Mari kita tengok kisah para Nabi, para sahabat, dan orang-orang saleh. Kisah mereka menghidupkan rasa tawakal dan menjaga generasi kita agar jangan terpedaya oleh perantara (sebab). Sekali lagi agar mereka tidak terpedaya oleh perantara atau sebab.
Para sahabat Nabi, ketika hendak menaklukkan Bahrain, mereka melaksanakan sebab. Mereka menyiapkan perahu untuk bisa menyeberang ke Bahrain dan memerangi musuh. Namun, mereka ditipu oleh musuh. Musuh menyelinap saat malam, dan membakar perahu-perahu tersebut.
Merekapun melapor kepada panglima bahwa perahu kami telah dibakar, sehingga tidak ada perantara atau perlengkapan yang bisa digunakan untuk sampai kepada musuh.
Syahdan, Sayidina al-Ala’ bin al-Hadrami angkat bicara, “Kita keluar ke sini karena Allah SWT dan Rasul-Nya. Maka, marilah kita bermusyawarah.”
Beliau pun bermusyawarah dengan segenap tokoh sahabat. Dan, hasilnya: mereka sepakat untuk menyeberangi laut. Bagaimana bisa? Mereka sepakat untuk salat, lalu al-Ala’ berdoa. Dan, beliau juga yang berada di depan saat menyeberangi laut (tanpa perahu).
Pola pikir macam apa ini dalam kepemimpinan militer’? Seandainya, tidak ada nilai-nilai keyakinan dan ketawakalan, maka tidak mungkin terjadi hal semacam ini.
Saat keputusan tersebut diumumkan, di antara pasukan yang beijumlah tiga ribu orang itu, tidak ada satupun orang yang ragu dan mempertanyakan: “Keputusan macam apa ini!?”
Maka, beliau pun berdiri melakukan salat dua rakaat, lalu berdoa:
يا علي يا عظيم يا قدير يا حليم سخر لنا البحر كما سخرته لموسى
Wuhai Tuhan Yang Maha Tinggi, Yang Maha Agung. Yang Maha Kuasa. Yang Maha Sahar, taklukkanlah samudera ini kepada kami sebagaimana telah Engkau taklukkan dia kepada Nabi Musa.
Beliau maju berada di hadapan mereka di atas kuda. Maka, kuda itu menghentakkan kakinya ke laut, sebagaimana menghentakkannya kepada batu yang keras. Lalu, orang-orang di belakang beliau mengikuti. Mereka semua menyeberang, dengan memakai kuda, unta, dan segenap barang bawaannya.
Sayidina Abu Hurairah ikut bersama mereka. Beliau bersumpah, “Kami berangkat untuk menyeberang, dan tidaklah basah telapak kaki.” Maksudnya kaki kuda dan unta yang mereka tunggangi tidak sampai basah.
Para musuh terbelalak ketika melihat mereka datang melintasi laut. Apakah mereka ini, manusia, malaikat, jin, atau makhluk apakah mereka!? Musuh pun dipenuhi rasa takut. Sehingga, tidak ada pilihan lain bagi mereka, kecuali menyerahkan kepemimpinan kepada para sahabat tersebut beberapa saat setelah sampai ke tempat mereka.
Sayidina al-Ala’ bin al-Hadrami mendirikan pemerintahan Islam di sana, dan setelah itu kembali lagi ke Madinah.
Kejadian semacam ini banyak terjadi pada para sahabat, bahkan ini menjadi pola berpikir mereka dalam menyelesaikan berbagai hal dan memohon turunnya pertolongan. Saat mereka memasuki Mesir, penaklukan dianggap terlalu lama. Maka, para tokoh sahabat bermusyawarah mengenai apa penyebab lambatnya proses penaklukan. Mereka sama sekali tidak berpikir mengenai sedikitnya jumlah pasukan dan senjata, atau banyaknya jumlah musuh. Mereka cuma berpikir mengenai kurangnya ikatan antara kita dan Allah SWT. Maka, hasil keputusan rapatnya, pasukan kurang memperhatikan kesunatan siwak. Mereka mengakui, mungkin hal ini yang menjadi sebab lamanya proses penaklukan.
Sang panglima memerintahkan agar segenap prajurit lebih memperhatikan sunat siwak. Kebetulan, di Mesir banyak pohon siwak (arak). Mereka segera mencarinya dan mengambil akar-akarnya. Lalu, menggunakannya sebagai siwak.
Saat mata-mata musuh mengetahui apa yang dilakukan oleh para sahabat tersebut, mereka jadi ketakutan. Lalu, mendatangi teman-temannya seraya berkata, “Orang-orang Islam itu benar-benar murka kepada kalian. Mereka mulai menyikat gigi untuk memakan kalian.”
Tidak mungkin sahabat akan memakan manusia, tapi itu merupakan rasa takut yang dilemparkan oleh Allah SWT ke dalam hati mereka. Dan ternyata, pada hari itu, penaklukan dapat diselesaikan dengan sempurna.
Sumber: Ceramah Habib Umar bin Hafidz dalam Kongres Ulama ke-7 di Lirboyo