Di tempat itu aku juga bertemu dengan asy-Syaikh Muhammad bin Ali bin ar-Raisuniy yang merupakan keturunan Abdussalam bin Masyisy. Beliau menggantikan posisi datuknya itu setelah mendapatkan isyarat dari asy-Syaikh asy-Syarif Abdullah bin Husain yang tinggal di kota Taamdalat di belakang kota Marakisy. Beliau bertanya kepadaku tentang nasabku. Kita saling berbincang sampai aku menyebutkan kepadanya bahwa aku termasuk keturunan Abu al-Wakil, yaitu Isa bin Abu al-Wakil. Mendengar ucapanku beliau menceritakan kepadaku biografi Abu al-Wakil, hingga ia berkata, “Tak ada yang kami ketahui yang terkubur pada empat makam di desa yang berlainan kecuali semua makam itu adalah dia.” “Mengapa bisa begitu?” tanyaku, la menjelaskan bahwa asy-Syaikh Abu al-Wakil adalah sosok yang dicintai di daerah itu oleh para kabilah. Saat wafat, beliau dikuburkan di desa salah satu kabilah. Namun penduduk desa lain mencari kesempatan untuk menggali kuburnya kemudian memindahkannya ke desa mereka. Lalu terdapat penduduk desa lain lagi yang menggali kubur asy-Syaikh kedua dan menguburkan jasadnya di desanya, lalu terdapat penduduk desa lain lagi menggali kubur asy-Syaikh yang ketiga dan menguburkan jasadnya di desanya. Maka terjadilah peperangan antara penduduk desa-desa tersebut untuk memperebutkan jasad asy-Syaikh. Kemudian pembantu, atau anak asy-Syaikh, mengatakan kepada penduduk desa-desa itu agar menggali empat makam itu. Maka penduduk desa menggali makam asy-Syaikh yang berada di desa mereka masing-masing dan semua penduduk di empat desa tadi mendapati jasad asy-Syaikh ada di makam yang digali di desa mereka masing-masing, la berkata kepadaku, “Ini adalah kedudukan terbesar dalam biografi para syarif yang dibukukan.” Lalu ia berkata lagi, “Kita adalah saudara sepupu dari pihak ayah. Datukku adalah datukmu, Ahmad bin Muhammad bin Idris bin al-lmam Idris al-Akbar bin Abdullah al-Kamil bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan (cucu Nabi).” la mengatakan hal itu sementara yang lain mendengarkan ucapannya.
Kemudian ia turun dari gunung, dan aku tetap tinggal di makam asy-Syaikh beberapa hari lagi. Tiba-tiba datang kepadaku seseorang membawa amanat dari asy-Syaikh Muhammad bin Alt yang kuceritakan di atas. la membawa roti, madu, dan buah-buahan yang terdapat di masa itu, seperti buah plum dan lainnya, la datang sendiri tanpa seorang teman dan membawa secarik kertas. “Apakah engkau Yusuf, Abu Ya’qub?” tanyanya. “Benar,” jawabku. Lalu ia memberikan secarik kertas itu dan kubaca. Aku baru memahami bahwa ternyata kertas itu adalah isyarat. Pembawa amanat itu bertanya kepadaku, “Apakah isyarat yang tertulis bagimu?” Aku menjawabnya, “Ism al-Jalalah (Allah). Aku diperintahkan oleh asy-Syaikh membacanya sebanyak tujuh puluh ribu kali setiap hari di pagi dan petang. Lalu shalawat kepada Nabi Saw sebanyak tujuh puluh ribu kali. Serta membaca doa aI Faraj (menyingkap segala kesusahan)”.”
Maka aku tinggal bermalam di tempat itu bersama orang pembawa amanat tadi. la berkata, “Kamu menjadi imam nanti di shalat maghrib dan isya, sedangkan aku akan menjadi imam besok di shalat subuh dan dhuhur, jika Allah masih menghidupkan kita.” Maka aku pun menjadi imam di shalat maghrib. Setelah aku selesai melakukan salam di akhir shalat, ia melihat ke arahku dan berkata, “Kau akan memiliki kedudukan yang tak boleh kau tergesa-gesa ingin menampakkannya sebelum waktunya. Berhati-hatilah terhadap kedudukan yang menipu ketika semua manusia mendatangimu. Sesungguhnya jika Allah menghendaki kebinasaan anak ayam ketika masuk ruh dan kehidupan di dirinya, maka Dia menghendaki anak ayam itu keluar dari dalam telur sebelum wak tunya dan binasa. Jika Allah menghendaki kesempurnaannya, maka Dia meletakkannya di dalam telur hingga sempurna kebaikan bagi dirinya dari Allah. Begitu pula seorang murid, jika tampak cahaya ibadahnya, orang-orang yang memiliki keyakinan akan mendatanginya karena jiwa mereka terbiasa mencintai auliya. Namun semua itu dapat memutuskannya dari pencariannya menuju puncak kesempurnaan, cita-cita, dan perjalanan manusia menuju Tuhannya melalui amal saleh. Sedangkan hanya Tuhannyalah yang akan memberi manfaat rahasia dan cahaya kepada para murid yang pantas mendapatkannya dan yang bermaksud mendapatkan manfaat dari para auliya.” Aku tak mengetahui siapa orang yang membawa amanat itu hingga tiba sore hari.
Kemudian datanglah asy-Syaikh, seorang kadi di negeri itu yang termasuk keturunan Abdussalam bin Masyisy. Seorang ulama besar di negeri itu. Beliau datang menunggangi kuda untuk berziarah. Aku melihat orang yang membawa amanat itu mengagungkan asy-Syaikh ini. Ketika kadi itu hendak mengambil air untuk kudanya, aku berkata kepadanya, “Biarkan aku yang meberikannya minum.” Namun laki-laki pembawa amanat itu segera bangkit dan memegang kendali kuda, lalu membawanya ke mata air yang mengalir dari gunung. Aku bertanya kepada kadi itu, “Wahai tuan, siapakah dia?” la menjawab, ‘la adalah Muhammad bin Said al-‘Ashmudiy as-Sayyah.” Sebenarnya aku pernah mendengar tentang beliau. Lalu kadi menceritakan kepadaku tentangnya, la berkata kepadaku, “Jarang orang dapat bertemu dengannya, sebab biasanya ia sering berada di pesisir pantai dan beribadah di sana.”
Sebelum kadi itu pulang, aku menceritakan kepadanya apa yang kualami. Aku bertanya kepadanya tentang masukknya aku ke dalam thariqah ini, apakah karena usahaku yang sungguh-sungguh atau karena paksaan dan sama sekali bukan karena usaha. Maka kita berbincang-bincang tentang pembimbing kita masing-masing, la menceritakan kondisinya dulu yang merupakan paksaan dan tak terjadi karena usahanya. Setelah semua itu, kami berdoa di depan makam asy-Syaikh berharap Allah mengabulkan keinginan kami dan agar Allah mempertemukan kami kembali di makam Nabi Saw. Setelah itu aku berpisah dengannya.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim