Memahami keagungan landasan ini, serta memahami bahwa hal itu merupakan suatu yang sangat penting, merupakan langkah pertama untuk bisa memberikan pengaruh positif. Pemahaman ini dapat membangkitkan komitmen di dalam hati manusia untuk mengambil peran. Jika hatinya sudah dipenuhi dengan komitmen ini, maka titik tolaknya adalah rahmat. Hal itu, karena Allah SWT tidak memerintahkan berdakwah melainkan karena belas kasih-Nya kepada para hamba. Allah SWT tidak butuh kepada hamba-hamba-Nya. Karena itulah kita mendapatkan penegasan dalam ayat:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Dan tiadalah Kami mengutus engkau, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107)
Orang-orang di dunia ini tidak akan menemukan orang yang memiliki sifat belas kasih yang hakiki melebihi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan para pengikut beliau yang mewarisi tugas dakwah menuju Allah SWT.
Jadi, motivasinya adalah mematuhi perintah Allah SWT. Ini merupakan motivasi ibadah, bahkan termasuk ibadah yang paling agung. Motivasi dalam beribadah hanya tertuju kepada Tuhan yang Disembah, sedangkan motivasi dalam berdakwah bersumber dari merendahkan diri di hadapan Allah SWT dan mematuhi perintah-Nya. Hal tersebut dapat kita temukan dalam firman Allah SWT:
لقد جاءكم رسول من أنفسكم
Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri… (QS at-Taubah [9]: 128)
Allah SWT memulai dengan kata-kata yang menunjukkan “merakyat”, tidak eksklusif dan tidak meninggikan diri. Allah SWT menyebutkan, “Dari diri kalian.” Dalam sebuah keterangan disebutkan bahwa ada Sahabat yang berkata, “Aku tidak pernah melihat yang lebih membaur dengan Sahabat-Sahabatnya melebihi Rasulullah
Allah SWT menampakkan cahaya agung dan jiwa suci ini dalam jasad kemanusiaan, dan Allah SWT berfirman, “Dari diri kalian…”
Dari sini, dapat kita ketahui bahwa orang yang berdakwah tapi memperhatikan penampilannya, harga mobilnya, atau hal-hal materi yang lain, maka motivasinya sudah tidak lurus dan tidak benar. Sudah sangat masyhur, kisah Sayidina Umar bin al-Khatthab ketika menaklukkan Baitul Maqdis. Pada saat beliau sampai ke sana, giliran pelayannya yang naik kendaraan, sedangkan beliau berjalan kaki. Di baju beliau, juga terdapat beberapa tambalan. Sampai-sampai ada Sahabat yang datang dengan membawa jubah. Dia berkata, “Hai Amirul Mukminin, sekarang engkau akan bertemu dengan tokoh-tokoh non Muslim, maka pakailah jubah ini. Jubah ini lebih bagus.”
Beliau sempat memakainya, tapi setelah berjalan beberapa langkah beliau berhenti, dan berkata, “Kembalikanlah gamisku!.” Beliau melepas jubah itu karena tidak suka. Lalu, beliau menegaskan sebuah kalimat yang sangat masyhur dalam sejarah:
إنا قوم أعزنا الله بالإسلام فإن ابتغينا العزة فى غيره اذلنا الله
Kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah SWT dengan Islam.Jika kita mencari kemuliaan diluar itu, maka Allah pasti menghinakan kita.
Oleh karena itu, kita tahu mengenai pilihan Allah SWT untuk Nabi-Nya, juga apa yang disukai oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dari materi duniawi ini. Sayidina Hasann al-Bashri berkata, “Aku ingin mereka membiarkan kamar-kamar Nabi di tengah Masjid Nabawi, agar kaum Muslimin tahu bagaimana kehidupan Nabi mereka. Aku pernah memasukinya, aku mengangkat tanganku, ternyata menyentuh atap nur Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam .
Jadi, kita harus tahu bahwa kita tidak akan bisa mengedepankan dakwah menuju Allah SWT, jika jiwa kita masih mengedepankan ‘dakwah’ menuju selain Allah SWT.
Sifat kedua yang disebutkan oleh Allah SWT adalah:
عزيز عليه ما عنتم
… berat terasa olehnya penderitaan kalian … (QS at-Tauban [9]: 128)
Maksudnya begitu berat bagi Nabi, penderitaan yang menimpa kalian. Beliau tidak ingin ada penderitaan yang menimpa seorang pun…
Ceramah Habib Umar bin Hafidz dalam Kongres Ulama ke-7 di Lirboyo