Mimpi Shafiyyah dan Ingatannya
Selama beberapa waktu, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berada di Khaibar menunggu suasana tenang pulih kembali. Setelah Shafiyyah tampak mulai tenteram, tidak terguncangkan lagi jiwanya oleh peperangan yang menghancurkan bangsanya di Khaibar, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bersama pasukan beranjak pulang ke Madinah. Setibanya di daerah luar Khaibar sejauh kurang-lebih 6 mil, beliau berniat hendak melangsungkan pernikahannya dengan Shafiyyah. Akan tetapi Shafiyyah minta ditangguhkan mengingat letak itu masih dekat dengan Khaibar. Ia khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang akan mengganggu beliau. Setiba rombongan di Shahba—jauh dari Khaibar— Shafiyyah menyatakan kesediaannya dinikah oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam , lalu berlangsunglah pernikahan sebagaimana lazimnya. Sebelum nikah Shafiyyah dimerdekakan lebih dulu dan kemerdekaannya itu yang dijadikan mahar dalam pernikahan tersebut.
Walaupun kesedihan dan kenangan pahit masih belum hilang seluruhnya dari hati Shafiyyah, namun dengan keislaman dan pernikahannya dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, ingatannya mengenai Perang Khaibar yang mengerikan itu sudah tidak mengguncangkan pikiran dan perasaannya. Ia tidak lagi mengingat-ingat kejadian yang dialaminya sendiri ketika ia dipaksa keluar dari benteng Qumush oleh pasukan Muslimin dan dijengeki sebagai tawanan. Ia tidak mau lagi membayangkan betapa banyak orang sebangsanya yang jatuh bergelimpangan di medan Perang Khaibar. Semuanya itu olehnya dianggap sebagai akibat kesalahan kaum Yahudi sendiri yang telah berulang-ulang mencoba menghancurkan Islam dan kaum Muslimin serta mengkhianati perjanjian damai yang mereka buat sendiri.
Ia teringat pula akan mimpinya pada malam pernikahannya dahulu dengan Kinanah bin Ar-Rabi’. Kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam ia menceritakan mimpinya sebagai berikut. Pada malam pernikahannya dengan Kinanah ia mimpi melihat bulan jatuh di dalam kamarnya. Keesokan harinya ia memberitahukan mimpinya itu kepada Kinanah. Dengan muka merah padam Kinanah menyahut kasar, “Itu bukan lain karena engkau melamunkan penguasa Hijaz yang bernama Muhammad!” Ia berkata keras seraya menampar muka Shafiyyah. Demikian keras tamparan itu hingga bekasnya yang kebiru-biruan masih kelihatan pada bagian keningnya. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam merasa senang mendengar cerita mimpi Shafiyyah itu. Shafiyyah melanjutkan ceritanya tentang orang-orang Yahudi keluarganya sendiri yang menyalahgunakan kabar baik dari kitab-kitab mereka tentang akan datangnya seorang Nabi. Ia membayangkan juga betapa marah dan besarnya kebencian mereka jika mengetahui ia sedang berjalan menuju Madinah, kota hijrah, yang oleh mereka dikatakan tidakjauh dari tempat kedatangan Nabi. Mereka menyebarkan berita yang menggembirakan masyarakat Arab itu tidak bermaksud lain kecuali untuk mengamankan harta kekayaan mereka di Yatsrib (Madinah) dari gangguan penduduk asli. Dengan menyebarkan berita-berita itu mereka juga bermaksud membanggakan diri di depan orang-orang yang umumnya masih buta huruf, agar mengagumi betapa tinggi pengetahuan orang-orang Yahudi tentang kitab agama mereka.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini