Akal telah menetapkan, logika dan dalil manqul pun mengakui bahwa kekhalifahan yang mulia, berjihad, bertawakal adalah naungan Allah yang meneduhi manusia, ia adalah tali Allah yang selalu dipegangi. Oleh karena itu, kekhalifahan seperti ini wajib dipatuhi.
Kekhalifahan inilah yang membebaskan agama saat ia dijajah, mengembalikan pedang-pedang musuh yang terhunus pada rangkanya, memperbaiki hari-hari yang telah lama rusak, menggairahkan pasar ilmu pengetahuan yang telah lama redup, menjelaskan jalan kebenaran yang selama ini terhalang, mendiami seluk-beluk dunia yang selama ini tergoyang, menghidupkan kemuliaan setelah kematiannya, mematikan kezhaliman yang selama ini hidup, mematikan api fitnah yang selama ini menyala-nyala, menghancurkan penguasa-penguasa zhalim, menguatkan bangunan kebenaran di atas pondasi ketakwaan, menjadikan keberserahan diri kepada Allah sebagai pemicu kekuatan.
Kekhalifahan ini memiliki kemuliaan yang mengikat mahkotanya di bintang, keluhuran yang ekornya menjangkau langit, kebahagiaan yang mengembalikan zaman pada usia mudanya, keadilan yang menyentuh seluruh kaum beriman, kedermawanan yang tetes-tetes awannya adalah perak, keberanian yang di dalamnya mendung berisi permata, kemenangan yang batalyonnya membuka masa, kekuatan yang sebagian ghanimah-nya adalah negara, keperkasaan yang pedangnya menebas celaan, optimisme yang senantiasa membesarkan harapan, ketegasan yang memberikan ketakutan di wajah-wajah musuh, tekad yang tidak kendur sebelum batalyon musuh tercerai, kemurahan yang mendapatkan kemaafan, kelembutan yang mengumpulkan hati di atas cinta, ilmu yang cahayanya menyelesaikan segala kesulitan dan amal yang diikat oleh keikhlasan, sementara segala amal itu ditentukan oleh niatnya.
Karena Raja Yang Mulia (Allah) menjadi tumpuan pengharapan, tempat keluhan para pemimpin, terminal bagi perjalanan orang-orang utama, tempat berlindung bagi orang-orang yang sedang ketakutan, dan tempat meminta para pemohon bantuan, maka zaman datang dengan membawa hadiahnya yang indah-indah. Tumpah-ruahlah para ulama kenegeri itu seperti tumpah-ruahnya kedermawanan raja. Berlomba-lombalah para sastrawanan ke negeri itu sebagaimana perlombaan keberanian negeri itu menghadapi musuh. Berlomba-lombalah para arif menuju tanah sucinya yang mulia. Para pelancong berdatangan ke sana untuk mengetahui maknanya yang tinggi.
Negeri itu ibarat kutub yang dikelilingi alam semesta. Kemuliaan negeri ini memberi hak yang adil kepada kaum cerdik dan orang-orang awam. Dengan pengaruhnya yang besar, setiap muslim mendasarkan kesahihan atsar. Dengan kesempurnaan kebaikannya yang tinggi, maka menjadi fasihlah lidah para pengajar.
Di antara orang pertama yang datang ke pintunya yang luhur adalah Syaikh Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Lawati yang dikenal dengan sebutan Ibnu Bathuthah, yang di negeri-negeri Timur dikenal dengan sebutan Syamsuddin. Dia adalah seorang ahli fikih, pelancong terpercaya dan jujur, orang yang mengarungi seluk-beluk dunia, menempuh daerah Utara-Selatan dan Barat-Timur. Dialah orang yang mengelilingi bumi sembari mengambil pelajaran dan ujian, mempelajari golongan dan bangsa-bangsa, membaca sejarah bangsa Arab dan bangsa Ajam (Non-Arab).
Kemudian ia mengarahkan perjalanannya menuju negeri ini, karena ia tahu penguasanya memberikan bantuan tanpa syarat dan tanpa pengecualian. Ia melipat bagian Timur bumi menuju tempat terbit purnamanya di Barat. Ia memilih negeri ini di atas negeri-negeri lain, setelah memilih-milih sekian lama dengan membandingkan berbagai negeri dan penduduknya. Pilihannya ini juga dikarenakan ingin bertemu dengan kelompok manusia utama yang memberinya banyak kebaikan. Keadaan yang dialaminya sekarang serta panjangnya perjalanan tidak membuatnya lupa akan masa lampau. Menjadi biasalah segala apa yang oleh orang lain dianggap sebagai hal yang luar biasa. Ia mendapatkan apa yang oleh kebanyakan orang hanya dimimpikan. Ia mendapatkan lahan yang subur setelah lama hilir-mudik dan berlalu-lalang.
Sumber : RIHLAH IBNU BATHUTHAH Penulis: Muhammad bin Abdullah bin Bathuthah