Aku berjalan dari kota itu menuju ke arah timur. Namun penduduk di kota itu mengatakan kepadaku bahwa daerah mereka adalah akhir dari daerah yang berpenghuni. Setelah itu yang terdapat hanyalah padang yang kosong tak berpenghuni. Padang kosong yang luas itu tak mungkin ditempuh kecuali dengan unta. Jika ingin melanjutkan perjalanan, aku diperintahkan oleh mereka agar mengikuti lembah itu hingga sampai pada dataran yang terendah. Di sana terdapat bangunan besar berpenghuni. Mereka mengatakan bahwa padang kosong itu adalah yang tersulit untuk ditempuh, sebab jaraknya sekitar lima hari tanpa terlihat satu penduduk pun di perjalanan. Aku mengumpulkan keinginan kuat dan bertawakkal kepada Allah dengan niat yang baik hingga aku menempuh perjalanan itu sampai di shalat dhuhur. Saat itu kulihat jejak yang menunjukkan bahwa di depanku ada sekelompok orang. Mereka datang dari tempat yang jauh menuju ke suatu tempat. Saat kami akan berpisah, mereka membawakan untukku semangkuk gandum dan berkata, “Aku mempunyai gandum ini, yang kami rampas dari orang.” Maka aku berkata kepada mereka, “Semoga Allah tidak membalas kebaikan bagi kalian.” Mereka mengatakan bahwa mereka ingin memberikan makanan untukku tetapi makanan mereka hasil curian dan takut Allah akan menghukum mereka jika memberikanku makanan seperti itu. “Kami melihat di dalam dirimu terdapat kesalihan.”
Aku pergi meninggalkan mereka setelah shalat dhuhur hingga matahari menguning. Aku berjalan di sebuah lembah yang besar dengan pepohonan yang banyak sekali. Ketika aku berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara unta di depanku. Ternyata ada sekelompok faqir yang ingin menempuh perjalanan menuju ke suatu tempat, di daerah utara. Aku menemui mereka dalam keadaan shalat berjamaah. Lalu aku mengucapkan salam, namun tak ada dari mereka yang menjawabnya. Setelah sempurna shalat mereka, barulah mereka menjawab salamku. Kemudian mereka berkata kepadaku,
“Dari manakah engkau?”
“Dari kota Fas.”
“Kemanakah tujuanmu?” – “Aku ingin ke arah timur, menunaikan haji insya Allah.”
“Apakah engkau dapat membaca sedikit dari al-Quran?”
“Aku bisa membacanya.”
“Membacanya dengan hafalan atau harus melihat kitab?” “Hafal.”
“Dengan riwayat bacaan apa?” “Bacaan Nafi.’
“Apakah kau pernah belajar kitab fiqih?”
“Aku membaca kitab ar-Risalah.”
“Lalu mengapa kau mengucapakan salam saat kami mengerjakan shalat? Padahal seharusnya kau tahu bahwa dilarang mengucapkan salam bagi mereka yang dilarang menjawab salammu, dan di antaranya adalah saat shalat.”
“Aku mengetahui hal itu, namun aku tahu kalian adalah orang yang berpengetahuan, sehingga kalian pasti akan menyempurnakan shalat kalian dulu baru kemudian menjawab salamku. Seperti yang dilakukan Rasulullah Saw. saat seseorang mengucapkan salam kepadanya padahal dia sedang buang hajat. Maka beliau tidak menjawabnya hingga selesai, baru menjawab salam. Dan Beliau Saw tidak melarang hal itu. Aku mengucapkan salam kepada kalian agar tidak hilang dari kalian pahala menjawab salamku setelah selesai shalat.”
Lalu aku menceritakan kepada mereka tentang masalah semangkuk gandum curian yang diberikan kepadaku. Kami berbincang-bincang tentang ilmu hingga mereka menghendaki aku tinggal bersama mereka dan berkata, “Tinggallah bersama kami hingga ada katilah yang lewat lalu kau dapat ikut bersama mereka di padang yang kosong ini hingga ke tempat yang berpenghuni.” Maka aku tinggal bersama mereka di hari itu karena keberkahan ilmu, sehingga aku seakan-akan tumbuh besar bersama mereka. Segala puji bagi Allah atas kuatnya agama Islam. Tak ada yang mengetahui hal ini kecuali bagi mereka yang melakukan perjalanan hingga tahu bahwa agama Islam sangatlah luas dan umat Nabi Saw berada dalam kebajikan, baik arab atau ajam.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim