Kemudian aku pergi menuju ke kota Fas dan bertemu dengan asy-Syaikh Muhammad asy-Syarqiy yang bermukim di sebelum kota Fas. Beliau tinggal di sebuah tempat sebelum lembah Um ar-Rabi’. Lalu aku berjalan lagi untuk menziarahi Abu Ya’za di desa Taghiyah yang pernah disebut di atas. Aku mengunjunginya dan kudapatkan kabar gembira darinya. Kemudian dari makam itu aku pergi ke kota Maknas, dan aku bertemu dengan mereka yang aku kenal dari orang-orang yang hidup atau karena berziarah ke makam mereka yang telah wafat. Aku masuk ke kota Fas, bertemu dengan Syaikh kami Ahmad bin Humaidah al-Mathrafiy, yang memerintahkanku untuk menjalani zikir jalalah. Kuceritakan kepadanya tentang perjalanan yang baru kutempuh hingga sampai di tempatnya. Beliau sangat takjub atas ketetapan dan ketentuan Allah. Begitulah aku memperbarui pertemuanku dengannya dan dengan penduduk kota itu seperti asy-Syaikh Ahmad as-Sayyah dan semua orang baik dan berilmu yang pernah bergaul denganku di kota Fas. Mereka semua santun dan berprasangka baik kepadaku sampai tak satu pun di antara mereka yang bertanya darimana aku berasal. Boleh jadi mereka menyangka bahwa aku menemani para sufi ahli ibadah, karena pengetahuan mereka terhadap keadaanku yang gemar menjauhi hal-hal yang terlarang.
Lalu aku menuju ke makam keluarga kami di lembah al-Laban, yaitu makam ibu, saudara dan kerabatku. Setelah itu aku bertemu kembali dengan saudara ibuku Umar bin Yusuf bin Umar dan istrinya-anak pamanku dari ayah yang bernama Aisyah binti Muhammad- serta anak-anak pamanku, laki-laki dan wanita. Aku tinggal di sana beberapa hari, lalu berangkat ke gunung Salasil yang termasuk anak gunung Ghamara. Di sana aku bertemu kembali dengan asy-Syaikh Abdullah bin Hasun dan asy-Syaikh Muhammad Abu Syita. Asy-Syaikh Muhammad Abu Syita merasa gembira dengan kedatanganku, juga setelah aku mendengar ceritaku tentang keadaanku yang mendapat khirqah dari para wali. Begitu pula aku mengunjungi asy-Syaikh Umar al-Bathwiy. Nama al-Bathiwiy diambil dari nama suatu tempat di Maroko penghasil besi yang terletak di pantai.
Dari sana aku kembali pulang menuju kerabatku yang terdapat di sekitar kota Fas. Anak-anak Yahya bin Ibrahim bin Abu Wakil masih tetap tinggal di tempat itu hingga saat ini. Mereka termasuk orang-orang yang bisa mendengar panggilan shalat jum’at dari kota Fas. Mereka adalah orang-orang yang bermukim di sana dan tidak berpindah-pindah tempat saat musim dingin atau musim lainnya. Dulu, jika dalam keadaan gundah di dalam kota, aku dan sepupuku yang faqih (ahli dalam ilmu fiqih), Abdullah bin umar bin Yusuf, keluar menuju mereka dan tinggal di tempat mereka selama sehari atau dua hari. Lalu setelah itu kami pulang ke kota dan kembali ke madrasah Misbah untuk menuntut ilmu. Kemudian aku menyampaikan kepada asy-Syaikh Ahmad bin Humaidah tentang perkawinan. Keluargaku ingin menikahkanku dengan anak pamanku dari ayah yang bernama Umar dan juga anak pamanku dari ibu, sebab pamanku Umar juga merupakan saudara seibu dengan ibuku. Namanya Halimah binti Umar bin Yusuf bin ‘Abid bin Muhammad bin Umar. Ibunya adalah Aisyah binti Muhammad bin Abdulaziz bin Zakariya bin Yahya bin Isa bin Abu al-Wakil. Mereka adalah orang yang kaya raya, sedangkan aku menjauh dari sebab-sebab duniawi. Maka aku meminta pendapat para guruku, yaitu tuanku Abdullah bin Hasun dan tuanku Ahmad bin Humaidah. Mereka berkata kepadaku, “Berapa mahar yang akan kau berikan?” Maka aku menyebutkan jumlahnya, dan mereka mengizinkannya.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim