Ketika bercerita tentang Masjid Bani Umayyah, di Damaskus. Kata Ibnu Bathutah, masjid itu dibangun oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik bin Marwan. Ia adalah masjid terbaik dari sisi pengerjaan, keindahan dan kesempurnaannya. Saat membangun masjid itu, Khalifah meminta Kaisar Romawi di Konstantinopel untuk mendatangkan para arsitek. Kaisar Romawi pun menjawab permintaan itu dengan mendatangkan 12.000 arsitek. Bahkan katanya, Masjid Bani Umayyah itu dibangun di atas tanah bekas gereja. Kalau sedikit kritis, jumlah arsitek sampai 12.000 untuk membangun sebuah masjid tentu berlebihan. Arsitek biasanya tidak
banyak, tetapi tukang bangunan bisa sangat banyak.
Selanjutnya, masih cerita Ibnu Bathuthah. Di Utara Damaskus ada sebuah gunung, Qasiyun namanya. Gunung itu disebut-sebut sebagai tempat pendakian para Nabi. Konon, Nabi Ibrahim dilahirkan di sebuah gua disana. Di sana pula ada batu merah, bekas ceceran darah Habil, putra Adam عليه السلام. Di gua itu Nabi Ibrahim, Musa, Isa, Ayub, dan Luth عليهم السلام pernah melakukan shalat. Di gua lain, katanya 70 Nabi pernah berlindung di dalamnya. Gua itu disebut “Gua Kelaparan”. Mengapa demikian? Sebab disana ada 70 Nabi berlindung, sedangkan mereka tidak memiliki makanan selain hanya sepotong roti. Mereka tidak ada yang memakan roti itu, sebab setiap akan memakan, mereka selalu mendahulukan saudaranya. Akhirnya, tidak ada satu pun Nabi yang memakan roti itu, sehingga mereka mati kelaparan semua dalam gua. Masih di Gunung Qasiyun, katanya di sana dimakamkan 70 Nabi, atau 700 Nabi, bahkan ada yang menyebut 70.000 Nabi. Ya, begitulah.
Ibnu Bathuthah juga sangat akrab dengan dunia sufi, sosok guru dan
karamahnya, zawiyah-zawiyah, bercerita seputar kubur-kubur Nabi, Sahabat,
ulama dan lain-lain. Kadang, tanpa terasa Ibnu Bathuthah mengkritik pengamalan-pengalaman Syariat secara halus. Misalnya soal pentingnya malam Nisfu Sya’ban, ritual-ritual sufi, mengkritik soal “keharaman” mencukur jenggot, dll. Lalu semua itu secara halus dikemas dalam cerita-cerita yang dituturkan sepenuh perasaan.
Sepanjang berbicara sosok Ibnu Bathuthah, di kalangan Islam terbelah menjadi pihak yang pro dan kontra. Kalangan yang mendukung sangat terinspirasi oleh cerita-cerita ajaib dan heboh yang dituliskan oleh Ibnu Bathuthah. Sedangkan kalangan yang anti, mereka memandang cerita-cerita Ibnu Bathuthah itu sebagai bahan fantasi “pemanis” dunia cerita. Lalu bagaimana mestinya kita memandang? Di sinilah dibutuhkan sikap bijaksana, arif dan berkeadilan.
Sumber : RIHLAH IBNU BATHUTHAH Penulis: Muhammad bin Abdullah bin Bathuthah