Begitulah aku bolak balik antara Masjid Jami’ al-Azhar dan rumah asy-Syaikh Muhammad al-Bakriy selama lima belas hari. Selama itu, setiap kali aku datang ke pintu rumahnya, penjaga pintu itu menolaknya. Sedangkan saat itu orang-orang keluar masuk melalui pintu itu. Orang-orang Maroko yang mengenalku di Masjid Jami’ al-Azhar merasa kesal dengan hal itu dan salah satu dari mereka ingin sekali masuk untuk memberitahu asy-Syaikh. Namun aku mencegah mereka, sebab itu termasuk prasangka buruk terhadap asy-Syaikh. Boleh jadi perlakuan asy-Syaikh ini adalah ujiannya terhadap diriku. Sebab rasa suka terhadap kepemimpinan adalah sifat yang dihancurkan di hadapan tingkatan orang-orang yang saleh. Sifat terakhir yang dicabut dari diri para shiddiqin (orang-orang yang memiliki keteguhan di sisi Allah) adalah suka terhadapan kepemimpinan. Suka terhadap kepemimpinan terbagi menjadi dua, yang tercela jika disertai sombong dan bangga diri serta pamer atau sifat tercela lainnya. Namun kepemimpinan yang terpuji tidak seperti itu. Aku membawa prasangkaku terhadap asy-Syaikh ke arah itu. Seperti yang sering terjadi, sebagian orang-orang yang memiliki kedudukan di sisi Allah, jika datang kepadanya orang-orang yang akan mengambil manfaat darinya, mereka menginginkan sambutan yang kuat dari para pencari manfaat itu kepada dirinya, sehingga mereka dapat menilai kemauan orang-orang itu dengan cara merendahkan mereka di depan pintu para guru.
Di antara yang menjadikan diriku berprasangka baik terhadap asy-Syaikh, karena datang kepadaku seseorang yang baik saat aku masih dalam kondisiku itu. Aku berkata kepadanya, “Sampaikanlah salamku terhadapasy-Syaikh,dankatakanlahkepadanya bahwa salam itu dari seorang syarif yang mengunjungimu dari negeri Maroko, yang kau perintahkan untuk masuk ke rumahmu bersamamu, la hendak masuk ke rumahmu namun dicegah oleh penjaga pintu, la berpesan, jika kau ridha terhadapnya, maka ia akan pergi. Sebab ia terikat dengan ucapanmu” Orang itupun menyampaikan pesanku seperti yang kuamanatkan. Ketika mengetahui hal itu, keluarlah asy-Syaikh dalam keadaan menangis dan berkata, “Tak ada yang melupakanku untuk mengingatnya kecuali setan.” Ucapannya itu berdasarkan ayat (Qs. Al-Kahfi [18]: 63). Lalu beliau mengecup dahiku dan berkata, “Bagaimana aku di mata Nabi Saw, sebab aku telah menghalangimu masuk ke rumah, padahal aku memerintahkanmu masuk bersamaku dan kau adalah tamuku.” Kemudian beliau menggandeng tanganku dan mendudukanku di tempat duduknya di dekat tempat istri dan anak-anak wanitanya, dan berkata, “Ini adalah batasanmu, jika kau bergeser dari batasan ini, maka aku akan mengajarkan adab kepadamu.” la mengucapkan itu sambil tersenyum.
Setelah semua itu, setiap orang yang ingin masuk ke rumahnya untuk menemuinya, walaupun dari keluarganya, tak ada yang bisa mengizinkan mereka untuk bertemu dengannya kecuali aku. Hingga suatu ketika datanglah sekelompok faqir mengunjunginya dan ingin masuk menemuinya. Maka penjaga pintu berkata kepada mereka, “Tak ada yang dapat memasukkan kalian kecuali seorang syarif yang bernama Yusuf.” Mereka berkata, “Di mana kami dapat menemukannya di jam seperti ini?” Penjaga pintu itu berkata, “la berada di Masjid al-Azhar di rubath (pesantren) para ulama Maroko.” Mereka mendatangiku dan mendapatiku. Maka aku pergi bersama mereka dan memintakan izin kepada asy-Syaikh bagi mereka. Asy-Syaikh mengizinkan mereka masuk dan merasa senang terhadap mereka. Salah satu dari penjaga pintu yang bernama Badr diberitahu oleh asy-Syaikh tanpa sepengetahuanku, “Katakanlah kepada para tamu, masuklah, selamat datang wahai tamu Allah.”Lalu asy-Syaikh membuat lelucon dengan menurunkan kedudukan dirinya yang tinggi untuk menyesuaikan diri dengan mereka, hingga beliau berkata kepada si penjaga pintu, “Katakanlah kepada para tamu itu bahwa makan siang mereka hari ini di tanggung oleh tuanku Syarif Yusuf.” Karena ucapan penjaga pintu itu, maka para tamu itu meminta makan kepadaku, dan asy-Syaikh tertawa. Salah satu dari tamu itu berkata kepadaku, “Jika kau izinkan, kau akan memberi makan siang kepada kami atau kami akan menjual sesuatu untuk makan siang kami.” Aku berkata kepada asy-Syaikh, “Wahai tuanku, mereka adalah tamuku. Dan aku adalah tamumu, maka keluarkanlah hindangan dan perhatikanah perasaan mereka demi aku.”
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim