Pada masa kekhalifahan ‘Utsman r.a., entah karena terpaksa atau atas kemauan sendiri, Shafiyyah berkecimpung dalam perjuangan politik. Sikap dan pendiriannya ketika itu hampir sama dengan pendiriannya yang membedakan ‘A’isyah r.a. dari Fathimah Az-Zahra r.a. di kala masih hidup. Demikian besar keinginannya menjalin persaudaraan dengan ‘A’isyah r.a. yang pada masa itu mempunyai pengaruh politik kuat dan mempuyai kedudukan tinggi di dalam negara Islam, sehingga ia (Shafiyyah) tidak menghemat-hemat tenaga dalam memberikan dukungan kepada Khalifah ‘Utsman r.a. yang senantiasa disokong sekuat-kuatnya oleh ‘A’isyah r.a. Shafiyyah tetap bersikap demikian hingga saat ‘Utsman r.a. menempuh kebijakan politik yang dianggapnya tidak sejalan dengan sunnah Nabi. Ia mengambil baju yang tersimpan di rumahnya kemudian menunjukkan kepada orang banyak seraya berteriak keras-keras, “Hai kaum Muslimin, inilah baju Rasulullah… belum rusak, tetapi ‘Utsman sudah merusak sunnah beliau!”
Kemanakan Shafiyyah—sementara riwayat mengatakan bekas budaknya—menuturkan peristiwa berikut, “Pada suatu hari Shafiyyah dengan berhijab keluar menunggang baghl (hasil perkawinan silang antara kuda dan keledai) pulang dari rumah ‘Utsman r.a. Di tengah jalan kami berpapasan dengan Asytar An-Nakh’iy. Tiba-tiba ia mencambuk moncong yang ditunggangi Shafiyyah. Asytar tidak tahu bahwa yang berada di atas keledai itu Shafiyyah. Setelah Asytar pergi Shafiyyah berkata kepadaku, ‘Jangan engkau katakan kepada siapa pun bahwa saya yang di atas baghl ini!'”
Ketika Khalifah ‘Utsman sedang dikepung oleh kaum pemberontak, Shafiyyah membuat jalan terobosan khusus untuk mengantarkan makanan dan minuman ke rumahnya.
Shafiyyah r.a. wafat sekitar tahun 50 Hijriyah, yaitu pada masa kekuasaan Mu’awiyah sudah mantap. Jenazahnya dimakamkan di pekubur-an Baqi’ (di Madinah) bersama para Ummul-Mu’minin lainnya.
Hadis-hadis yang dituturkan olehnya tercantum di dalam Ash-Shi-hahus-Sittah (Enam Kitab Hadis Shahih). Ada yang diriwayatkan oleh kemanakannya, bekas-bekas budaknya yang bernama Kinanah dan Ya-zid bin Mut’ib; ada pula yang diriwayatkan oleh Imam Ali Zainal ‘Abidin bin Al-Husain r.a. oleh Muslim bin Shafwan dan sejumlah penghafal Alquran di kalangan kaum Tabi’in.
***
Sebelum kaum Yahudi Khaibar kalah perang melawan kaum Muslimin, Shafiyyah sudah dua kali berumah tangga. Pertama ia menjadi istri Salam bin Masykam, seorang penyair Yahudi. Kemudian berpisah lalu nikah dengan Kinanah bin Abil-Haqiq, penguasa Yahudi yang paling tangguh di Khaibar, yaitu Qumush. Dalam perang Khaibar suaminya mati terbunuh, dan Shafiyyah jatuh ke tangan pasukan Muslimin sebagai tawanan.
Pada mulanya Shafiyyah akan dimiliki oleh Dahyah Al-Kalbiy, anggota pasukan Muslimin yang menangkapnya. Akan tetapi banyak para sahabat Nabi yang memberi tahu beliau, bahwa Shafiyyah adalah seorang wanita bangsawan Bani Quraidzah dan Bani Nadhir. Mereka menyarankan agar beliau sendiri yang menikahinya, mengingat kedudukan terhormat Shafiyyah di kalangan kaumnya. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan pertimbangan untuk meredam sikap permusuhan kaum Yahudi terhadap kaum Muslimin, dapat menerima saran mereka, kemudian Shafiyyah dimerdekakan dan dinikah oleh beliau sendiri. Menurut sumber riwayat lain, yang menggiring Shafiyyah sebagai tawanan perang Khaibar adalah Bilal bin Rabbah. Olehnya Shafiyyah digiring bersama saudari misannya,[1] melewati mayat-mayat orang Yahudi yang tewas dalam peperangan. Ketika melihat hal yang mengerikan itu dua orang wanita Yahudi tersebut menutup mukanya sambil berteriak menjerit. Menyaksikan kejadian itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memerintahkan Bilal supaya menjauhkan mereka dari pandangan yang seram itu, seraya berkata, “Hai Bilal, hatimu kehilangan rasa kasih sayang ketika engkau membawa dua perempuan itu melewati mayat-mayat kaumnya!”
Rasulullah nikah dengan Shafiyyah dalam perjalanan pulang dari Khaibar ke Madinah. Tiba di Madinah oleh beliau Shafiyyah dititipkan sementara di rumah keluarga Haritsah bin Nu’man. Banyak perempuan Madinah mendengar berita-berita tentang kecantikan Shafiyyah. Banyak pula dari mereka yang sengaja datang ke rumah Haritsah untuk melihat Shafiyyah. Ummul Mu’minin ‘A’isyah r.a. tidak ketinggalan. Ketika ditanya oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bagaimana pendapatnya mengenai Shafiyyah, ‘A’isyah r.a. menyahut, “Ya … dia kan perempuan Yahudi!” Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mengingatkan istri yang paling besar kecemburuannya itu, “Jangan engkau berkata begitu! Ia sudah memeluk Islam dan keislamannya pun baik!” Demikianlah menurut Ibnu Sa’ad di dalam Tha-baqat-nya.
Hingga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mangkat Shafiyyah r.a. tetap sebagai Ummul Mu’minin. Ketika Khalifah ‘Utsman r.a. sekeluarga dikepung dan diboikot kaum Muslimin Kadinah, Shafiyyah r.a. menolong mereka dengan makanan dan minuman. []
[1] Al-Baihaqiy, Dala’ilun-Nubuwwah: IV/232.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini