Setelah itu aku kembali ke tempat aku datang tadi lalu menuju lembah Faqiq yang di dalamnya terdapat banyak pohon kurma. Dan di atasnya tedapat desa asy-Syaikh Abdurrahman al-Faqiqiy. Beliau adalah syaikh para guruku yang aku menimba manfaat dari mereka. Di antaranya adalah asy-Syaikh Abdulqadir bin Muhammad bin Samahah al-Himyaniy yang nanti akan aku kuceritakan tentang beliau. Lalu aku menziarahi makam asy-Syaikh Abdurrahman. Di kuburnya itu terdapat kewibawaan hingga suatu kali aku pernah mengucap di saat aku duduk menghadapnya/Wahai Tuanku Abdurrahman, sambutlah aku dengan ketentraman, dan jangan dengan sifat kebesaranmu. Sebab aku tak mampu dikarenakan sifatku yang lemah dan besarnya kedudukanmu.” Makam beliau terletak jauh dari desa.
Lalu aku pergi dari tempat itu bersama para pengunjung yang lain menuju ke negeri asy-Syaikh Abdulqadir al-Himyaniy yang baru saja disebut di atas. Aku berdiri di suatu tempat hingga aku dapat melihat para pengunjung dari lembah Faqiq yang berada di atas keledai dan disibukkan dengan barang-barang mereka. Dulu asy-Syaikh itu menetap di tempat tinggalnya hingga terjadi peperangan antar kabilah di daerah itu, hingga menyebabkan asy-Syaikh menjauh dari mereka. Beliau pergi ke sebelah timur daerah tersebut. Jaraknya kurang lebih lima marhalah (± 205 Km) antara tempatnya dengan Faqiq. Kabar tentang syaikh ini sampai kepadaku di kota Fas dan aku sangat ingin berjumpa dengannya. Saat itu aku mendengar tentang keadaan beliau saat men-talqin zikir kepada para pejalan spiritual yang mengambil manfaat darinya. Khirqah beliau menyambung kepada asy-Syaikh Abdurrahman al-Faqiqiy dari asy-Syaikh Ahmad bin Yusuf al-Milyaniy dari asy-Syaikh Ahmad 2arruq.
Aku telah berniat di dalam hatiku untuk tidak memberitahu asy-Syaikh tentang kondisiku, atau dari mana aku datang. Aku juga tidak akan menyebutkan nasabku. Jika dia seperti yang disebut oleh para faqir, maka Allah pasti akan menampakkan keadaanku kepadanya, la adalah wali yang paling jauh yang pernah aku datangi di negeri Sus, yang ada di paling ujung Maroko.
Ketika aku sampai di sana bersama para pengunjung, mereka semua masuk sebelum aku. Aku masuk terakhir karena ingin melepaskan penatku terlebih dulu. Ketika asy-Syaikh berjabat tangan dengan para pengunjung ia berkata, “Dimanakah syarif yang datang bersama kalian?” Mereka menjawab, “Tidak ada seorang syarif yang datang bersama kami, kecuali seorang yang berpenampilan seperti orang pedalaman.” Lalu asy-Syaikh mengutus seseorang agar menjemputku. Utusan itu berkata, “Syaikh memanggilmu.” Maka aku segera datang menuju asy-Syaikh. Ketika aku datang, beliau berdiri dan mengucapkan salam kepadaku layaknya pecinta dengan yang dicintai. Sedangkan para pengunjung seperti yang disebutkan oleh Allah tentang Nabi Yusuf,
“dan mereka merasa tidak tertarik hatinya (kepada Yusuf) dan menjualnya dengan harga murah”(Qs. Yusuf [12]: 20)
Mereka para pengunjung yang lain berkata kepadaku, “Mengapa kau sembunyikan nasabmu sebagai syarif?” Aku menjawab, “Pengakuan dari syaikh tentang nasabku lebih utama daripada aku menyebutkan nasabku langsung kepada kalian. Sebab boleh jadi akan menjadi buruk bagi kalian, hingga sebagian dari kalian akan mempercayai sedangkan sebagian lagi tidak. Atau akan membebani kalian atas sesuatu yang kalian tak mampu memikulnya. Atau aku takut kalian akan merendahkan nasabku karena aku. Karena itu berdiam lebih baik bagiku hingga asy-Syaikh sendiri yang memberitahu kalian.” Saat itu aku merasa rendah di hadapan mereka dan juga di hadapan asy-Syaikh yang memiliki kedudukan yang agung. Asy-Syaikh ra berbicara banyak kepadaku. Di antaranya beliau bertanya kepadaku tentang si fulan dan si fulan, serta beberapa tempat yang pernah kukunjungi, dan para wali yang kutemui di tempat itu. Sampai ia bertanya kepadaku tentang orang-orang yang beribadah di tempat ibadah di pesisir samudera. Aku menyampaikan kepadanya bahwa aku tak berhasil mencapainya karena tempatnya yang terlalu jauh. la berkata kepadaku, “Sesungguhnya tempat itu sangat dekat dengan tempat yang telah kau capai, hanya tersisa perjalanan setengah hari.” Maka aku jelaskan kepadanya bahwa penduduk di tempat itu mengatakan kepadaku tentang orang-orang kafir yang memburu orang-orang Islam. Orang-orang kafir di daerah itu memiliki kapal-kapal besar dan menculik orang-orang pedalaman yang berada di dekatnya. Asy-Syaikh berkata, “Bagaimana para wali yang ada di tempat peribadahan itu, seharusnya mereka menolong orang-orang itu. Padahal mereka termasuk para wali yang ada di belahan timur.” Aku berkata kepadanya, “Demi Allah wahai Tuanku, tak seorangpun bertanya kepadaku seperti yang kau tanyakan kepadaku. Tak ada yang tahu hal ini kecuali Allah. Dan aku tak pernah menceritakannya kepada siapa pun. Baik kepada orang-orang dekat atau jauh.” Beliau menjawab, “Demi Allah, aku tidak bergerak atau berdiam, kecuali mataku memperhatikanmu”
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim