Beberapa lama kemudian Shafiyyah r.a. pindah di tempat kediaman Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, berdekatan dengan para istri beliau yang lain. Di sana ia menghadapi kesukaran yang membingungkan pikiran. Tiga orang istri Nabi lainnya tinggal sangat berdekatan di sebelah tempat tinggalnya. Mereka adalah ‘A’isyah, Hafshah, dan Saudah—radhiyallahu ‘an-hunna. Demikian pula di sebelah lainnya, tinggal berdekatan sekali para istri beliau yang lain lagi, yaitu Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, dan Juwairiyyah—radhiyallahu ‘anhunna. Selain mereka masih ada lagi yang tinggal berdekatan dengannya, yaitu putri bungsu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam , Fathimah Az-Zahra r.a.
Walaupun tidak mudah, Shafiyyah harus dapat memilih, siapakah di antara para istri Rasulullah yang terdahulu itu yang perlu didekati. Bagaimanapun cerdiknya ia mencari cara pendekatan, di mata mereka ia tentu dianggap saingan yang perlu “dilawan” dan “dikalahkan.” Akan tetapi Shafiyyah tidak kurang akal. Dengan keramahan dan keluwesan ia mendekati dua sasaran yang terpenting, yaitu istri kesayangan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam , ‘A’isyah r.a., dan putri kesayangan beliau, Fathimah Az-Zahra r.a. Jika dua sasaran tersebut sudah dapat didekati dan diajak berbaik-baik, tentu tidak banyak kesulitan mendekati yang lain. Demikian perhitungan Shafiyyah. Akan tetapi pada akhirnya ia menambah satu sasaran pendekatan lagi yang dianggap perlu mengingat kekerasan tabiatnya, yaitu Hafshah r.a.
Maksud pendekatan yang hendak dilakukannya itu bukan lain hanyalah untuk dapat menyatukan diri dengan dua orang istri Nabi tersebut, dan kemudian dilanjutkan dengan yang lain-lain. Namun Shafiyyah sadar, betapapun ramah dan luwesnya cara pendekatan yang hendak ditempuh, ia tidak dapat melupakan bahwa dirinya adalah darah Yahudi, golongan yang bermusuhan keras dengan Islam dan kaum Muslimin. Soal itulah yang paling sukar diatasi oleh Shafiyyah, sekalipun ia telah memeluk Islam dan menjadi istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Itulah sebabnya di samping ia menempuh cara pendekatan yang ramah dan luwes, ia tetap berjaga-jaga dan waspada menghadapi kemungkinan “serangan” berupa ejekan, cemoohan dan lain sebagainya, yang akan dilancarkan oleh ‘A’isyah dan Hafshah terhadap dirinya.
Mengenai pendekatannya dengan Fathimah Az-Zahra r.a., Shafiyyah berpendapat tidak akan menghadapi kesulitan. Karena ia tahu bahwa putri bungsu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam itu berperangai lembut, tidak menyukai keributan atau percekcokan, taat kepada ayahnya dan sama sekali tidak pernah mau melibatkan diri dalam kegaduhan antara sesama istri Nabi. Yang pernah dilakukan olehnya justru mendamaikan pertengkaran di antara sesama istri Nabi di depan ayahandanya, mengenai soal ‘A’isyah r.a. Sejak kedatangan Shafiyyah di tengah keluarga Nabi, Fathimah Az-Zahra r.a. bersikap sebagaimana mestinya seorang anak terhadap istri ayahnya. Sikapnya yang demikian itu menarik hati Shafiyyah. Sebagai hadiah dan sekaligus tanda kecintaan Shafiyyah kepada putri bungsu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam itu, ia memberikan sebuah perhiasan terbuat dari emas kepadanya, dan hadiah itu diterima baik oleh Fathimah Az-Zahra r.a.
Yang amat dikhawatirkan oleh Shafiyyah r.a. ialah kecemburuan ‘A’isyah yang terlalu keras. Ia jengkel dan hatinya membara setiap melihat kehadiran seorang madu yang cantik di tengah keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Kendati Shafiyyah telah berusaha sedapat mungkin untuk menjalin hubungan yang baik dan akrab dengan para istri Nabi yang lain, terutama ‘A’isyah dan Hafshah, namun ia merasa tidak berhasil. Betapa sering ia mendengar jengekan dan ejekan, baik secara terang-terangan maupun melalui sindiran, mengenai asal keturunannya yang berdarah Yahudi! Betapa sakit telinganya mendengar berbagai macam cemoohan sehingga sukar baginya untuk tetap diam dan tenang-tenang saja. Lebih-lebih lagi karena ia merasa istri seorang pria yang dimuliakan oleh umatnya. Yang paling menyakitkan hati Shafiyyah ialah kenyataan bahwa Hafshah dan ‘A’isyah dapat menarik para istri Nabi yang lain untuk bersatu menghadapi dirinya. Mereka membangga-banggakan diri sebagai wanita-wanita Arab asli dan berkabilah Quraisy, sedangkan dirinya (Shafiyyah) adalah “orang asing” dan “pendatang.”
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini