Tahun Kesembilan Hijriyyah
Dalam sejarah Islam, tahun ini disebut sanah al-wufud (tahun perutusan), karena banyaknya utusan yang datang ke Madinah untuk menghadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Di antara mereka adalah utusan dari Najran (beragama Nasrani), mereka datang untuk menyampaikan sanggahan tentang kenabian ‘Isa alaihissalam Berkaitan dengan peristiwa itu turun firman Allah dalam Alquran:
إنَّ مَثَلَ عِيْسَى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قاَلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
[آل عمران : 59]
Sesungguhnya misal (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah (manusia)!” Maka jadilah dia. (QS3:59)
Mengenai mereka turun pula firman Allah:
فَمَنْ حَآجَّكَ فِيْهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَآءَكَ مِنَ العِلْمِ فَقُلْ تَعاَلَوْا نَدْعُ اَبْنَآءَنَا وَاَبْنَآءَكُمْ وَنِسَآءَنَاوَنِسَآءَكُمْ وَاَنْفُسَنَا وَاَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَّعْنَتَ اللهِ عَلىَ الكذِبِيْنَ
[آل عمران :61]
Barangsiapa yang menyanggahmu tentang ‘Isa a.s. setelah engkau (hai Nabi) mendapat pengetahuan dari Allah, maka katakanlah kepadanya, “Mari kita panggil (kumpulkan) anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian; lalu marilah kita bermubahalah[1] kepada Allah dan kita mohon kepada Allah agar melimpahkan laknat-Nya kepada orang-orang yang berdusta. (QS 3:61)
Perutusan kabilah Bani Tamim, yang ketika datang ke rumah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam., mereka berteriak memanggil-manggil, seperti kebiasaan orang-orang Arab masa jahiliyyah. Mengenai kejadian ini turun firman Allah:
إنَّ الَّذِينَ يُنَادُوْنَكَ مِنْ وَّرَآءِ الحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ [الحجرات :4]
Sesungguhnya mereka yang memanggil-manggilmu (hai Nabi) dari luar kamar (rumahmu) kebanyakan adalah orang- orang yang tidak mengerti. (QS49:4)
Perutusan Bani Hanifah, turut bersama mereka Musailamah bin Hubaib al-Hanafi. Di hadapan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam., dia diam membisu. Sepulang dari pertemuannya dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan setiba mereka di daerah mereka sendiri, yaitu wilayah Yamamah, dia (Musailamah) berbalik haluan dan kembali pada kepercayaan semula, bahkan mengaku- ngaku bahwa dirinya adalah seorang “nabi.” Dia merekayasa kebohongan kepada orang lain.
Perutusan Bani Thay’, yang dipimpin oleh Zaid al-Khail (Kuda Tambahan). Mereka masuk Islam dengan baik. Di dalam pertemuan itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berkata kepada Zaid, “Engkau adalah Zaid al-Khair (Tambahan Kebajikan). Seorang Arab berkata kepadaku bahwa engkau mempunyai keutamaan. Setelah datang sendiri kepadaku, kulihat engkau tidak mempunyai kekurangan selain nama Zaid al-Khail (Kuda Tambahan). Nama ini tidak sesuai dengan keutamaan yang kau miliki.”
Juga ada utusan dari Bani Zabid yang dipimpin oleh ‘Amr bin Ma‘ad Yakrib. Semuanya masuk Islam kemudian pulang ke daerahnya. Tetapi setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam wafat, ‘Amr bin Ma’ad kembali menjadi murtad.
Juga datang utusan dari Yaman. Mereka itulah yang oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dikatakan kepada para sahabat, “Datang kepada kalian penduduk Yaman, orang-orang yang berhati lembut dan berperasaan halus; iman adalah Yaman, dan hikmah adalah Yamaniyyah.” (Penduduk Yaman terkenal dengan kebijaksanaannya—penerj.)
Utusan dari Bani Kindah, Bani Tsaqif, dan lain-lain datang pula kepada Rasulullah saw. di Madinah.
- Di tahun kesembilan hijriyyah ini, terjadi Ghazwah Tabuk, dan merupakan peperangan satu-satunya yang terjadi di tahun itu. Dan hingga saat wafatnya, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak pernah lagi ikut serta dalam peperangan. Allah menyebut tahun itu di dalam Alquran dengan sebutan Sa’ah al-Usrah (masa sulit), karena pada tahun itu terjadi musim kering (gersang); udara amat panas; bahan pangan dan perbekalan serta ternak angkutan sangat minim. Menurut suatu riwayat, setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak lagi disibukkan oleh perjuangan melawan kaum Musyrik Arab, beliau memerintahkan kaum Muslim untuk siap-siap berperang melawan Romawi. Beliau menganjurkan orang-orang yang kehidupannya longgar supaya membantu mereka yang menderita kesukaran hidup. ‘Utsman bin ‘Affan r.a. menyambut anjuran beliau dengan menginfakkan uang 1.000 dinar, 950 ekor unta, dan 50 ekor kuda. Karena besarnya harta kekayaan yang dia infakkan, dia disebut Mujahhiz Jaisy al-‘Usrah (orang yang menyiapkan pasukan di masa sulit).
Atas kedermawanan ‘Utsman, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, limpahkan keridhaan-Mu kepada ‘Utsman, karena aku ridha kepadanya.” Kepada para sahabat beliau berkata, “Utsman tidak akan rugi dengan apa yang dilakukannya saat ini.” Kemudian, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bekerja keras menyiapkan tempat pemusatan pasukan Muslim di Tsaniyyah al- Wada. Mereka berkekuatan 70.000 orang (riwayat yang lain mengatakan 30.000 orang). ‘Abdullah bin Ubay bersama konco-konconya tidak turut serta dalam pasukan Muslim, karena mereka pengecut, munafik dan bermaksud jahat. Mengenai mereka, Allah berfirman dalam Surah al-Bara’ah (Surah at-Taubah), yang oleh Ibn ‘Abbas radhiallahu anhu disebut dengan nama Surah al-Fadhihah. Dia (Ibnu ‘Abbas) mengatakan: “Surah itu menyebut.. .di antara mereka .. .di antara mereka… hingga mereka mengira tak seorang pun dari mereka yang tidak disebut dalam surah itu.” Selain mereka, ada sejumlah orang yang tidak turut bergabung dengan pasukan bukan karena munafik atau ragu, melainkan karena hendak mencari keselamatan dan malas. Kemudian setelah mereka bertobat, Allah berkenan menerima tobatnya. Ada pula sebagian kaum Muslim yang tidak turut bergabung dalam pasukan karena memang benar-benar berhalangan, dan mereka ini dimaafkan Allah, melalui firman-Nya di dalam Alquran:
ليس على الضعفآء ولا على المرضى ولا على الذين لا يجدون وما ينفقون حرج إذا نصحوا لله ورسوله…
[التوبة :91]
Tiada dosa (karena tidak turut perang) mereka yang lemah, sakit dan tidak mempunyai sesuatu yang mereka nafkahkan; bila mereka itu benar-benar setia kepada Allah dan Rasul- Nya. (QS 9:91)
Mengenai mereka, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berkata di Tabuk, “Di Madinah terdapat sejumlah orang yang selalu bersama kami, baik pada saat kami melintas lembah atau pun lereng gunung, namun sekarang mereka berhalangan.”
Rasulullah saw. berangkat meninggalkan Madinah pada hari Kamis. Beliau lebih menyukai berangkat pada hari itu yang jatuh pada akhir bulan Rajab. Semua urusan keluarga yang beliau tinggal di Madinah, dipercayakan kepada ‘Ali bin Abi Thalib r.a. Mengetahui hal itu kaum munafik memperolok-oloknya sebagai orang yang sengaja minta ditinggalkan. Mendengar olokan-olokan itu dia segera menemui Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah Anda membiarkan aku tinggal di tengah perempuan dan anak-anak?” Beliau menjawab, “Apakah engkau tidak ridha mendapat kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun tiada lagi nabi sesudahku.”
Berangkatlah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bersama pasukan Muslim. Ketika dalam perjalanan melewati daerah bekas pemukiman kaum Tsamud, kepada pasukannya beliau memperingatkan, “Janganlah kalian memasuki bekas pemukiman suatu kaum yang telah berbuat zalim pada diri mereka sendiri, agar kalian tidak ditimpa musibah seperti yang dahulu pernah menimpa mereka, sehingga kalian akan menyesal dan hanya bisa menangis.” Kemudian beliau menutup kepalanya dan mempercepat peijalanan hingga tiba di Tabuk. Semua pasukan tinggal di Tabuk kurang lebih sepuluh hari. Karena tidak menjumpai pasukan musuh, beliau pulang kembali ke Madinah, tanpa mengalami bentrokan senjata.
Dalam Ghazwah Tabuk itu Dzul-Bijadain al-Muzni wafat. Mengenai kejadian ini Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu menuturkan: “Saya melihat sendiri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dari liang lahad berkata kepada Abü Bakar (yang bersama Ibnu Mas’ud sedang mengangkat jenazah Dzul-Bijàdain untuk dimasukkan ke dalam lahad), ‘Ulurkan saudara kalian itu kepadaku.’ Beliau lalu berdoa, ‘Ya Allah, aku sungguh ridha kepadanya, maka hendaklah Engkau meridhainya’.” Pada saat itu, Ibn Mas’ud berucap, “Alangkah bahagia bila aku yang menjadi penghuni lahad itu.”
Peristiwa lain yang teijadi pada waktu Ghazwah Tabük ialah wafatnya Mu‘awiyah bin Mu‘awiyah di Madinah. Rasulullah saw. menshalati jenazahnya dari Tabük. Saat itu turun malaikat Jibril alaihissalam bersama 70.000 malaikat lainnya. Malaikat jibril meletakkan sayap kanannya di atas gunung- gunung sekitar kawasan hingga semuanya menjadi datar dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dapat melihat Makkah dan Madinah dengan jelas dari Tabük. Beliau kemudian melakukan shalat jenazah bersama Jibril dan para malaikat yang hadir. Usai shalat beliau bertanya kepada Jibril, “Hai Jibril, apa sebab Mu’awiyah sampai mendapat kedudukan setinggi itu?” Jibril menjawab, “Karena dia selalu membaca QulHuwallahu ahad, baik pada saat berdiri, rukuk, duduk di atas tunggangan maupun sedang berjalan kaki.” Demikian menurut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn as-Sani dan al-Baihaqï.
- Pada tahun itu sekelompok orang dengan sengaja membangun sebuah masjid untuk menggangu atau menyaingi Masjid Quba’. Mereka yang membangun masjid itu menemui Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam saat beliau sedang dalam perjalanan pulang dari Tabuk. Mereka minta agar beliau singgah di masjid mereka. Turunlah firman Allah:
وَالّّذِيْنَ اتّخَذُوْا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيْقاً بَيْنَ المُؤْمِنِيِْنَ وَإرْصَاداً لِمَنْ حَارَبَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ… [ التوبة : 107]
Dan (di antara kaum Munafik) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (gangguan) untuk membangkitkan kekufuran, untuk memecah-belah kaum beriman dan untuk menampung kedatangan orang-orang yang sejak dahulu memerangi Allah dan Rasul-Nya… (QS 9:107)
Dengan turunnya firman Allah tersebut beliau segera memanggil beberapa sahabat dan memerintahkan mereka, “Berangkatlah ke masjid yang didirikan orang-orang zalim itu! Hancurkan dan bakarlah!”
- Ada tiga orang yang dengan sengaja dan tanpa halangan tidak mau bergabung dengan pasukan Muslim yang berangkat ke Tabuk. Mereka adalah Ka‘ab bin Malik, Hilal bin ‘Umayyah, dan Mararah bin ar-Rabi’. Mengenai sikap itu Allah berfirman :
وعلى الثلثة الذين خلِّفوا حتى إذا ضاقت عليهم الأرض بما رحبت وضاقت عليهم أنفسهم وظنوآ أن لّا ملجَاَ من الله إلّآ إليه ثم تاب عليهم ليتوبوا إنّ الله هو التواب الرحيم [ التوبة : 118]
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan . tobatnya) hingga bumi yang luas ini mereka rasakan sempit, dan sampai mereka menyadari tak ada tempat untuk berlindung dari siksaan Allah selain berlindung kepada-Nya. Allah kemudian menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sungguh Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS 9:118)
- Pada tahun itu pula, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menjauhi para istrinya. Mengenai hal itu Allah menurunkan ayat takhyir (ayat yang mempersilakan para istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memilih):
يآَيها النبي قل لأزواجك إن كنتن تردن الحيوة الدّنيا وزينتها فتعالين أمتعكن وأسرحكن سراحا جميلا .وإن كنتن تردن الله ورسوله والدار الآخرة َ فإنّ الله أعد للمحسنات منكن أجرا عظيما [الاحزاب : 28ـ29]
‘
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, marilah kuberikan mut’ah[2] dan kalian kuceraikan secara baik-baik. Namun, jika kalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasid- Nya serta (kebahagiaan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala besar bagi siapa saja di antara kalian yang berbuat baik. ” (QS 33:28-29)
- Di tahun itu pula turun ayat tahrim (ayat tentang pengharaman sesuatu), yaitu :
يآيّها النبي لم تحرم مآ احلّ الله لك تبتغي مرضات أزواجك والله غفورٌرحيمٌ
[التحريم :1]
Hai Nabi, mengapa engkau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah bagimu (hanya karena) engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu… (QS 66:1)
Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bagi diri beliau sendiri. Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa beliau mengharamkan madu untuk dirinya. Sementara ulama yang lain mengatakan bukan madu.
- Di tahun itu pula, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallammemutuskan kasus dua orang bersaudara dari Bani ‘Ajian yang saling mengutuk (melaknat). Karena peristiwa itu, berlakulah ketetapan hukum syariat tentang li’an, yaitu suatu pernyataan yang diucapkan sebagai hujjah bagi pihak yang menuduh orang lain telah berbuat mencemarkan kehormatan istrinya sehingga dia (suaminya) sangat dipermalukan.
Ketentuan hukum syariat seperti itu dinamai “hukum li’an,” karena bunyi kalimat yang diucapkan dalam pernyataan itu adalah, “Laknat Allah atas dirinya jika dia berdusta.” Mengenai kisah turunnya ayat li’an di dalam Alquran, para ulama tafsir sependapat bahwa penerapan hukum li’an di masa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam hanya satu kali, yaitu antara Hilal bin Umayyah dan ‘Uwaimir al-‘Ajlani.
- Terjadi pula di tahun itu peristiwa antara seorang perempuan bernama al-Ghamidiyyah dan seorang lelaki bernama Ma‘iz bin Malik. Dua orang itu datang menghadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan mengaku telah berbuat zina. Beliau menjatuhkan hukuman (hadd) atas keduanya. Mengenai al-Ghamidiyyah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berkata, “Dia telah bertobat dengan tobat yang jika dibagi di antara 70 orang penduduk Madinah, niscaya akan meliputi mereka semua. Apakah ada tobat yang lebih tinggi nilainya (lebih afdhal) dibanding tobat kepada Allah yang diusahakan sendiri oleh yang bersangkutan?”
- Pada tahun ini pula, Ummu Kaltsum binti Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam wafat. Dia adalah istri kedua ‘Utsman bin Affan radhiallahu anhu.
- Juga di tahun ini, An-Najasyi (nama aslinya: Ashhamah, yang berarti pemberian) meninggal dunia. Mengenai wafatnya itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berkata kepada para sahabat, “Hari ini orang salih dari Habasyah meninggal dunia.”
- Abdullah bin Ubay bin Salul, gembong kaum Munafik, juga meninggal dunia di tahun ini Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menshalatinya, kemudian turun firman Allah berupa teguran:
وَلا تُصَلِّ عَلىَ أحَدٍ مِّنْهُمْ مَّاتَ أبَدًا… [التوبة : 84]
Dan janganlah sekali-kali engkau menyembahyangkan (jenazah) seorang pun dari mereka (kaum Munafik)… (QS 9:84)
Demikian menurut sebagian besar riwayat.
- Di tahun ini pula, ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi wafat. Ia dibunuh oleh kaumnya sendiri saat mengajak mereka memeluk Islam. Dia dianggap sebagai pembawa bencana bagi masyarakat Arab.
- Juga wafat ditahun ini Suhail bin Baidha’al-Fihri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menshalati jenazahnya di Madinah.
- Maharaja Persia mati terbunuh juga di tahun ini. Kedudukannya digantikan oleh putrinya, Bauran. Mengenai penobatannya sebagai ratu, beliau berkata kepada para sahabat, “Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.”
- Pada tahun ini Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu anhu ditugasi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallamuntuk memimpin jamaah menunaikan ibadah haji. Namun kemudian Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu menyusul dengan unta tunggangan Rasulullah yang bernama ‘Udhba’. Dia ditugasi memimpin pembatalan perjanjian dengan kaum Musyrik Quraisy, dan membacakan ayat-ayat permulaan Surah at-Taubah kepada kaum Muslim. Pada yaum an-nahr (hari penyembelihan hewan kurban) diumumkan: sesudah tahun itu tak dibolehkan lagi seorang Musyrik menunaikan ibadah haji, dan tidak dibolehkan lagi ada orang berthawaf tanpa busana (telanjang). Para ulama berkata, “Diutusnya ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berangkat menyusul Abu Bakar radhiallahu anhu karena menurut etika masyarakat Arab, yang berwenang mengadakan perjanjian dan membatalkan hanyalah pemimpin mereka atau orang dari kabilah (rahth) mereka. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mengutus ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu untuk menghilangkan salah pengertian, agar tidak ada orang yang berkata: Kami tidak mengenal dia dan tidak menganggapnya berwenang (untuk mengadakan atau membatalkan perjanjian).”
[1] Mubahalah: pihak-pihak yang berbeda pendapat mohon bersama- sama kepada Allah agar menimpahkan laknat kepada pihak yang berdusta.
[2] Pemberian suami kepada istrinya yang dicerai, menurut kemampuannya.