Sebelumnya aku pernah meminta izin untuk menikah di masa aku berusaha menundukkan nafsuku, tetapi mereka tidak mengizinkanku. Asy-Syaikh Abdullah bin Hasan berkata kepadaku, “Jika kau tak dapat menundukkan nafsumu, maka istrimu akan menjadi susah karena nafsumu.” Lalu selama beberapa hari aku berusaha menundukkan nafsuku. Aku diperintahkannya untuk melakukan disiplin atau latihan dalam mengerjakan amalan surat al-Fatihah. Ketika aku melihat keistimewaannya dan diberikan kepadaku bacaan-bacan lainnya yang mendukung amalan surat al-Fatihah itu dari para guru, tata cara mengambil izinnya dari para guru, cara membacanya dan syarat lainnya, maka guruku memasukkanku ke dalam amalan itu. Dia memerintahkanku agar mengenakan hiriz (perisai ghaib) dari surat al-An’am dengan sempurna tanpa dicelupkan ke za’faran. Cara-cara seperti ini telah difahami oleh ahlinya. Mereka memerintahkanku untuk menyendiri selama tiga atau empat minggu di gunung Zarhun yang terkenal di Maroko. Aku melakukan apa yang diperintahkan kepadaku di bulan Rajab.
Sedangkan asy-Syaikh Abdullah bin Hasun tidak menentukan hari kepadaku. Namun ia berkata, “Berjalanlah bersama Allah di mana hembusan ketentuan-Nya berjalan bersamamu. Sebelum ini aku pernah memerintahkanmu untuk melatih dirimu selama empat puluh hari, namun kau justru datang kembali setelah empat bulan bersama hembusan ketentuan-Nya. Dan saat ini aku tak tahu apa yang terjadi, namun pergilah.”
Dulu aku pernah duduk bersama asy-Syaikh Ahmad as-Sayyah, yang telah disebutkan di atas, dan bercerita tentang seseorang yang mengelilingiku di dalam mimpi. Tak ada di Maroko yang menyebut tentangnya kecuali oleh Yusuf ad-Dadasiy dan asy-Syaikh Muhammad Abu Syita. Maka asy-Syaikh Ahmad as-Sayyah berkata, “Seseorang yang kau lihat itu, tak dapat dicakup oleh cawanku. Kalau aku ingin bersumpah kepadamu di mimbar dan mihrab di Masjid Jami’ al-Qarwiyyin, maka aku kulakukan. Sungguh jangan kau buang waktumu dan kau payahkan dirimu di Maroko” (Maksudnya orang yang dicarinya itu tidak terdapat di Maroko)
Lalu aku pergi mengunjungi al-lmam Idris bin Idris al-Akbar, lalu asy-Syaikh Abdullah al-Hajjam, serta para pendahuluku. Namun asy-Syaikh a-Hajjam saat itu tak dapat kutemui. Kemudian aku menziarahi asy-Syaikh Abu Salham dan asy-Syaikh Abduljalil yang makamnya terletak di pesisir laut. Aku pemah beribadah di makam mereka selama berhari-hari bersama seorang ahli ibadah. Lalu aku naik ke gunung seperti yang telah diperintahkan kepadaku untuk melakukan disiplin serta latihan di tempat itu. Aku menyendiri di tempat itu dengan memulainya sesuai dengan yang diajarkan oleh asy-Syaikh Ahmarj bin Humaidah. Aku terus beradadalam keadaan itu hingga malam ketiga dari i’tikaf-ku. Setelah shalat maghrib, aku duduk bersandar sambil membaca al-Fatihah dan doanya, untuk keselamatan. Tak ada yang aku lakukan bermaksud untuk menghadirkan makhluk yang menjaga surat al-Fatihah, yang bertentangan dengan syariat seperti yang dijelaskan dalam kitab al asrar al-Laihah karya asy-Syirjiy. Ketika aku membaca doa jjU( tiba-tiba aku mendengar suara menggelegar seperti suara guntur yang menakutkan. Lalu aku keluar dari tempat aku menyendiri, dan kulihat makhluk yang menyebabkan suara itu ada di hadapanky dan menyentuh punggunggku. Aku berkata kepadanya, “Pergilah kau wahai yang dilaknat.” Lalu aku kembali melanjutkan doaku di luar ruangan tempat aku menyendiri. Doa yang kulantunkan waktu itu adalah;
“Wahai Allah yang memberikan hidayah bagi mereka yang tersesat, tak ada yang memberikan hidayah kepada yang sesat selain-Mu”
Lalu kunyalakan lentera yang kupegang. Aku kembali masuk ke ruangan tempat aku menyendiri sambil terus berdoa. Tiba-tiba, makhluk yang tadi pergi kembali datang dan mengitari kepalaku. Dia mengeluarkan suara yang keras namun tidak sekeras yang pertama. Mulutnya kecil seperti burung pipit, bahkan mungkin lebih kecil lagi. Tubuh menyerupai belalang tetapi lebih besar dari pada belalang.
Di sekitarku terdapat air untuk bersuci, namun di pagi hari air itu meresap ke dalam tanah. Sebab itu di pagi itu aku hanya dapat bersuci dengan batu dan shalat dengan bertayamum. Setelah itu aku baru mengetahui bahwa latihanku gagal karena tidak adanya air bagiku untuk bersuci guna mengerjakan shalat lima waktu. Sebab itulah aku turun dari gunung itu.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim