Di bulan Shafar -yang di dalamnya terdapat kebaikan- pada tahun sembilan puluh sembilan di abad kesepuluh, aku keluar ke arah barat jauh untuk melakukan disiplin atau latihan perjalanan spiritual atas perintah guruku asy-Syaikh Ahmad bin Humaidah al-Mathrany asy-Syazhazhiy. Beliau termasuk sahabat asy-Syaikh Abdullah a-Mahjib yang memiliki sanad khirqah dari asy-Syaikh Ahmad al-Milyaniy dari asy-Syaikh Ahmad Zarruq.
Asy-Syaikh Ahmad adalah seseorang yang menguasi ilmu thasrif al-asma dan ilmu lainnya. Pernah suatu ketika, aku mengatakan kepadanya bahwa aku sangat suka dengan zikir al-jalalah; Allah, Allah. Aku selalu menyebutnya dengan lisanku. Aku bertanya kepadanya bagaimana cara beribadah menggunakan nama itu. Maka beliau menjelaskan kepadaku bagaimana beribadah menggunakan zikir al-jalalah itu. la memberitahukan berapa jumlah yang harus dibaca, persiapannya saat akan membaca. Termasuk pakaian dan tempat, serta wangi-wangian yang digunakan bagi mereka yang menjalankan latihan perjalanan spiritual. Beliau juga mengajarkan kepadaku doa yang sesuai dengan zikir al-jalalah. Kemudian beliau memberiku petunjuk agar melakukannya di tempat yang aku sebut di atas.
Maka aku pergi menuju ke tempat yang tak berpenghuni dan tak ada bangunan itu. Tempat itu dulu sering dijadikan tempat beribadah oleh para wali seperti, Abu Ya’za, Abu Madyan, dan lain-lainnya. Tempat itu dinamakan gunung al-Akhdhar. Dalam perjalanan ke sana, aku melewati kota di pinggir laut sebelah barat kota Fas, dinamakan Sala. Di sana terkubur al-Haj bin’ Asyir guru asy-Syaikh Muhammad bin Abbad yang mensyarahkan kitab al-Hikam. Terkubur pula Amir al-Mukminin Yusuf bin Ya’qub bin Abdulmu’min yang melepaskan kerajaannya dan menyendiri untuk beribadah. Cerita tentang beliau dan sebab beliau meninggalkan kerajaannya untuk menyendiri adalah cerita yang terkenal di kota Maroko. Aku menziarahi para wali yang terkubur di kota ini. Aku mendatangi yang hidup dan yang telah wafat.
Setelah itu aku pergi menuju ke tempat di sekitar gunung al-Akhdhar. Lalu aku menyendiri yang tata caranya memiliki sanad ke asy-Syaikh Abduqadir al-Jailaniy. Aku berdiam di tempat itu selama tiga hari. Di tempat itu terdapat seorang saleh yang juga menyendiri bersamaku. Namun aku tak dapat menyendiri di tempat itu sesuai dengan perintah guruku, sebab ternyata tempat itu sering dikunjungi oleh penduduk setempat. Aku berbincang dengan orang saleh yang berada di tempat itu bersamaku, lalu kami sepakat untuk keluar dari sana menuju ke pesisir pantai di sekitar makam Abu Muhammad Shalih ad-Dakaliy. Temanku itu telah mulai menyendiri sebelum aku. Sedangkan aku, aku memilih untuk masuk terlebih dahulu ke sebuah masjid yang terdapat di tempat itu untuk melakukan shalat beberapa rakaat, setelah itu aku baru mulai menyendiri. Namun saat aku memulainya, tiba-tiba ada seekor ular besar menghampiriku dari pintu ruangan tempat aku menyendiri. Bentuknya sangat menyeramkan dengan urat-uratnya yang menonjol. Aku tak memiliki jalan keluar lagi sehingga harus berhadapan dengan ular itu. Maka aku memohon perlindungan kepada Allah dan kuucapkan, “Hai kau! Jika kau pergi dariku, maka tak ada apa apa antara aku dan kau. Aku sekarang sedang menyendiri dengan cara asy-Syaikh Abdulqadir al-Jailaniy.” Namun ular itu menyerangku maka aku harus membunuhnya. Tanpa berpikir panjang lagi, kupukul dia dengan batu hingga mati. Lalu aku berkata kepadanya, “Beginilah peperangan antara aku dan kau. Tiada lain kau adalah jin. Dan aku tak membunuhmu kecuali dengan ilmuku karena aku memahami agama. Dan telah sampai kepadaku sabda Nabiku, ‘Sesungguhnya Allah menyukai pemberani, walaupun dengan cara membunuh ular”.
Diriwayatkan bahwa Beliau Saw. bersabda, “Jika aku memerangimu maka tidak ada perdamaian lagi jika kau ular Jika kau adalah jin, maka janganlah datang dalam bentuk menyerang, sebab tak berdosa orang yang membunuhmu” Nabi Saw. pernah bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai selain dirinya, lalu dibunuh, maka tak dosa bagi pembunuhnya.”Lalu aku kembali ke ruangan tempat aku menyendiri dalam keadaan kebingungan beberapa saat. Kemudian aku kembali mendatangi tempat ular itu dan membaca ayat:
‘Katakanlah’ sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang orang yang beriman harus bertawakkal.” (Qs. At-taubah [9]: 51)
Lalu aku memulai menyendiri dalam kegelapan hingga tenggelam dalam kesendirian itu. Tiba-tiba kulihat cahaya menerangi ruangan dan kulihat diriku berada di atas akar, seperti akar pepohonan yang menempel pada dinding ruangan itu. Aku menyentuhnya dengan tanganku dan aku menyadari bahwa hal itu merupakan pemberian dari Allah kepadaku.
Kemudian aku membawa apa yang kuperoleh saat aku menyendiri. Lalu aku keluar mengikuti jejak temanku hingga tiba waktu malam. Aku bertemu dengan sekelompok faqir dan aku menanyakan kepada mereka, apakah mereka melihat seseorang yang lewat menuju ke kabilah Dakalah. Mereka menjawab bahwa mereka tidak melihatnya. Di antara mereka terdapat seorang faqir bernama asy-Syaikh Ahmad bin umaral-‘Arusiy. la berkata kepadaku,”Kau adalah seorang syarif yang diberkahi. Beribadah di tempat-tempat para wali. Namun mengapa kau tak mendatangi shahibul waqt?” “Siapakah shahibul waqt?, tanyaku, Ia menjawab, “Asy-Syaikh Ahmad bin Umar al-‘Arusiy al-Ghamariy.” “Dimanakah dia sekarang, di daerah ini?” tanyaku. Beliau menjawab, “Pergilah kau ke kota Marakisy untuk mengunjungi para wali yang masih hidup dan telah wafat yang berada di tempat itu, seperti al-Qadhiy lyadh, asy-Syaikh Ahmad al-Arif, asy-Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuliy, asy-Syaikh Abu Umar dan para guru lainnya. Setelah itu keluarlah engkau bersama orang-orang yang keluar dari pintu kota menuju ke lembah Darra. Sesampainya di sana, pasti kau akan menemukan orang yang menunjukkan kepadamu ke tempat al-Badw yang terletak di belakang lembah Darra. Mereka adalah beberapa kabilah yang berasal dari kabilah Hilal. Jumlah mereka banyak dan disebut kabilah Arib.” Isyarat orang faqir yang dipenuhi keberkahan dan nasehat ini sangat berbekas di hatiku. Maka akupun segera berangkat menuju ke kota Marakisy.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim