Dalam perjalananku menuju ke kota Marakisy ini, aku mendapati para ulama, orang-orang faqir, para wali, dan para huffaz aI-Quran. Agama Islam adalah agama yang kuat, tak ada satu daerah pun di tempat ini kecuali terdapat faqir, ahli fiqh, huffaz al-Quran, orang-orang saleh yang beramal, dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Segala puji bagi Allah atas luasnya agama Islam, Orang-orang faqir yang terbanyak di zaman ini terdapat di kota Maroko yang meyakini thahqah asy-Syadziliyyah. Begitulah aku berjalan menuju Marakisy bersama kafilah menuju ke lembah Darra. Aku berjalan bersama mereka menempuh sepuluh marhalah (± 410 Km). Lalu sampailah aku di lembah Darra yang di dalamnya terdapat banyak desa. Di daerah itu terdapat banyak kurma. Lembah itu besar sekali, dan di sana terdapat sungai yang keluar dari gunung dan mengalirdi antara gunung. Di tempat itu juga terdapat banyak pohon kurma dan ladang. Aku banyak memunguti kurma di jalan-jalan. Maka aku berkata kepada mereka, “Kalian memiliki kekurangan di hadapan Allah. Banyak yang tercecer dari kurma ini sedangkan di luar sana banyak orang yang membutuhkannya. Atau kalian dapat memberikannya kepada orang-orang pedalaman.” Aku mengingatkan sekelompok orang dan mereka. Namun mereka menjelaskan kepadaku bahwa orang-orang pedalaman tidak ada yang tertarik kepada kurma itu.
Saat nanti aku bertemu dengan asy-Syaikh Muhammad al-Bakriy (cerita tentang beliau akan disampaikan nanti), sesampainya aku sampai di Mesir, beliau bertanya kepada orang-orang Maroko tentang sungai yang mengalir di lembah Darra. “Apakah ada di antara kalian yang mencapai lembah Darra?” la mengulang pertanyaannya hingga tiga kali, namun tak ada satu orang Maroko pun yang menjawab. Maka aku pun berkata, “Wahai tuanku, aku di bulan seperti ini, yaitu di bulan Rabi’ ats-Tsani, pernah masuk ke lembah itu untuk mengunjungi para wali yang terdapat di daerah itu dan di daerah lain sesudah lembah itu.’ Asy-Syaikh Muhammad bertanya, “Bagaimana keluarnya sungai itu?” Kujawab, “Sungai itu keluar dari atas gunung. Seakan-akan seperti hujan yang mengalir di antara dua gunung. Di sebelah kanan dan kiri lembah itu terdapat banyak desa yang ditumbuhi banyak pohon kurma dan sawah “Lalu asy-Syaikh itu terdiam sejenak, seakan-akan ruhnya naik ke atas. Mereka yang hadir di tempat itu juga terdiam. Lalu seakan-akan dia seperti orang yang tersadar dan berkata, “Baru saja aku mencapai tempat itu dan melihatnya seperti yang kau ucapkan.” Semua itu termasuk karamah yang kudapati.
Di daerah ini (Darra), terdapat banyak ulama dan para wali yang masih hidup maupun telah wafat, serta masjid-masjid untuk shalat jum’at. Aku mengerjakan shalat jum’at bersama mereka. Cara khutbah mereka sama dengan kami dan dengan cara mendoakan para sahabat seperti di tempat kami. Di ujung desa ini terdapat makam Abu lshaq al-Habsyi. Dikatakan bahwa beliau adalah sahabat Nabi. Aku menziarahinya dan duduk di hadapan makam beliau. Tak lama, datanglah orang-orang pedalaman yang berjalan ingin menziarahi asy-Syaikh Ahmad bin Umar al-‘Arusiy yang disebut di atas. Maka aku pun mengikuti mereka, sedangkan mereka tidak suka aku ikut dalam rombongan mereka karena takut aku tak tahan haus karena perjalanan itu menempuh tanah kosong yang luas. Maka kami berkumpul bersama sekelompok faqir yang berada di bagian lembah yang terendah. Pada tempat mereka ini yang ada hanyalah tanah kosong tanpa air dan bangunan. Ketika malam tiba, orang-orang pedalaman itu bangun ingin melanjutkan perjalanan. Mereka berkata kepada orang-orang faqir yang berada di daerah itu, “Tahanlah dia (Yusuf bin Abid), jika dia mengikuti kami, maka ia akan mati kehausan, la tak pernah berjalan di padang luas ini.” Akhirnya mereka pergi meninggalkan aku di tempat itu. Ketika dekat munculnya fajar, aku terbangun dan orang-orang faqir itu memerintahkanku untuk menyusul mereka.
“Ikutilah mereka, kau masih bisa menyusul mereka.” Mereka mengucapkan hal itu kepadaku karena melihat kemauanku yang besar untuk menziarahi asy-Syaikh Ahmad bin Umar. Sepertinya mereka memiliki keyakinan terhadapku dan memberiku cawan yang dapat menyimpan air. Mereka berkata, “Ini adalah air berkah dari asy-Syaikh saat aku pergi menziarahinya.” Beliau berada di negeri at-Tal.
Begitulah, aku mengikuti jejak orang-orang pedalaman itu hingga aku mendapati mereka di bawah sebuah pohon di tanah kosong yang luas itu. Sedangkan aku saat itu memiliki air. Melihat aku, mereka berkata, “Hai faqir, kami tak membenci kamu, tetapi kami takut terjadi sesuatu padamu.” Aku jawab, “Kalian jangan mengkhawatirkan aku, sebab aku memiliki niat baik terhadap asy-Syaikh yang akan kita ziarahi ini” Akhirnya pergilah aku bersama mereka menempuh perjalanan kurang lebih tiga marahalah (± 124 Km). Aku menempuh perjalanan itu dengan berjalan kaki. Bekalku kosong, dan airku habis. Kami tidak makan kecuali hanya hewan pengerat yang bernama gerbil (seperti marmut), dan biawak padang pasir dan binatang lain sejenis biawak. Tetapi aku tidak memakannya, merekalah yang memakan, dan berkata kepadaku, “Ulama kita, yaitu ulama maliki, menghalalkan biawak jenis ini.” Aku berkata kepada mereka, “Biawak jenis ini tidak ada di negeriku. Begitu pula biawak padang pasir ini. Tetapi tentang biawak padang pasir ini para ulama kami di kota Fas mengatakan bahwa biawak padang pasir di makan di masa Nabi Saw dan beliau tidak melarangnya”.” Aku merasa cukup dengan memakan gerbil itu. Namun jika aku merasa masih memerlukan tambahan, aku makan sedikit dari biawak padang pasir untuk menghilangkan rasa laparku. Sedangkan biawak dari jenis lain itu, aku tak menyentuhnya walaupun aku akan mati kelaparan. Sebab itu mereka memasakkan aku khusus dengan daging gerbil itu. Sedangkan mereka memakan biawak padang pasir dan yang dari jenis lain.
” Nabi bersabda tentang biawak pada pasir, “Aku tak memakannya, namun aku tak mengharamkannya.’HR Bukhari
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim