Marilah kita kembali pada ceritaku tentang Masjid al Abdal. Aku tinggal di masjid itu selama tujuh hari berturut-turut. Di sana tampaklah kepadaku cahaya zikir, doa. puasa dan kesendirianku sebagai manusia Aku mendapatkan banyak hal yang sebelumnya tak kupahami. Lalu datang seorang wanita mengunjungi masjid itu dan makam orang orang saleh di sekitarnya, la ingin masuk ke dalam masjid. Maka aku segera menutup pintu masjid itu sehingga ia tak bisa memasukinya. Aku mengatakan kepadanya. “Jika kau ingin masuk ke masjid ini.biarkanlah aku keluar terlebih dulu. Jika aku telah keluar, masuklah kau.” Namun wanita itu menjawab. “Aku ingin bertemu denganmu.” Aku terkejut dan berkata kepadanya. “Aku tinggal di masjid ini karena terkena penyakit dan ingin mencari kesembuhan dengan keberkahan. Karena itulah aku shalat di masjid para wali ini” Mendengar jawabanku, wanita itu pergi dan menerima alasanku. Keesokan harinya, tiba-tiba datang seseorang kepadaku dengan membawa roti dan madu Ketika orang itu keluar setelah memberikannya kepadaku, aku segera pergi meninggalkan masjid itu menuju ke kota Marakisy. Di antara Masjid al-Abdal dengan Marakisy terdapat banyak bangunan. Aku melewatinya di saat penduduk sedang memanen gandum dan jelai. Penduduk di sana memiliki sifat yang baik. Di sana juga terdapat tempat-tempat majelis kajian fiqih. Mereka melakukan apa yang dijalankan oleh para datuk mereka, yaitu mencintai kebaikan dan berbuat baik. Aku melakukan perjalanan dan bisa jadi aku juga telah melewati tempat yang pernah digunakan beribadah oleh asy-Syaikh Abu aI Abbas as-Sibtiy.
Begitulah, aku masuk ke kota Marakisy dan tinggal di sana selama beberapa hari untuk mengunjungi para wali. orang orang saleh, para ulama dan para penuntut ilmu fiqih dan ushul. Di setiap tempat di daerah ini kudapati orang yang mendirikan kewajiban fardhu kifayah, yaitu mengajar dan menuntut ilmu. Maka gugurlah kewajiban itu bagi seluruh penduduk yang lain. Segala puji bagi Allah atas kekuatan Islam. Kemudian aku keluar menuju ke kota Fas menziarahi makam Abu Ya’za yang makamnya digali oleh penduduk desa Taghiyah dan dikuburkan di tempat ini. Tadinya makam beliau ada di tempat beliau wafat, yaitu di suatu desa dekat Marakisy.di sebelah timurnya yang berjarak sekitar dua marhalah (± 83 Km) atau kurang. Di antara jalan menuju tempat itu terdapat sebuah lembah yang bernama al-‘Abid . Lembah itu dilewati oleh sebuah sungai besar. Tak ada yang dapat melewati sungai itu kecuali mereka yang pandai berenang, atau jika tidak, mereka akan tenggelam. Sungai itu adalah batas antara negeri Sus dengan bagian barat Marakisy, sampai ke daerah as-Saiqyah al-Hamra. Sedangkan di belakangnya adalah daerah menuju ke Sudan. Disebutkan bahwa di belakang daerah as-Saqiyah al-Hamra terdapat tempat ibadah para sufi. Saat aku bermukim bersama asy-Syaikh Ahmad al-‘Arusiy, aku menginginkan pergi mencapai tempat itu. Namun banyak yang memberitahukan kepadaku bahwa tempat ibadah itu jauh sekali, dan dalam perjalanan ke sana banyak orang kafir yang membunuh orang-orang Islam yang datang dari arah laut. Namun aku mencapainya melalui sebuah desa di antara lembah al-‘Abid dan lembah Um Rabi’. Aku masuk ke dalamnya dengan perasaan takut. Setelah tenggelam matahari, aku masuk ke masjid untuk melakukan shalat maghrib bersama. Lalu aku mendekati para jamaah di masjid itu untuk membaca al-Quran bersama di antara waktu isya dan maghrib. Lalu mereka bertanya kepadaku, “Siapakah engkau?” Mereka ingin tahu siapa diriku sebenarnya hingga aku akhirnya menjawab, “Aku termasuk keturunan Isa bin Abu Wakil.” Mereka berkata, “Mengapa kau sembunyikan nasabmu?” Aku jawab mereka, “Aku lakukan hal ini karena dua sebab. Pertama, manusia di zaman ini menampakkan nasabnya yang bersambung dengan orang-orang saleh karena tujuan duniawi yang mereka kejar. Kedua, karena kalian menyangka bahwa kami masih berada di jalan datuk-datuk kami. Padahal kami telah berubah karena godaan fitnah yang terjadi di antara kabilah yang aku termasuk di dalamnya.” Maka aku dan mereka saling berbincang mengenai jalan hidup para pendahulu yang saleh, dengan harapan aku dapat menghirup hembusan para wali yang diperuntukkan bagi para pejalan spiritual. Sampai aku menyebutkan bahwa tujuanku ke tempat mereka juga karena ingin menghirup hembusan para wali itu. Salah satu yang tertua di antara mereka bertanya kepadaku, “Lalu bagaimana kedudukan Umar bin Ibrahim pada keluarga kalian?” Aku menjawab, “Beliau termasuk datukku. Namaku adalah Yusuf bin ‘Abid bin Muhammad bin Umar.” Mereka berkata, “Sejak wafatnya Umar, tak ada kabar kalian yang sampai ke telinga kami. Dulu, jika seorang anak wanita di antara kami telah mencapai akil baligh, dan kami ingin menikahkannya, maka kami pasti meminta pendapatnya (Umar) tentang perkawinan anak wanita kami tersebut. Lalu aku menceritakan kepada mereka mengenai daerahku dan kejadian yang menimpanya hingga mereka semua pindah ke kota Fas dan sekitarnya. Di antara penduduk itu terdapat anak asy-Syaikh Muhammad bin Abu al-Qasim yang dikenal sebagai orang yang berperangai lembut. Beliau, para pelajar dan sahabatnya, memiliki kebiasaan berzikir bersama sifat Allah al-Lathif, dengan mengulang-ulang kata ‘ya lathif, ya lathif sebanyak tujuh puluh ribu kali setiap hari. Anak ini berada di jalan ayahnya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kedudukan dan keyakinan.
Aku bertanya kepada mereka tentang orang yang akan membimbingku sebagaimana disebutkan oleh Yusuf ad-Dadasiy, dan aku tak mendapati satu orang walipun yang serupa dengan apa yang diceritakannya. Namun aku memimpikannya kadang-kadang, seseorang yang mengelilingiku. Setiap kali aku memimpikannya, bertambahlah semangatku dalam beramal. Mereka semua keheranan dengan keadaan yang kualami itu, hingga berkata kepadaku, “Sesungguhnya apa yang kau cari itu adalah sesuatu yang sangat langka ditemukan di zaman ini. Dan kau tidak akan mendapatkan apa yang kau cari kecuali dari Allah. Mengunjungi para wali dan berprasangka baik kepada mereka adalah salah satu cara untuk mendapatkan pertolongan agar mencapai apa yang kau cari. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah riwayat, Allah berfirman,’Mintalah kepada-Ku dengan lisan yang tak bermaksiat kepada-Ku.’ Ditanyakan kepada-Nya, ‘Wahai Tuhan, lisan siapakah yang tak pernah bermaksiat kepada-Mu? ‘Dia menjawab, lisan selainmu, yang ditujukan untukmu.’ Lebih-lebih doa dari lisan orang-orang yang saleh. Di zaman kita tak ada yang bisa bermanfaat kecuali doa orang-orang yang saleh di antara kita.”
Lalu anak asy-Syaikh Abu al-Qasim menziarahi ayahnya. Aku ikut bersamanya, la memberiku kurma sebagai bekal perjalanan, la berkata kepadaku, ‘Penduduk desa ini tidak pernah menerima seorang pun dari peziarah kecuali engkau. Sepertinya mereka melihat kebaikan di dirimu.” Kemudian beliau men-talqin-ku (menuntun) beberapa asma Allah al-Husna dan memerintahkanku untuk membacanya. Maka aku membacanya sampai beberapa hari seperti yang diperintahkannya. Namun karena terlalu banyak bacaan yang diriwayatkan dari Nabi Saw. yang aku baca, maka aku lebih mengutamakan bacaan yang terdapat riwayatnya.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim