Pada waktu aku pergi menuju ke kota tempat tinggal asy-Syaikh Abu ath-Thib, aku bertemu dengan asy-Syaikh Yusuf ad-Dadasiy. Beliau berkata kepadaku, “Aku melihat engkau ingin membaca di hadapan asy-Syaikh itu namun lisanmu terkunci. Sesungguhnya terdapat seorang asy-Syaikh yang akan memberikan kepadamu ilmu ladunni. Asy-Syaikh yang ingin kau datangi bukanlah orang yang dapat membimbingmu. Pulanglah kau dan belajarlah lagi hingga tiba masanya (ilmu ladunni) bagimu.” Aku berkata, “Tak ada yang mengunci llisan seorang hamba dari bacaan al-Quran kecuali setan. Semoga Allah melindungi.” Beliau berkata kepadaku, “Ilmu ladunni lebih baik daripada ilmu yang bisa di dapat oleh orang baik dan jahat di zaman kita ini. Ilmu ladunni tidaklah diberikan oleh Allah kecuali kepada hamba yang dicintai-Nya. Ketahuilah, dulu aku mengalami kondisi seperti yang kau alami.” Aku berkata kepadanya, “Kenyataannya kau tidak mendampingiku.” Mendengar ucapanku beliau tertawa dan hal itu menjadikan batinku menjadi tenang. Begitu pula dengan ucapan beliau yang langsung menyebutkan kondisiku, padahal tidak ada satu orang pun di kota Maknas ini yang mengetahui kondisiku.
Maka aku memahami bahwa ucapan beliau benar dan firasatnya membimbingku. Beliau beberapa kali mengulangi penjelasannya mengenai larangannya mendatangi asy-Syaikh yang ingin kutemui. Tetapi aku tidak berhenti karena ucapan beliau. Aku tetap melanjutkan perjalanan mengunjungi asy-Syaikh Abu ath-Thib hingga aku sampai di desanya dan meskipun aku berkali-kali datang namun aku tak berhasil menemuinya. Desa itu terdapat di sekitar kota Maknas. Jika kita menghadap ke arah kiblat di daerah itu, maka kuburan kakekku akan berada di sebelah pundak kiri kita. Maka aku pun bermalam di desa itu. Di desa itu terdapat seorang saleh yang menyukai para penuntut ilmu. Selama berada di kota Maknas itu, jika aku merasa gundah maka aku akan segera menghampirinya dan menentramkan hatiku bersamanya. Lalu aku bersama orang saleh itu pergi menziarahi kubur asy-Syaikh Abu Ya’za di desa Marahil yang terletak di belakang kota Maknas. Ketika orang-orang di desa itu melihat kondisiku dan aku menceritakan kepada mereka kondisiku, maka mereka berkata, “Bersabarlah hingga ‘lembah dipenuhi oleh air yang mengalirinya’ (maksudnya ilmu ladunni). Sesungguhnya tak ada yang dapat melampaui kondisi ini kecuali orang yang cerdik.” Mereka juga memberitahukan kepadaku bahwa saat itu adalah musim dingin, dan jika cuaca dingin itu mulai berkurang mereka akan pergi bersamaku. Maka aku pun kembali ke kota Maknas.
Sesampainya aku di sana Yusuf ad-Dadasiy melihatku dan berkata, “Kau pulang kembali? Bukankah aku telah memberitahukan kepadamu bahwa tidak ada gunanya engkau ke tempat asy-Syaikh itu. Tinggallah engkau dan lanjutkan belajarmu hingga datang asy-Syaikhmu kepadamu” Aku bertanya, “Lalu dimanakah asy-Syaikh yang kau sebut itu sehingga hatiku menginginkannya sehingga ia dapat segera memberikan kepadaku ilmu ladunni?” Beliau menjawab “Engkau masih belum paham? Aku melihat dan mendengar apa yang kau baca dan cukuplah apa yang kau pelajari.” Setelah mendengar ucapan ini maka aku tetap berada dalam kondisiku, tak ada perubahan. Hanya saja menjadi lebih ringan bagiku. Diriku menjadi tenang karena aku mengetahui kejujuran apa yang diucapkannya tentang aku. Jiwa menjadi tenang saat mendengar kabar tentang apa yang akan diperoleh di masa depan manakala kabar itu datang dari orang yang dapat dipercaya.
Maka aku tinggal di Maknas kembali belajar dalam kondisi yang tidak berubah, namun ikatan yang mengunci lisanku sedikit demi sedikit mulai terbuka hingga aku mampu mengkhatamkan al-Quran seluruhnya di hadapan Ahmad al-Qanawiy.
Di kota ini terdapat para guru besar, baik yang masih hidup atau pun yang telah wafat. Di antara mereka yang telah wafat adalah asy-Syaikh Abdullah bin Ahmad. Pada zaman beliau, jika penduduk tertimpa musim kemarau yang berkepanjangan, mereka berbondong-bondong meminta kepadanya agar keluar bersama sultan untuk melakukan shalat istisqa (meminta hujan). Asy-Syaikh Abdullah bin Ahmad berkata kepada mereka, “Aku hidup dalam kecukupan, padahal Allah berfirman;
‘Atau siapakah yang memperkenankan [doa] orang yang dalam kondisi darurat apabila ia berdoa kepada-Nya‘(Qs. An-Naml [27]: 62)
Padahal aku saat ini tidak dalam kondisi darurat.” Sultan juga berkata kepada mereka, “Aku tidak akan keluar melakukan shalat istisqa” Maka penduduk pun memaksa asy-Syaikh asy-Syarif Abdullah bin Ahmad. Akhirnya beliau berkata kepada sultan, “Pertama yang harus kau lakukan adalah mengeluarkan dari hartamu berupa makanan pokok untuk penduduk agar Allah mengabulkan doa kita, lalu keluarlah shalat bersama kami.” Sultan menjawab, “Aku tak mungkin mengeluarkan hartaku, sebab aku memiliki musuh yang jika tahu aku melakukan hal itu, maka mereka akan mengadiliku.”Lalu asy-Syaikh berkata, “Jangan kau keluar bersama kami, kecuali jika kau memberikan hak mereka yang terdzalimi, lalu selamatkanlah yang lemah dari orang-orang kuat yang menindas mereka. Lalu berniatlah bagi pendudukmu dengan niatan yang baik. Hingga semangatmu menyatu bersama kami dalam doa, sebab kau telah menjalankan kewajibanmu.” Sultan pun melakukan apa yang diperintahkan kepada dirinya di hari itu. Sedangkan asy-Syaikh Abdullah bin Ahmad di hari itu tidak memberi nafkah bagi isitrinya dan keluarganya kecuali hanya untuk waktu makan di hari itu. Setelah semua itu dilakukan, keluarlah beliau bersama para penduduk dan berdoa untuk mereka. Disebutkan bahwa tidaklah mereka pulang dari tempat shalat itu kecuali hujan turun dengan lebat. Lalu beliau kembali ke rumahnya dan tak mendapati di rumahnya makanan untuk malam-malam mereka. Begitu pula untuk binatang ternak beliau. Semua itu dilakukannya untuk mewujudkan kondisi darurat seperti yang disebut di ayat di atas. Beliau memiliki karamah yang banyak sekali. Orang yang terbanyak mewakafkan harta bagi masjid jami’ an-Najjarin adalah beliau (semoga Allah meridhainya).
Di kota ini juga terdapat asy-Syaikh Abu Muhammad bin isa yang dijuluki Dzabbah an-Nufus (penyembelih nafsu). Begitu pula murid beliau, asy-Syaikh Abu ar-Radani, dan asy-Syaikh Said bin Abubakar. Aku menimba ilmu dari murid beliau yang bernama asy-Syaikh Ahmad as-Sayyah di kota Fas saat pertama kali aku masuk ke dalam thariqah ini.
Semua pengalaman yang kuceritakan ini terjadi sebelum aku masuk dalam iradah. Aku belum mengetahui apakah thariqah dan iradah itu. Aku hanyalah seorang penuntut ilmu yang berusaha mengamalkan dan mempelajari al-Quran dari lisan guru-guru besar yang memiliki mata rantai keilmuan hingga mushaf al-‘utsmaniyyah. Sehingga apabila al-Quran lenyap dari tangan manusia (semoga Allah melindungi), maka para penghafal al-Quran akan menggantikannya karena hafalan mereka yang otentik ditimba dari guru ke guru hingga ke puncaknya. Semua itu menunjukkan bahwa menjaga agama adalah dengan menjaga al-Quran. Dulu bangsa arab melakukan proses hafalan ini dari manusia ke manusia, dan dari generasi ke generasi. Semua sesuai dengan niatnya “Dan sesungguhnya amal seseorang tergantung niatnya”.
Di kota ini terdapat pula para ulama yang masih hidup. Seperti asy-Syaikh Ahmad al-Qanawiy yang aku belajar al-Quran hingga menghatamkannya di hadapannya juga kepada guru yang lain. Begitu pula aku juga belajar kepadanya riwayat hadits di masjid jami’ yang besar di kota Maknas. Dulu imam di masjid jami’ itu adalah al-Bashriy.
Di kota Maknas ini juga terdapat banyak orang saleh. Seperti asy-Syaikh Ali bin Nashir an-Najimiy, asy-Syaikh Ali bin Nashir ad-Dimtaniy, asy-Syaikh Musa Abu Shaihah.dan anak-anak dari asy-Syaikh Muhammad bin Isa Dzabbah an-Nufus serta lain-lainnya. Di antara mereka terdapat pula asy-Syarif Abdulkhaliq yang menafsirkan al-Quran. Aku sering mendatanginya. Begitu pula asy-Syaikh Muhammad al-‘Arabiy yang juga menafsirkan al-Quran secara ringkas.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim