Lalu aku berjalan menuju ke kota Maknas menuju ke tempat asy-Syaikh Musa bin Ali. Aku menemukannya ada di tempatnya siang itu. Di dalam hati aku mengharap beliau menjelaskan apa yang kualami. Ketika aku sampai di depan rumahnya, keluarlah anak wanitanya dan ia mengetahui bahwa aku ingin bertemu dengan asy-Syaikh. Keluarlah asy-Syaikh dalam kondisi buta karena terkena penyakit di akhir umurnya yang mengakibatkan seluruh matanya putih, la keluar tanpa bertanya kepadaku siapa aku atau dari mana aku datang, kecuali hanya mengucapkan, “Manusia menunaikan ibadah haji, dan kau melakukan hal ini dan itu. Larilah, larilah.”Lalu ia mengibaskan tangannya dan menjerit memanggil anaknya, “Hai fulanah, masukkanlah kembali aku, masukkanlah.” Anak perempuannya berdiri dan aku mengisyaratkan kepadanya agar berdiam hingga aku dapat mengambil isyarat dari asy-Syaikh (maksudnya menunaikan haji adalah perintah untuk pergi ke arah timur atau ke arah Yaman—Penerj.). Maka setelah itu aku memahami isyarat darinya, bahwa kegagalanku dalam menyendiri disebabkan makhluk bersuara yang menggangguku itu. Kemudian aku masuk ke kota Maknas bertemu dengan asy-Syaikh kami al-Qanawiy, guruku yang pertama kali mengajariku ketika terkunci lisanku sehingga lenyap hafalanku seperti yang telah kuceritakan. Saat bertemu aku, beliau meminta doa kepadaku. Maka aku berkata, “Semua yang ada padaku karena berkah darimu wahai Tuan. Semoga Allah membalas kebaikanmu.” Lalu aku berkata lagi, “Aku meminta tolong kepadamu, jika ada yang datang kepadamu dari keluargaku, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa aku menuju ke arah kiblat, ke lembah Taflalat.” Jarak antara kota itu dengan Fas sekitar sepuluh marhalah (± 410 Km). Aku pergi dari Maknas melalui lembah Faqiq. Aku berjalan kurang lebih delapan hari melewati bangunan-bangunan dan tanah kosong yang didiami oleh banyak singa. Namun Allah melindungi aku hingga aku sampai di lembah Taflalat. Dalam perjalanan ini terdapat cerita tentang singa dan perampok yang mengikutiku dari sebuah desa hingga ke tempat yang kosong. Mereka ingin membunuhku karena menyangka aku adalah orang kaya. Namun Allah menyelamatkan aku dari semua bahaya itu. Aku ke lembah Taflalat karena ingin mengunjungi anak guruku yang bernama al-Ghazi. Aku lupa tidak menyebutnya saat membahas mengenai perjalananku dan khirqah. Ketika aku sampai di desanya, aku tidak diizinkan masuk kecuali setelah kurang lebih tiga hari. Lalu aku diizinkan masuk dan beliau meminta maaf kepadaku. Beliau berkata, “Maafkan aku tak mengetahui kalau itu engkau.” Aku berkata, “Wahai Tuan, jika engkau tidak mengizinkan aku kecuali setelah sebulan, maka kau tidak akan mendapatkan hatiku berubah padamu.” Lalu beliau mendoakanku dan mewasiati aku agar bertakwa. Beliau mengulang-ulang wasiat takwanya sambil membaca beberapa ayat yang berkenaan dengan takwa.
Lalu aku keluar menuju kepada Syaikh yang lain di sekitar tempat itu. Aku menceritakan pertemuanku dengannya di kitabku yang berjudul Risalah ar-Rihlah. Kemudian aku mengunjungi asy-Syaikh Abdurrahman yang dijuluki ‘orang yang tak memiliki rasa takut kecuali kepada Allah’. Sesampainya di sana aku mendapatinya sedang tidur qailulah (di waktu dhuha) di tempat keluarganya. Di sana tak kutemui selain penuntut ilmu. Maka aku bersuci, melakukan shalat dua rakaat di masjid, lalu tidur. Kemudian datanglah asy-Syaikh ke masjid seperti biasanya untuk melakukan shalat dhuhur. Beliau memerintahkan orang untuk menjemputku agar aku mendatanginya. Namun aku tak faham mengapa saat itu aku tidak dapat dibangunkan. Hingga akhirnya asy-Syaikh Abdurrahman berkata, “Tinggalkanlah ia hingga bangun dengan sendirinya.” Mereka meninggalkanku setelah mendudukan badanku agar aku terbangun. Namun aku tak bangun dari tidur kecuali setelah lama sekali. Aku bangun dengan sendirinya. Karena tertidur, maka keringatku membasahi tubuhku sehingga aku harus membersihkan badanku terlebih dulu dari keringat. Ketika aku membersihkan diriku, datanglah penuntut ilmu atas perintah asy-Syaikh mengambil bajuku dan mencucikannya.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim