Perjalanan itu membuat kami menjadi lelah luar biasa, hingga orang-orang pedalaman yang tadinya hendak mencegahku, justru memanfaatkanku untuk membawa pakaian dan pedang mereka sebab mereka sendiri kepayahan yang diakibatkan dari haus dan lapar. Sedangkan aku telah terbiasa menahan rasa lapar dan haus dalam disiplin latihan perjalanan spiritualku yang aku dapatkan dari para guruku. Sebenarnya orang-orang pedalaman itu hanya kumanfaatkan karena mereka mengetahui jalan. Ketika kita mendekat tempat yang di sana terdapat air, salah satu dari mereka berkata kepadaku, “Hai faqir, di daerah itu terdapat air, dan engkau adalah faqir, tak ada yang akan menanyai atau mencurigaimu. Sedangkan kami tidak diterima oleh semua kabilah.” Maka aku pergi menuju daerah itu, dan mereka mengikutiku dari belakang. Ketika aku sampai di tempat air, aku berkeliling mencari seseorang di sana namun tak kudapati. Maka aku mengambil banyak air dan kuberikan kepada mereka. Lalu aku sendiri mengambil air yang cukup untuk bekalku dan aku berjalan sendiri tanpa orang-orang pedalaman itu.
Aku berjalan sendiri dan menemui orang pedalam lain yang mengenal asy-Syaikh Ahmad bin Umar walaupun mereka bukan orang-orang yang hadir di majelis beliau. Lalu mereka memerintahkan salah satu di antara mereka untuk mengantarkan aku hingga sampai ke tempat asy-Syaikh. Mereka baru mengenalku, namun karena prasangka baik mereka kepadaku, salah seorang dari mereka mengantarkan aku sampai di tempat asy-Syaikh. Aku sampai di rumah beliau di penghujung siang. Beliau sangat bahagia dengan kedatanganku. Aku ingin mengecup kedua kakinya namun beliau menolaknya. Lalu berkata, “Bagaimana aku biarkan kakiku dikecup oleh orang sepertimu, padahal tak ada kaki yang mendatangiku.” Ucapan beliau ini menunjukkan kerendahhatiannya dan meletakkan manusia sesuai dengan porsinya. Setiap pertemuan dengan para syaikh terdapat etika yang sesuai dengan keadaan dan kedudukan mereka. Nabi Saw bersabda, “Letakkanlah manusia sesuai dengan kedudukannya.” Aku tinggal di rumah beliau sekitar lima belas hari dalam keadaan yang indah dan hati yang jernih. Pada saat itu, antara aku dan beliau terdapat munazalat dan penyingkapan-penyingkapan spiritual. Saat aku akan pergi meninggalkannya bersama para tamu, beliau berkata kepadaku, “Bukalah mulutmu.” Maka aku membuka mulutku, dan beliau membaca ayat,
“Kutiupkan ruh (ciptaan)-Ku ke dalamnya” (Qs. Al-Hijr []: ayat 29)
Lalu beliau meniup ke mulutku tiga kali, dan berkata kepadaku,”Jangan kau buka mulutmu sampai di tempat fulan (tempat yang ditentukan beliau).” Kemudian ia mendoakan keberkahan bagiku. Inilah akhir perjalananku ke negeri Sus jauh.
Kemudian aku berjalan menuju ke arah laut dan gunung Sus kujadikan di sisi kananku, sedangkan padang yang luas kujadikan di sisi kiriku. Aku berjalan menuju samudera. Semua itu karena aku ingin mengunjungi guru syaik-ku yang bernama asy-Syaikh Ahmad as-Sayyah. Di daerah itu banyak sekali bangunan-bangunan, ulama dan para wali. Mereka saling mengkaji tasawwuf. Hanya saja mereka tidak memahami bahasa arab. Jika seorang arab hendak meminta hajat seperti makan, minum, roti, maka mereka tak akan memahaminya dan harus diterjemahkan ke dalam bahasa mereka. Perjalananku berlanjut menuju ke bagian barat kota itu hingga aku sampai di kota asy-Syaikh Ahmad bin Musa as-Sayyah. Aku menimba ilmu dari guruku asy-Syaikh Ahmad bin Musa as-Sayyah di kota Fas, dan beliau berlajar dari asy-Syaikh Said bin Abubakar yang belajar dari asy-Syaikh Ahmad bin Musa yang tersebut di atas. Sedangkan asy-Syaikh Ahmad bin musa menimba ilmu dari Khidhir as. Begitulah yang diberitahukan kepadaku dari guruku Ahmad as-Sayyah. Aku tinggal di sana beberapa hari. Para faqir di sana menjaga perasaanku. Aku lupa apakah asy-Syaikh itu memiliki keturunan atau tidak.
Lalu aku menuju ke arah laut. Di pesisir laut ter dapat bangunan-bangunan. Dan di dalam bangunan itu terdapat orang-orang yang baik yang mencintai para faqir, khususnya yang mengikuti thanqah asy-Syadziliyah dan thariqah asy-Syaikh Ahmad bin Musa. Sebab mereka bermanfaat untuk manusia.
Lalu aku datang ke kota Masah. Ada beberapa beberapa tempat di sana. Salah satunya yang terdapat gua di pinggir laut yang ditumbuhi oleh yaqthin (pohon dari jenis labu) yang berasal dari pohon yang ditumbuhkan Allah bagi Nabi Yunus bin Matta saat dikeluarkan dari mulut ikan. Air laut yang bergelombang menuju ke gua itu, hingga ketika ombak itu kembali ke lautan dari dalam gua, maka terciumlah aroma yaqthin.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim