Lalu aku berjalan untuk menziarahi asy-Syaikh Ahmad Zarruq. Aku dapati banyak sekali wali di Tarabis bagian barat. Di antaranya terdapat asy-Syaikh Abdushshadiq yang berthariqah Syadziliy, dan asy-Syaikh Salim seorang mufti di daerah itu di zamannya, serta selain mereka berdua. Aku mengambil dari mereka ikatan persaudaraan karena Allah dengan berjabat tangan. Aku juga mengunjungi para wali yang telah wafat, seperti asy-Syaikh al-Quriy dan selainnya hingga aku sampai ke desa yang di sana di kuburkan asy-Syaikh Zarruq. Aku berdiam di sana beberapa waktu. Sedangkan penduduk di daerah itu menyebut asy-Syaikh Zarruq dengan Masrah.
Beliau dimakamkan pada akhir abad kesembilan dan merupakan guruku yang aku memiliki mata rantai kepadanya dari guru-guruku. Itulah perpisahanku dengan daerah Maroko.
Kemudian aku bergerak menuju Mesir seorang diri bersama Allah. Aku mengambil jalan melewati padang yang tak berpenghuni, melewati lembah dan gunung. Tak ada penduduk di sepanjang perjalanan kecuali orang-orang pedalaman. Aku membawa bekal semampuku. Kudapati beratnya perjalanan kali ini yang tak kudapati pada perjaanan sebelumnya. Hingga aku memasuki Iskandariyyah. Di sana terdapat para asy-Syaikh asy-Syadziliyyah yang terkubur di sana. Maka aku menziarahi mereka. Di antara mereka adalah asy-Syaikh Abbas al-Mursiy dan lain-lainnya. Aku tinggal di sana beberapa hari. Aku di beritahu bahwa asy-Syaikh Muhammad bin al-Hasan al-Bakriy tidak pergi haji di tahun ini. Kebiasaan beliau jika tidak menunaikan ibadah haji adalah menziarahi kubur asy-Syaikh Ahmad al-Badawiy. Maka aku pergi menuju ke desa yang di sana terkubur asy-Syaikh Ahmadd-Baddwiy. Aku tinggal di sana hingga datanglah asy-Syaikh Muhammad al-Bakriy bersama keluarganya dan orang-orang foqir. Keluarga asy Syaikh Ahmad a-Badawiy keluar dengan membawa panji-panji asy-Syaikh Ahmad yang merupakan kakek mereka. Mereka berkata kepadaku. “Berjalanlah bersama kami’ Sebab aku mengatakan kepada mereka bahwa aku datang dari Maroko dengan tujuan ingin bertemu dengan asy-Syaikh Muhammad al-Bakny. Mereka membantuku, dan memberikan pakaian yang layak bagiku. Ketika aku berhadapan dengan asy-Syaikh Muhammad, mereka berkata, “Dia adalah seorang syarif dan ia mengatakan bahwa dirinya datang dari Maroko karena Allah dan karena ingin bertemumu.” Beliau bertanya kepadaku,
“Engkau syarif dari kabilah mana?*”
“Hasaniy (keturunan al-Hasan).’
“Engkau Hasaniy?”
“Ya, benar aku Hasaniy.”
“Engkau Hasaniy dari kabilah mana?”
“Dari keturunan Idris. Kabilahku dikenal di Maroko”
“Tetapi aku melihat al-Husain tertulis di dahimu.”
Lalu beliau bangkit dan mempersilahkanku duduk di tempatnya karena menghormati nasabku. Pada malam harinya aku bermimpi menuju ke asy-Syaikh Muhammad bersama keluarga asy-Syaikh Ahmad aIBadawiy. Seakan-akan aku berada dipasar yang besar. Dan aku berkata, “Wahai Tuanku, ada segumpal darah di tenggorokanku.” Lalu beliau menggerakkan leherku dengan tangannya, dan berkata. “Benar.” Kemudian beliau memasukkan alat ke dalam tenggorokanku untuk mengobatinya. Setelah itu aku memuntahkannya ke belakangku dan keluarlah segumpal darah yang besar. Aku juga memuntahkan sesuatu seperti nasi. Orang orang yang ada pada saat itu memakan apa yang keluar dari diriku. Lalu beliau berkata setelah menggerakkan tenggorokanku dengan tangannya. “Masih ada lagi segumpal darah yang besar.” Lalu ia mengeluarkannya seperti yang pertama. Dan aku memuntahkannya lagi. la berkata, “Bangunlah. Sudah tak ada yang tersisa lagi.” Aku berkata, “Aku merasa ada gerakan di tenggorokanku.” Beliau berkata, ‘Bangunlah, tak ada yang tersisa di tenggorokanmu.” Lalu beliau memukul pundakku sebanyak tiga kali sambil berkata, “Tak ada segumpal darah yang tersisa”
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim