Pada suatu hari ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam datang untuk memenuhi gilirannya, Shafiyyah r.a. sambil menangis sedu-sedan mengadukan jengekan dan ejekan yang dilancarkan oleh Hafshah dan ‘A’isyah. Dengan tenang beliau berkata, “Hai Shafiyyah, mengapa tidak engkau jawab, ‘Bagaimana mungkin kalian berdua lebih baik dariku?! Suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa!'”[1] Petunjuk beliau seperti itu oleh Shafiyyah dirasa menyejukkan perasaan, sehingga ia merasa beroleh perlindungan.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memang merasakan keterpencilan Shafiyyah di kalangan para istri beliau yang terdahulu. Oleh karena itu pada setiap kesempatan beliau berusaha membelanya. Sebuah riwayat menuturkan, dalam suatu bepergian jauh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam disertai dua orang istrinya, yaitu Shafiyyah dan Zainab binti Jahsy. Unta yang ditunggangi Shafiyyah agak cacat dan lemah, sedangkan Zainab sendiri menunggang unta yang kuat dan bagus. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berkata kepada Zainab, “Lihat, unta Shafiyyah itu cacat, mengapa tidak engkau beri unta lain?” Zainab dengan ketus menjawab, “Apa? Aku harus memberi kepada perempuan Yahudi itu?!” Mendengar jawaban yang sekasar itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sangat marah. Beliau diam dan mulai hari itu tidak mau mendekati kurang lebih selama hampir tiga bulan.[2]
Hingga hari-hari terakhir hayatnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam , Shafiyyah masih perlu mendapat pembelaan beliau dari cemoohan istri-istri beliau yang lain. Menurut riwayat yang dituturkan oleh Zaid bin Aslam di dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad danAl-hhabah, ketika beliau sedang sakit menjelang kemangkatannya para istri beliau berkumpul di sekitar tempat tidur beliau. Dalam kesempatan itu Shafiyyah berkata, “Ya, Rasulullah, sungguh … lebih baik aku saja yang menanggung penyakit Anda, jika mungkin!” Para istri Nabi yang lain mendengar kata-kata Shafiyyah itu memicingkan mata. Ulah mereka yang demikian itu diketahui oleh Rasulullah, hingga beliau berkata, “Cucilah mata kalian!” Mereka keheran-heranan, lalu bertanya, “Mengapa dicuci?” Beliau menjawab, “Tadi kalian memicingkan mata mengejek dia (Shafiyyah). Demi Allah, apa yang dikatakannya itu benar!”
***
Dengan kemangkatan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menghadap ke Rabbul-alamin Shafiyyah benar-benar kehilangan perlindungan dan pembelaan. Orang tidak dapat melupakan bahwa ia keturunan Yahudi. Dari segi kelainan ras itulah orang masih tidak menyukainya, bahkan merendahkannya. Tampaknya keislaman Shafiyyah yang sudah demikian baik dan pernikahannya dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam belum dapat menutup darah keyahudiannya. Pada suatu hari ia dilaporkan oleh budak perempuannya kepada Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab r.a., bahwa Shafiyyah masih menyenangi Sabtu (sebagai hari besar) dan masih mengadakan hubungan dengan orang-orang Yahudi. Khalifah ‘Umar tidak dapat mempercayai begitu saja laporan itu. Ia memerlukan datang ke rumah Shafiyyah untuk mengecek kebenaran laporan tersebut. Atas pertanyaan Khalifah ‘Umar, Shafiyyah menjawab, “Aku tidak menyukai Sabtu sebagai hari besar setelah Allah menggantinya dengan hari Jumat. Mengenai hubunganku dengan orang-orang Yahudi, karena aku mempunyai sanak-famili di kalangan mereka, dan itu merupakan silaturrahmi!” Setelah khalifah pergi, Syafiyyah memanggil budak perempuannya lalu ditanya mengapa ia sampai berbuat bohong seperti itu? Budak itu menyahut, “Karena bisikan setan.” Seketika itu juga Shafiyyah memerdekakan budak perempuannya dan menyuruhnya pergi ke mana saja menurut kemauannya.[3]
[1]Yang dimaksud ayah ialah “keturunan.” Musa a.s. disebut “paman” karena beliau adalah saudara Harun.
[2]Dari Hadis ‘A’isyah r.a., diketengahkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath-Tahabaqat dan oleh Ibnu Hajar dalam Al-hhabah.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdul-Birr, diketengahkan dalam Al-Isti’ab: IV/1872, dalam Al-Ishabah: VIII/127, dan dalam As-Samthuts-Tsamin: 112.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini