Manusia jika ditanya tentang nasabnya, dan ia mengetahuinya, maka tidak boleh ia menyembunyikannya. Dia harus memberitahukan yang sebenarnya kecuali jika terdapat alasan yang membuatnya khawatir atas diri atau hartanya. Tentang hal, ini Ibn al-Atsir juga menyebutkan dalam kitabnya an-Nihayah pada bab Harfu al-Kaf wa al-Waw, setelah ia membahas tentang Ali bin Abu Thalib ra, beliau mengalakan bahwa seseorang bertanya, “Wahai Amir al Mukminin, beritahukanIah kepadaku tentang asal-usulmu pada kabilah Quraisy.” Beliau menjawab, “Kami dari Kautsa.” Ibn al-Atsir menjelaskan bahwa yang dimaksud beliau adalah Kautsa al-‘lraq yaitu Surrah as-Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salamad, yang merupakan tempat dilahirkan Ibrahim as. Pada riwayat yang lain beliau berkata, “Barang siapa bertanya tentang nasab kami, maka sesungguhnya kami adalah kaum dari Kautsa” Ibn al-Atsir menyebutkan bahwa ucapan beliau itu sudah pasti tanpa maksud membanggakan diri terhadap nasab, namun penuh dengan pendalaman atas firman Allah, “Sesungguhnya yang termulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa,” (Qs. al-Hujurat: 13). Ibn al-Atsir mengatakan, bahwa ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kautsa adalah Makkah yang merupakan tempat Abduddar (anak Qushay). Beliau mengatakan bahwa pendapat yang pertama lebih dikuatkan dan dipertegas oleh Hadits Ibn Abbas, “Kami kabilah Quraisy, berasal dari kabilah an-Nabthi yaitu dari Kautsa. Dan an-Nabthu adalah penduduk Irak.” Seperti yang disebutkan al-Amiriy dalam kitab al-Bahjah, “Saat pulangnya tamu dari kerajaan Kindah, yang dipimpin oleh al Asy’ats bin Qais, maka ia (al-Asy ats) berkata. ‘Wahai Rasulullah, kami adalah kabilah Akulul Marar, dan engkau anak kabilah Akalu Marar.’ Maka tertawalah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan bersabda, ‘Rabi’ah bin al-Harits dan al-Abbas bin Abdul Mutthalib yang telah menasabkan dengan nasab ini’. Dulu mereka berdua adalah dua pedagang, dan saat mereka berpergian di tanah arab, lalu ada yang menanyakan tentang mereka berdua, maka mereka akan menjawab: Kami dari kabilah Akulul Marar. Mereka menjawab seperti itu bertujuan agar mereka dihormati di antara orang arab. Sebab Akulul Marar dari Kabilah Kindah. Dulu mereka adalah para raja.’ Lalu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda kepada mereka, ‘Janganlah kalian berkata seperti itu, tapi sebutlah kami dari kabilah an-Nadhar bin Kinanah. Kami tidak melepaskan nasab ayah-ayah kami dan menasabkan diri kepada ibu-ibu kami.
Sebab itulah, jika kami ditanya tentang nasab kami, maka kami akan menjawabnya. Mereka bisa mendapatkan nasab kami pada buku-buku yang menjelaskan nasab dan kitab-kitab yang ditulis untuk menjaga nasab para asyraf (keturunan Nabi).
Begitu pula kitab-kitab tarikh yang disusun untuk menjaga nasab para kabilah, khususnya Adnan dan Qahthan. Sebab keduanya adalah kabilah yang menjadi pokok bagi manusia untuk berpegang pada nasab. Tidakkah kau melihat ucapan al-Amiriy pada kitab ar-Riyadh al-Mustathabah pada bab huruf shad tentang biografi Shuhaib ar-Rumiy?
Shuhaib bin Sanan bin Malik bin an-Namr bin Qasith berkata, “Ambillah riwayat ini dari Rabi’ah bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.” Lalu beliau memberitakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kabarnya, hingga menceritakan bahwa Umar bin Khattab ra berkata kepadanya, “Kau adalah lelaki, yang di dirimu terdapat 3 hal.” la bertanya, “Apakah 3 hal itu?” Beliau menjawab, “Kau memiliki kun-yah (gelar dengan nama abu … atau ummi… yang disambung dengan nama anak), padahal kau tak memiliki anak. Kau mengembalikan nasab kepada arab, padahal kau berasal dari Romawi dan kau bisa berbicara bahasa Romawi. Dan kau memiliki makanan yang berlebih-lebihan.” Maka ia menjawabnya, “Mengenai kun-yah itu, maka Rasulullah-lah yang menggelari aku seperti itu, yaitu Abu Yahya. Sedangkan mengenai nasab, sesungguhnya aku bernasab kepada an-Namr bin Qasith, namun Romawi menawan aku saat di Mushil, di waktu aku kecil. Tetapi aku telah mengetahui nasabku. Sedangkan mengenai makanan yang berlebihan, maka aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, ‘Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang memberi makanan'” Dulu, Umar ra selalu berprasangka baik kepadanya, sehingga saat beliau mendekati ajalnya, beliau ra mewasiatkan kepada Shuhaib (Abu Yahya) agar nanti dialah yang menjadi imam shalat jenazah. Lalu Shuhaib menjadi imam saat menyalatkan jenazah Umar ra.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim