Beberapa hal esensial perlu dipahami, sebelum kita menikmati “jamuan perjalanan” karya Ibnu Bathuthah. Tujuannya agar kita tidak larut dalam cerita-cerita yang boleh jadi sulit dibuktikan kebenarannya; tetapi juga tidak menolak secara penuh. Bagaimanapun ada sisi nilai-nilai hikmah yang bisa dipetik dari Rihlah Ibnu Bathutah.
Pertama, karya asli Ibnu Bathuthah, berjudul Tuhfah An Nuzhar fi Gharaibil Amshar wa ‘Ajaibil Asfar, yang didiktekan kepada Ibnu Juzai Al Kalbi, ialah merupakan catatan perjalanan, atau sejenis memoar. Sebagai memoar, tentu di sana mengandung dua nilai, yaitu objektivitas dan subyektivitas dari narasumber.
Kedua, cerita-cerita Ibnu Bathuthah tidak bisa lepas dari background beliau sendiri sebagai seorang salik (penempuh jalan) sufi. Sudah jamak kita dengar, di kalangan sufi kerap beredar cerita-cerita dramatis seputar tokoh-tokoh yang mereka kagumi.
Ketiga, perjalanan Ibnu Bathuthah mengelana ke 44 negara-negara Islam dan sekitarnya, tidak lepas dari bantuan para penguasa yang menyediakan sarana, transportasi, dan aneka pelayanan. Kadang Ibnu Bathuthah memuji seorang penguasa begitu tinggi, kadang mencela penguasa yang lain sebagai “orang pelit”. Bisa jadi, dalam hal seperti ini, ada unsur subyektivitasnya.
Keempat, untuk menilai sejauhmana kebenaran berita-berita yang diceritakan Ibnu Bathuthah, kita bisa memverifikasinya melalui referensi penulis-penulis sejarah Islam lain, baik yang hidup sebelum era Ibnu Bathuthah maupun sesudahnya. Kalau ada kecocokan, berarti di sana ada kesepatakan seputar penuturan data-data sejarah yang diceritakan.
Kelima, bagaimanapun juga Rihlah Ibnu Bathuthah, merupakan sebuah karya tulis yang layak diapresiasi. Di sana tersirat nilai-nilai kelebihan tertentu yang jarang ditemukan di karya-karya lain.
Ibnu Bathuthah piawai dalam menyebutkan nama tokoh, raja atau sultan, tempat kejadian, cerita-cerita sosial yang populer di masa itu, keadaan-keadaan, dan kejadian-kejadian. Dia juga pandai menceritakan situasi kehidupan zaman Islam, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ibnu Bathuthah tetap memahami aspek-aspek ajaran Islam, sehingga setiap ceritanya dikorelasikan dengan ajaran-ajaran Islam (meskipun bercorak kesufian). Kalau mau jujur menilai, Rihlah Ibnu
Bathuthah, seperti sebuah mozaik kebudayaan Islami yang diimpikan oleh Ibnu Bathuthah agar terwujud di bumi. Bahkan, tanpa disadari, Ibnu Bathuthah telah menunjukkan pentingnya Kesatuan Wilayah Islam, baik yang berada di wilayah Arab, Syam, Afrika, India, maupun Asia Tenggara.
Dan pesan paling penting, Ibnu Bathuthah telah berusaha, dalam sebagian besar masa hayatnya, untuk mengamalkan amanah Al Qur’an berikut ini:
“Maka berjalanlah kalian di muka bumi, lalu perhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (agama Allah)!” (Ali Imran: 137).
Sebagaimana Ibnu Khaldun disebut sebagai peletak dasar konsep ilmu Sosiologi, maka Ibnu Bathuthah bisa dianggap sebagai perintis studi Geografi; khususnya untuk studi negeri-negeri Islam. Catatan perjalanan Ibnu Bathuthah tidak kalah dibandingkan karya para pengelana dunia seperti Marco Polo, Columbus, Laksamana Cheng Ho, dan lainnya.
Di sinilah kita perlu bersikap bijak, tetap kritis, dan adil. Jangan menelan bulat-bulat, sebagaimana jangan menolak mentah-mentah. Tetap ada sisi-sisi nilai hikmah yang bisa diambil. Betapapun, Rihlah Ibnu Bathuthah, adalah magnum opus dari sang pengelana Muslim, Ibnu Bathuthah. Semoga kita bisa mendulang sebaik-baik hikmah darinya. Amin.
Sumber : RIHLAH IBNU BATHUTHAH Penulis: Muhammad bin Abdullah bin Bathuthah