Poligami yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam tidak lepas dari prinsip-prinsip moral dan akhlak mulia. Beliau tidak menjadikan poligami sebagai suatu kebajikan yang dituntut dari setiap Muslim, dan tidak pula memandangnya sebagai suatu perbuatan mubah yang boleh dilakukan begitu saja. Beliau memandangnya sebagai pemecahan terbaik yang perlu ditempuh untuk mengatasi kesukaran yang dihadapi oleh masyarakat dalam situasi tertentu. Misalnya apabila umat sedang menghadapi peperangan yang mengakibatkan sangat berkurangnya jumlah kaum pria dan banyak wanita menjadi janda. Dalam situasi seperti itu mengingkari poligami sebagai cara darurat terbaik untuk mengatasi kesukaran sosial sama artinya dengan menutup mata dari kenyataan konkret.
Tidak dapat disangkal bahwa pernikahan Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam dengan sejumlah wanita—sepeninggal istri pertama yang mendampingi hidup beliau selama seperempat abad—memang merupakan pemecahan darurat terbaik, khususnya bagi para wanita yang menjadi istri beliau itu sendiri…. Lebih baik daripada mereka itu hidup sebagai janda, tidak mempunyai tempat bernaung yang menjamin penghidupannya, keselamatannya, dan kehormatannya. Lebih celaka lagi kalau karena desakan keadaan mereka lalu terjerumus ke dalam kesesatan dan kekufuran. Pernikahan mereka dengan Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam tidak hanya baik bagi mereka sendiri saja, tetapi baik pula bagi sanak-famili dan kaum kerabat mereka serta puak-puak dan kabilah-kabilah mereka. Semuanya akan berada di dalam lingkaran silaturahmi dengan beliau dan mendapat keberuntungan beroleh petunjuk serta tuntunan hidayat. Dampak positif dari poligami seperti itu tidak mungkin dapat diingkari oleh setiap orang yang bertanggung jawab atas kemaslahatan umatnya, dan setiap pemimpin harus mengenal baik keadaan masyarakatnya.
Pemikiran modern pun mengakui, bahwa kesukaran masyarakat seperti yang kami utarakan di atas memang perlu ditanggulangi. Akan tetapi cara penanggulangan yang ditempuh—menurut pemikiran itu— ialah menghalalkan perzinaan. Kesulitan perkawinan ditanggulangi dengan cara di luar kerangka perkawinan, yakni di luar kerangka rumah tangga dan keluarga. Seumpama pemikiran modern dapat menemukan pemecahan yang lebih baik daripada cara tersebut di atas barulah ia pantas mengingkari poligami sebagai pemecahan darurat yang terbaik.
Tidak diragukan lagi, bahwa seorang istri yang mandul atau yang menderita penyakit menahun tentu lebih baik menerima dimadu dengan istri yang lain daripada kalau ia dicerai dan terlempar di tengah masyarakat menghadapi kehidupan yang berat dan keras, tanpa anak, tanpa suami tempat bernaung untuk memelihara kesehatan dan menjaga kehormatannya. Bagi suaminya pun poligami lebih baik, karena bagaimanapun ia adalah makhluk hidup yang bernaluri ingin mempunyai keturunan penyambung hidupnya. Justru itulah yang merupakan tujuan penting dari setiap perkawinan. Tanpa tujuan itu setiap perkawinan tentu akan berantakan dan kehidupan masyarakat akan menjadi kacau-balau.
Yang sudah pasti ialah, seorang istri yang mandul atau yang menderita penyakit menahun lebih terhormat dimadu oleh suaminya dengan istri lain yang sah daripada disejajarkan dengan sejumlah gundik atau perempuan-perempuan piaraan.
***
Tidak diragukan lagi bahwa mempermudah perkawinan di dalam masyarakat yang sedang menghadapi akibat-akibat peperangan adalah yang paling baik dan paling manusiawi daripada pemecahan lainnya yang tidak menguntungkan generasi keturunan masyarakat itu sendiri bahkan merusak moral dan akhlak. Hubungan intim antara pria dan wanita tanpa perkawinan yang sah tidak akan mengangkat kedudukan wanita sebagai istri seorang pria, tetapi bahkan memerosotkan-nya ke bawah martabat manusia, karena ia akan menjadi “boneka permainan” di tangan sejumlah kaum pria.
Mempermudah perkawinan di saat-saat yang sukar seperti di atas adalah dibolehkan, bahkan lebih dari hanya sekadar dibolehkan. Karena tidak ada jalan lain yang lebih baik dan lebih terhormat daripada itu. Orang yang memecahkan kesukaran dengan cara-cara yang tepat, baik dan terhormat tidak patut disesali. Yang harus disesali adalah orang yang menutup mata dari kehidupan nyata yang sedang dihadapi oleh masyarakatnya. Memang mudah sekali bagi seseorang yang hendak memperbaiki kehidupan masyarakat dengan khayalan yang serba indah dan memuaskan. Akan tetapi tidak mudah bagi orang yang hendak mewujudkan kehidupan masyarakat yang baik sebagaimana yang didambakan oleh semua orang. Dalam hal itu Muhammad Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam adalah orang pertama yang mengenal baik salah satu kesukaran masyarakatnya dan sanggup menanggulanginya dengan pemecahan yang tepat dan terhormat. Pemecahan yang ditunjukkan Allah SWT dengan firman-Nya:
Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka hendaklah kalian nikah dengan wanita yang kalian sukai, dua, tiga atau empat orang. Namun apabila kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil (terhadap mereka semua) maka hendaklah kalian nikah dengan seorang wanita saja, atau (cukuplah) dengan hamba sahaya yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih menjauhkan kalian dari perbuatan aniaya (terhadap kaum wanita). (QS An-Nisa’: 3).
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini