Keadaan antara aku dengan asy-Syaikh terus berlangsung hingga negeri Islam Mesir telah dekat. Seperti biasa, setiap beliau membuka tirai dari tandunya itu selalu memandang aku. Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai Tuanku, bacakanlah al-Fatihah dengan niat agar aku mendapat pandanganmu.” Aku mengucapkan hal itu karena perkataan guruku Abdulgadir al-Himyaniy yang telah disebut dalam cerita di atas. Beliau berkata kepadaku, “Pertemuan antara aku dan kamu nanti di shalat maghrib di Jabal Thur di masjid Musa as.” Pada suatu malam beliau pernah berkata kepadaku, “Kau adalah tamuku, masukklah ke kota Islam Mesir bersama kami.” Aku masuk dengannya karena isyarat darinya. Ketika aku masuk ke kota Mesir, aku menuju ke rumahnya bersama keluarganya, dan para faqir. Namun pembantu yang menjaga rumahnya mencegahku untuk masuk ke rumahnya bersama orang-orang yang lain. Salah satu pembantunya yang berasal dari Turki mencegahku. Namun ketika dia melihatku tidak mau mengalah, maka ia memukul pundakku dengan kursi. Hal itu karena prasangka buruknya, la menyangka setiap asy-Syaikh memanggilku, beliau memberiku uang. Padahal bukan itu yang kucari.
Akhirnya aku bermalam bersama para faqir di dalam masjid hingga keesokan harinya. Lalu aku kembalikerumahasy-Syaikhdandudukdihadapannya, sedangkan orang-orang masuk berbondong-bondong setelah menziarahi makam asy-Syaikh Ahmad al-Badawiy. Aku tak dapat masuk ke rumah itu bersama mereka, karena dicegah oleh penjaga pintu. Maka aku pergi dari rumah beliau menuju ke Masjid Jami’ al-Azhar. Di sana aku bertemu dengan orang-orang Maroko, dan mereka memintaku menceritakan kabar tanah air mereka dan orang-orang yang menjadi tokoh di daerahnya yang pernah aku datangi. Mereka bertanya tentang sebab kedatanganku ke Mesir, apakah untuk berkunjung atau menuntut ilmu. Aku sampaikan kepada mereka, bahwa aku datang ke negeri ini hanya untuk mengunjungi asy-Syaikh Muhammad. Lalu aku bercerita kepada mereka tentang kejadian antara aku dengan penjaga pintu rumahnya yang berasal dari Turki. Mereka menjadi marah karena kondisiku yang dihinakan dan berkata, “Apakah kau tak mendapati di Maroko seseorang yang dapat memenuhi pencarianmu, daripada kau harus merasakan penghinaan ini?” Mereka juga mengatakan bahwa orang-orang Mesir bertabiat tak menyukai orang-orang Maroko, hingga mereka berkata,”Jika asy-Syaikh yang kau maksud itu memiliki kedudukan besar, maka ia pasti akan menghukum orang Turki yang berbuat buruk kepadamu, la pasti akan menjadikan tangannya lumpuh atau yang lainnya, la menyuruhmu untuk masuk, namun ia meninggalkanmu hingga kau dihinakan.”Lalu di antara orang-orang bodoh itu saling berbicara, “Kami tidak dapat memaafkan asy-Syaikh itu kecuali salah satu di antara kami mendatanginya saat duduk di depan banyak orang dan memukul kepalanya.” Aku berkata kepada mereka, “Semua itu tak pantas dilakukan karena aku. Dan aku masih memiliki prasangka bahwa asy-Syaikh lupa. Lupa boleh terjadi pada asy-Syaikh dan orang lain.” Mereka menerima ucapanku, dan salah satu di antara mereka bangkit untuk mengambil jatah sedekah di tempat itu yang diperuntukkan bagi para penuntut ilmu dan para pendatang di Masjid Jami’ al-Azhar. Mereka menganggap aku termasuk bagian dari yang tinggal di sana.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim