Inilah nasabku yang bersambung kepada al-lmam Idris. Aku menyampaikannya bukan karena menginginkan kedudukan atau lainnya. Tetapi aku menyebutkannya karena mengharapkan ridha Allah, dan agar tidak ada seseorang yang menasabkan dirinya kepada nasab kami karena kebodohannya. Kami tak boleh merahasiakan nasab ini tanpa sebab-sebab yang menjadikan halangan bagi seseorang untuk boleh merahasiakan nasabnya. Manusia lebih mengetahui dirinya. Aku mendengar ucapan mereka yang memiliki perhatian terhadap nasab mengenai sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam,”Allah melaknat seseorang yang masuk kedalam (mata rantai keluarga) kami tanpa nasab yang benar,dan yang keluar tanpa sebab”.Hadits ini masyhur. Manusia akan membenarkan nasabnya kecuali jika terdapat dengan jelas hal-hal yang membatalkannya. Allah telah mengharamkan bagi keturunan nabi untuk menerima zakat, orang-orang yang berkecimpung dalam masalah ini di setiap zaman harus memperhatikan secara khusus dan terperinci nasab kalangan para imam. Yaitu yang tampak pada diri mereka keberkahan doa Nabi bagi keturunan al-Batul yang suci (Fathimah binti Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam) dan Ali al-Murtadha, yaitu dari keturunan dua cucu Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, al-Hasan dan al-Husain. Jumlah anggota kabilah mereka yang menyusut karena umur yang terus berjalan menjadi melimpah. Keluarga mereka selamat dari kesesatan yang terus menghampiri dan selalu berkelanjutan dari para pendahulu yang saleh menuju kepada generasi berikutnya. Janganlah takut bahwa para keturunan Nabi berdusta atas nasabnya. Sebab sesungguhnya sesuatu yang nyata terlihat dari wajah mereka dan dari hembusan aromanya yang semerbak. Bagaimanakah orang yang mencium aroma kasturi akan mendustakan keberadaan kasturi itu? Selain itu, tersebarnya pengetahuan tentang nasab yang terjaga ini lebih menguatkannya, dan siapa pun yang menasabkan dirinya kepada selain ayahnya maka ia terlaknat. Dalam shahih al-Bukhari, Ibn Abbas ra mengatakan bahwa, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Barangsiapa menasabkan dirinya kepada selain ayahnya, maka atasnya laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia.” Hadits yang menjelaskan ancaman tentang masalah ini sangat banyak. Sedangkan penolakan terhadap hal ini – yang merupakan kebatilan- tidak akan diterima oleh hati yang bercahaya. Diriwayatkan oleh Abu Mush’ab dari Malik rhm, “Barang siapa berdusta dengan menasabkan dirinya kepada Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, maka ia harus dihukum cambuk yang keras, dan diumumkan serta dipenjara dalam waktu lama hingga ia bertaubat. Hal itu karena ia telah meremehkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam.”
Aku telah menyebutkan di atas ucapan asy-Syaikh Ahmad Zarruq, yaitu “Manusia akan membenarkan nasabnya kecuali jika terdapat hal-hal yang membatalkannya.”Aku sebutkan makna ucapan beliau sebagai pembenaran ucapan Ahmad Zarruq rhm. Sesungguhnya manusia akan selalu menanyakan nasab mereka. Misalnya mereka akan bertanya,”Kamu dari kabilah apa?” Umpamanya dijawab, “Dari kabilah Quraisy.” Maka akan ditanyakan lagi, “Dari Quraisy yang mana?” Dijawab, “Dari keluarga Abdu Manaf.” “Dari Abdu Manaf yang mana?”
“Dari Banu Hasyim.”
“Dari keluarga Ali bin Abu Thalib yang mana?”
“Hasaniy (keturunan Hasan)”
“Dari keturunan Hasan yang mana?*
“Dari keluarga Abdullah al-Kamil.”
“Dari keluarga Abdullah al-Kamil yang mana?”
‘Dari keturunan Idris.”
“Dari keturunan Idris yang mana?”
“Dari anak-anak Abu al-Wakil.”
“Dari anak Abu al-Wakil yang mana?”
“Dari penduduk Anqad.
Anqad adalah suatu tempat yang berada di antara kota Fas dan Talmasan. Talmasan di sebelah timur Anqad dan Fas di sebelah baratnya. Jika ditanya, “Di bagian mana engkau tinggal di Anqad?” Dijawab, “Dari tempat yang bernama al-Faidhah” yaitu suatu tempat pertanian yang memiliki lembah bernama Mathruh. Lembah itu adalah tempat terbaik di kota al-Faidhah. Begitu pula nasab para kabilah arab. Jika ditanya, “Dari kabilah manakah engkau?” Dijawab, “Dari kabilah qahthan.”
‘Qahthan yang mana?’
‘Dari Kahlan.”
“Kahlan yang mana?*
“Dari Madzhij atau Kandah, atau Hamdan.*
Begitulah manusia bersama kebenaran orang yang memberi kabar ia mendapatkan sesuatu yang menjadikannya yakin. Seperti yang disebutkan oleh al-Khazrajiy’ dalam jilid pertama dari buku tarikhnya”, bahwa ar-Rawiy mengatakan, pernah Abdullah bin Abu Thawus bertanya kepada Abu Hanifah Kaisan, atau dalam riwayat yang lain bertanya kepada Dzakwan, ‘Dari kabilah manakah engkau? Aku dengar engkau dari kabilah Hamdan.” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi aku dari kabilah Khaulan. Begitu pula an-Nawawi menyebutkan dalam kitabnya yang berjudul Tahdzib al-Asma wa al-Lughat tentang biografi Abu Hanifah, yang mata rantai sanadnya yang berasal dari Umar bin Hammad bin Abu Hanifah, dan seterusnya. Beliau menyebutkan nasabnya hingga menyebutkan sanad Ismail bin Hammad bin Abu Hanifah, ia mengatakan bahwa ia mendengar dari Ismail bin Hammad bin an-Nu’man yaitu Abu Hanifah bin Tsabit bin an-Nu’man bin al-Marzaban termasuk keturunan Persia. la mengatakan, “Demi Allah, tak ada dari garis keturunan kami yang menjadi budak. Kakekku lahir pada tahun 80, lalu Tsabit membawanya kepada Ali bin Abu Thalib ra saat dia masih kecil. Kemudian Beliau ra mendoakan baginya dan keturunannya agar mendapat keberkahan. Dan kami memohon kepada Allah agar doa itu terkabul dari Ali bin Abu Thalib.’
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim