Kemudian aku melanjutkan perjalanan menuju ke lembah Tarudanat yang merupakan salah satu lembah di kota Sus. Kota ini juga berdekatan dengan lautan dan banyak terdapat benteng orang-orang Islam di pesisir lautnya. Aku masuk ke benteng itu dan bertemu dengan tentara yang ada di dalamnya. Di sana kulihat alat-alat untuk berperang yang diarahkan ke laut jika ada musuh yang datang. Aku melakukan shalat dua rakaat di puncak benteng itu serta berdoa kepada Allah agar mendatangkan pertolongan dan kekuatan bagi Islam dan menghinakan musuhnya. Jika mereka tidak memandangku dengan pandangan ramah, maka aku tak akan masuk ke benteng itu, karena bisa jadi mereka menganggapku mata-mata dari orang kafir.
Lalu aku pergi menuju ke arah Marakisy, tetapi aku berjalan mengikuti pantai hingga sampai di suatu rumah tempat seorang ahli ibadah dari Maroko. Beliau termasuk guru besar sahabat asy-Syaikh Said an-Najjar. Aku tinggal di rumah itu semalam. Namun setiap aku berbicara kepadanya ia tidak pernah menjawab ucapanku. Jika aku memandangnya, ia memalingkan wajahnya dariku. Namun saat aku tak memandangnya, ia memandang ke arahku. Begitulah, aku duduk bersamanya sampai keesokan harinya tanpa ada obrolan antara aku dan dia. Akhirnya aku berputus asa untuk berbincang dengannya. Lalu aku berkata kepadanya, “Bacakanlah al-Fatihah bagiku, wahai Tuan.” Lalu ia membacakan al-Fatihah bagiku, tanpa bertanya atau mengucapkan apapun kepadaku. Para sahabatku memberitahukanku bahwa mereka pernah bersama beliau di rumahnya itu dan beliau tak berbicara kepada mereka walaupun membaca al-Fatihah. Mereka tak pernah melihatnya melakukan -kepada siapapun- seperti yang diperbuatnya kepadaku. Aku berkata kepada mereka, “Aku menjadi takut, apakah beliau melihat kegelapan yang ada di diriku?” Mereka menjawab, “Kami kira bukan itu alasannya, sebab kami melihat banyak orang saleh dan ahli maksiat yang tinggal di rumahnya. Beliau juga tidak melakukan kepada mereka apa yang dilakukannya kepadamu.” Diantara para sahabatku yang kutemui di dekat rumah syaikh itu adalah seorang faqih (ahli fikih). Aku berkata kepadanya, “Hai faqih, aku insya Allah akan tinggal di Masjid al-Abdal. Jika Syaikh itu berbicara tentang aku, beritahukanlah kepadaku, maka aku akan pergi kepadanya. Jika ia menyebutkan kelebihanku yang menjadikan aku gembira, maka ingatkanlah aku agar aku segera memohon ampun kepada Allah dan kembali ke jalan yang benar.” Masjid tersebut terietak di sebelah timur dan berjarak satu atau dua marhalah dari tempat itu. Kemudian aku berangkat menuju ke arah masjid itu. Dulu para wali beribadah di masjid itu, seperti asy-Syaikh Muhammad Ibn arabiy al-Hatimiy dan lainnya. Hal ini disebutkan oleh asy-Syaikh Ibn Athaillah di kitabnya yang berjudul Latharf al-Minan, ketika ia mempertanyakan apakah Khidhir telah wafat atau masih hidup. Lalu beliau berpendapat Khidhir masih hidup berdasarkan riwayat berikut:
Khidhir datang melakukan shalat di masjid ini (al-Abdal) dengan tidak menyentuh dasarnya. Pada saat itu Ibn Arabiy sedang shalat bersama muridnya. Ketika Khidhir selesai dari shalatnya, asy-Syaikh Muhammad Ibn Arabiy berkata:
Pecinta disibukkan oleh cinta dengan
yang dicintai Pencipta udara akan menundukkannya baginya
Para arif, akal mereka berada dalam
keadaan terikat Dari semesta karena mencari ridha dan kesucian
Mereka di sisi-Nya dimuliakan dan di sisi-Nya
Rahasia-Nya terjaga dan disucikan
Khidhir menjawab,
“Aku tak melakukan hal ini kecuali karena yang ada bersamamu tak mempercayai karamah para wali. Sesungguhnya, siapa yang meninggalkan egonya, maka Allah akan menundukkan baginya udara. Aku adalah Khidhir.”
Setelah itu beliau menghilang. Lalu asy-Syaikh Muhammad Ibn Arabiy bertanya kepada muridnya, “Bagaimanakah menurutmu tentang karamah para wali?” Muridnya menjawab, “Setelah aku melihat dengan kedua mataku, perlukah aku menjelaskan pendapatku?”
Di masjid ini terdapat makam para wali yang terdahulu, tetapi aku tak ingat nama mereka. Di sana juga terdapat mata air. Mata air itu terletak pada sebuah batu besar. Jika air laut pasang, maka tertutuplah batu itu yang di bawahnya terdapat mata air. Jika air laut surut, dan kita berdiri di dalamnya, tinggi airnya hanya sebatas pusar. Air yang berasal dari mata air itu tawar, terpisah dari air laut yang asin. Tak ada yang mengetahui hal ini kecuali yang pernah beribadah di masjid itu. Dan tak ada yang memberitahuku tentang masjid ini kecuali asy-Syaikh Ahmad bin Umar al-‘Arusiy. Beliau termasuk seorang wali yang pernah beribadah di masjid ini. Beliau memerintahkanku untuk tinggal di masjid itu selama beberapa hari. Aku juga ingat, aku menayakan kepada beliau (asy-Syaikh Ahmad) tentang kejadian yang menimpaku saat menyendiri dengan cara asy-Syaikh Abduqadir al-Jailaniy di gunung al-Akhdhar, lalu ada ular yang mendatangiku,. Sebenarnya lebih tepat jika ini aku ceritakan di pembahasanku di atas saat bertemu dengan beliau. Lalu beliau menjawab,”Ular itu adalah jin. Namanya fulan dan termasuk sahabat asy-Syaikh Abdulqadir al-Jailaniy la pasti menguji siapapun yang datang menyendiri untuk beribadah menggunakan cara asy-Syaikh Abdulqadir al-Jailaniy. Jika orang yang diuji itu memiliki keteguhan, ia akan berubah menjadi manusia yang akan melayani apa yang diperlukannya.