Kita tahu, jika hal ini telah tertanam dengan kuat, maka akan menjadi kunci pembuka untuk pelaksanaan dakwah dan pemberian pengaruh yang baik. Kita merasa sedih dan berat melihat keterpurukan dan kerusakan umat. Jika kita sangat menyayangkan orang yang enggan masuk Islam dan orang yang terancam abadi berada di neraka setelah ini, lalu bagaimana dengan orang yang sudah masuk Islam, namun dia keluar dari hakikat dan batas ajaran Islam.
Jadi, adanya rasa berat di hati ketika melihat penderitaan umat, merupakan sebuah pertanda bahwa dia sungguh-sungguh dalam berdakwah menuju Allah SWT.
Lalu, Allah SWT menyebutkan sifat tambahan setelah sifat di atas. Allah SWT berfirman:
حريص عليكم
… sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian… (Qs at-taubah[9]: 128)
Karena itulah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam memilik derajat mulia sampai pada batas beliau lebih berhak terhadap diri kita daripada kita sendiri. Sebab, keinginan baik beliau terhadap kita, jauh lebih tinggi daripada keinginan baik kita kepada diri kita sendiri. Bahkan, beliau bersabda:
مثلي ومثلكم كمثل الفراشة تتها فة على النار وانا آخد بحجزكم
Perumpamaan antara aku dan kalian adalah seperti anai-anai, yang hendak menjerumuskan dirinya ke api, sementara aku menahan bagian tengah kalian.
Keinginan beliau itu sampai pada tingkat beliau menetapkan ukuran mengenai cara menahan dan cara menyelamatkan. Beliau menyatakan, “sementara aku menahan bagian tengah kalian.”
Kadangkala kita ingin menyelamatkan seseorang, jika kita khawatir dia jatuh, maka kita pegang tangan, kaki atau telinganya. Namun, kadangkala hal itu justru bisa menyebabkan telinganya putus, tangan atau kakinya patah, dan lain sebagainya. Apakah dalam kondisi seperti ini, kita masih memikirkan cara menahan dia? Dari mana? Dari bagian tengah, sehingga kita bisa menahan keseluruhan tubuh, tanpa mencederai atau menyakiti salah satu bagian tubuhnya, {…aku menahan bagian tengah kalian…)
Ada sebuah peristiwa aneh yang terjadi di majelis Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam peristiwa yang sebenarnya sangat tidak sopan. Seorang pemuda berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, izinkanlah aku melakukan zina?” Dia menyebutkan perbuatan yang sangat keji, lalu meminta izin kepada Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Emosi para Sahabat tersulut gara-gara ucapan ini. Maka, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Biarkanlah dia lebih mendekat kepadaku!”
Sikap kalangan sekuler, liberal dan modernis saat ini mirip dengan sikap pemuda tersebut. Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam justru mendekati dan menemuinya secara langsung. Ketika beliau menerimanya dengan dialog terbuka, maka beliau menyentuh hati nurani dan perasaannya. Kadangkala kita melihat banyak sekali kekeliruan pada diri seseorang, yang bertentangan dengan agama dalam berbagai sisi. Namun demikian, masih tersisa satu sisi hati nuraninya yang baik. Maka, seyogianya, hal itu yang kita manfaatkan dan kita sentuh.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda kepadanya, “Apakah engkau rela jika yang ibumu dizina?”
“Tidak, ya Rasulullah” jawabnya. “Begitu pula orang lain, tidak rela ibunya dizina.”
“Apakah engkau rela jika saudari mu dizina?”
“Tidak, ya Rasulullah” jawabnya.
“Begitu pun orang lain, tidak rela saudarinya dizina.”
Ini adalah logika, sentuhan nurani, dan persamaan manusia. Beliau sempat menyebut bibi dari ayah dan bibi dari ibu. Dan, pemuda itu tetap bilang, “Tidak, tidak.” Dan, Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tetap bersabda kepadanya, “Begitu pula orang lain…” sampai hatinya tersentuh, dan dia menyadari bahwa permintaannya adalah sesuatu yang keliru.
Ini adalah pelajaran sekaligus pembacaan, namun setelah itu diikuti dengan upaya penyucian. Maka, beliau mengangkat tangan lalu meletakkan di dadanya, seraya berdoa:
اللهم طهر قلبه من النفاق وحسن فرجه من الفواحش
Ya Allah. bersihkanlah hatinya dari kemunafikan, dan jagalah kemaluannya dari perbuatan keji.
Lalu, beliau bersabda, “Demi Allah SWT, ketika aku mengangkatnya, tidak ada di muka sesuatu yang lebih aku benci daripada zina.”
Setelah itu, kita dapat melihat warisan cahaya penyucian ini dalam diri orang-orang saleh yang ikhlas di kalangan umat ini. Ketika mereka berbicara dengan orang, maka meresaplah motivasi penyucian karena barakah dari Nabi Muhammad Karena itu, kita mendengar penuturan dari Syekh Abdul Karim Yahya bahwa pecandu narkoba bisa terlepas dari kecanduannya terhadap narkoba tanpa terapi apapun. Cukup dengan pembacaan kitab kecil fikih Syafii, yaitu ar-Risalah al-Jami’ah karya Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi. Kitab ini dibaca oleh para pelajar pemula, dan dia ikut bersama mereka. Maka, meresaplah pengaruh positif ke dalam hatinya, sehingga terlepaslah darinya keburukan ini, dan ia bisa meninggalkan kebiasaan buruknya.
Sumber: Ceramah Habib Umar bin Hafidz dalam Kongres Ulama ke-7 di Lirboyo