Kota Iskandariyah memiliki empat gerbang: gerbang Sidrah yang menjadi pintu masuk dari arah Barat, gerbang Rasyid, gerbang Al-Bahr (laut), dan gerbang Al-Akhdhar (hijau) yang hanya dibuka pada setiap hari Jumat. Dan gerbang ini, orang-orang keluar untuk melakukan ziarah kubur.13 Nama Barsis atau Barshisha dapat dijumpai dalam kitab AI-Bidayah wa An-Niheyah. Barshisha mempunyai cerita unik yang disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya.14
Iskandariyah juga memiliki pelabuhan besar yang belum pernah saya lihat sebelumnya di kota-kota yang lain, kecuali pelabuhan Koulum dan Kalkuta di India, serta pelabuhan Kufar di Suradiq di negeri Turki, pelabuhan Zaitun di Cina. Semua ini akan dikisahkan pada bagian yang lain.
MENARA
Aku menuju menara yang salah sate sudutnya telah rusak. Menara ini adalah sebuah bangunan persegi empat, terkesan melayang di udara, pintunya tinggi, dan di depan pintunya terdapat sebuah bangunan yang tingginya sama dengan pintu tersebut. Antara pintu dan bangunan dihubungkan oleh sebuah papan kayu. Jika papan kayu ini dibuang, maka jalan menuju ke arah menara tadi menjadi terputus.
Di sisi bagian dalam menara, di sebelah pintu diletakkan sebuah kursi untuk petugas penjaga menara. Di dalam menara terdapat banyak sekali bangunan rumah. Lorong-lorong yang menghubungan antar rumah memiliki lebar sembilan jengkal, dan lebar dinding sepuluh jengkal. Lebar menara dari keempat sisinya seratus empat puluh jengkal, menara itu berdiri di atas anak bukit yang cukup tinggi. Jarak antara kota dan menara ini sejauh sate farsakh (kurang lebih 8 km/ 3 1/4 mil. Penj), di sebuah daratan memanjang yang dikelilingi oleh laut dan ketiga sisinya, laut tersebut tersambung dengan perbatasan negeri. Orang-orang tidak bisa mencapai menara lewat darat jika mereka tidak masuk ke dalam kota terlebih dahulu. Di daratan yang menghubungkan menara dengan kota terdapat pemakaman penduduk kota Iskandariyah.
Saat kembali ke Maghribi pada tahun 750 H, aku mengunjungi lagi menara tersebut. Saat itu, kondisinya sudah rusak berat, sehingga tidak mungkin lagi untuk masuk ke dalamnya atau masuk melewati pintunya. Raja Nashir Rahimahullah berusaha membangun menara yang sama di depan menara lama, namun beliau meninggal sebelum proyek ini selesai.
TIANG AS-SAWARI
Iskandariyah menjadi istimewa, di antaranya karena keberadaan tiang marmer massif di luar kota. Orang-orang Iskandariyah menyebutnya dengan tiang As-Sawari. Tiang ini terletak di tengah hutan kurma yang terkenal dengan pohon-pohonnya yang sangat tinggi. Tiang As-Sawari dibangun dengan sangat kokoh. Pahatan di dindingnya sangat sempurna, dibangun di atas pondasi yang terbuat dari bebatuan persegi empat, mirip sebuah toko besar, tidak diketahui bagaimana cara dan siapa yang membangunnya.
Ibnu Juzai mengatakan, “Sebagian guruku yang terbiasa melakukan perjalanan jauh menceritakan bahwa seorang pemanah di Iskandariyah naik ke puncak tiang itu dengan membawa busur dan kinanahnya.14 Ia berada di atas tiang itu untuk beberapa lama. Apa yang dia lakukan itu terdengar oleh banyak orang. Mereka pun berkumpul di lokasi itu untuk menyaksikan apa yang dia lakukan. Orang-orang yang menyaksikannya terkagum-kagum dengan apa yang dilakukannya. Mereka tidak tahu, orang itu telah mengelabuhi mereka. Aku kira, is melakukan hal itu karena sedang ketakutan atau karena menuntut sesuatu. Hasilnya, tuntutannya memang tercapai, karena apa yang dilakukannya itu adalah kejadian yang luar biasa. Sebenarnya, orang itu naik ke atas dengan memakai sebuah tali. Ia melempar sebuah anak panah yang bagian atasnya diikat dengan tali panjang. Bagian ujung tali diikat dengan tali lain yang kuat. Anak panah dilempar ke bagian tiang agar terikat di sana. Ia kemudian naik dengan menggunakan tali itu. Dan orang-orang tidak mengetahui siasatnya itu.
Saat aku berkunjung ke Iskandariyah, kota itu dikuasai oleh seorang gubernur yang bernama Shalahudin. Saat itu, tinggal juga di kota ini seorang penguasa Afrika yang dicopot dari jabatannya, namanya adalah Zakariya Abu Yahya bin Ahmad bin Abi Hafsh yang terkenal dengan julukan Al-Lihyani. Raja Al-Malik An-Nashir memerintahkan agar mantan penguasa Afrika tersebut menempati wisma kerajaan di kota Iskandariyah, dan diberi subsidi sebesar 100 dirham per hari. Di sana, Al-Lihyani ditemani oleh putra-putranya yang bernama Abdul Wahid, Mishri, dan Iskandari, seorang pengawal bernama Abu Zakariya bin Yasqub, dan seorang menterinya yang bernama Abu Abdullah bin Yasin. Di kota Iskandariyah ini Al-Lihyani dan putranya, Iskandari, meninggal dunia, sementara putranya yang lain, Mishri, tetap tinggal di sana.
Ibnu Juzai mengatakan, “Ada suatu hal yang sedikit aneh pada nama kedua anak Al-Lihyani; Iskandari dan Mishri. Iskandari meninggal di kota Iskandariyah, sementara Mishri hidup dalam kurun waktu yang panjang di kota Iskandariyah yang notabene adalah bagian dan wilayah Mesir. Sementara Abdul Wahid berpindah-pindah ke negeri Andalus, Maghrib, hingga Afrika. Ia meninggal di sana, tepatnya di sebuah pulau yang bernama Jirbah.
Sumber : RIHLAH IBNU BATHUTHAH Penulis: Muhammad bin Abdullah bin Bathuthah