri dan ketergantungannya kepada Zat Yang Mahatinggi lagi Mahakuasa.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini